Mencari Tuhan
Pagi itu merupakan pagi yang mengejutkanku. Kau tahu
kenapa? Aku terlambat bangun! Sial!
pikirku. Aku adalah orang yang tepat waktu. Walaupun hidupku tak terencana,
namun masalah waktu aku tak ingin main-main. Aku pontang-panting berlari ke
kamar mandi, ke kamarku, ke garasi, seluruh penjuru rumah aku lalui dengan
tergesa-gesa. Jam dinding menunjukkan pukul 05.30 dan aku terlambat. Ya, pukul
05.30. Maklum, jarak dari rumahku ke SMA memakan waktu 1 jam perjalanan, belum
lagi harus menjemput pacarku.
Argh! Apa yang
membuatku bangun sesiang ini,
gerutuku dalam hati.
Keadaanku bagai langit dan bumi dengan Ayah. Ia lebih
terencana dari aku. Ayah sering bangun tepat pada waktu salat Subuh. Aku heran
dengan Ayah. Ia selalu bisa bangun pagi sekali walaupun semalam ia baru pulang
lembur. Tentu berbeda denganku yang tidur pukul 9 malam saja terkadang sering
malas bangun pagi. Sepertinya memang sudah kodrat Ayah menjadi panutan bagi
anak-anaknya. Pagi itu Ayah sudah siap berangkat bekerja. Ia hanya tersenyum
melihatku pontang-panting mempersiapkan keperluanku. Kau tahu apa? Ayah juga
terlambat! Terlambat atau tidak, sama saja bagi Ayah.
Ayah mencium kening Ibu dengan hangat, lalu bilang
padaku. “Ayah duluan, ya.”
Aku menyahut dengan nada tinggi, karena aku risih
diganggu Ayah saat kondisiku tengah panik. Aku tahu aku salah, namun sepertinya
Ayah tidak mempedulikan hal itu. Ia mengeluarkan Ninjanya, kemudian memacunya
dengan cepat. Ayah memang seperti itu, ia suka sekali ngebut ketika mengendarai Ninjanya. Ayah memang seperti itu, ia
sangat mengidolakan Valentino Rossi. Akupun sebenarnya begitu. Kita sering
menonton MotoGP bersama. Beberapa kali ia pernah jatuh dari motor, dan ia
berlagak seperti pembalap. Lucu memang mendengar cerita Ayah!
Aku
masih bergulat dengan jantungku di kamar. Aku hanya tinggal mencari satu buku
yang sepertinya tersembunyi di ruang bawah tanah kamarku. Setelah kucari-cari, akhirnya
kudapatkan bukuku. Aku bergegas turun dari kamarku. Aku langsung pamit kepada
Ibu tanpa sempat sarapan. Kukeluarkan Supermotoku, kupacu dengan jantung yang
bergetar melebihi getaran Supermotoku. Entah mengapa aku sangat cinta motor
ini. Supermoto itu keren, tahu!
ucapku pada teman yang sering mengolok-olok bahwa motorku motor yang
menyusahkan. Tiap kali aku berkendara dengan Supermotoku, aku merasa seperti
Thomas Chareyre atau Diego Monticelli. Walaupun sebenarnya tidak ada kemiripan
sama sekali. Kupacu Supermotoku dengan keras. Bahkan speedometernya sampai
berputar 360°!
Sampai di rumah kekasihku, ia marah-marah padaku. Sial! Mengapa ini hari aku sial sekali?
tanyaku dalam hati. “Kamu tahu gak sih sekarang jam berapa? Kalau Pak Handoko
marah bagaimana?” tanyanya sambil tetap memasang muka juteknya.
Sekadar informasi, Pak Handoko itu guru killer di sekolahku. Setiap pagi, ia
selalu berdiri di gerbang sekolah bersama dengan guru-guru yang lain selalu
mencari-cari kesalahan siswa.
Tenang, Pak
Handoko takut olehku, aku berusaha
menetralkan pikiran kekasihku. Kami bergegas menuju sekolah. Sampai di sekolah
ternyata Pak Handoko sudah menunggu di depan gerbang.
Aku main lewat saja didepannya seraya berkata, “Saya
tahu saya telat Pak, maaf, ya.” Pak Handoko hanya melirik kepada motorku tanpa
berkata apapun.
Mungkin Pak
Handoko ingin motorku!, pikirku.
Aku dan kekasihku berpisah di lorong sekolah. Kelasku
berada di bawah, kelas kekasihku berada di atas. Ini diskriminasi! pikirku saat awal aku mendapat kelas. Saat aku
masuk kelas, guruku sudah berdiri tepat di depan anak-anak. Ya Tuhan! Cobaan apa lagi ini, sekilas
aku jadi religius sekali.
“Heh! Kamu telat! Sini. Nyanyikan lagu Nasional!” perintah guruku.
Aku mau saja diperintah oleh guruku, karena memang aku
salah. Aku memilih menyanyikan lagu Bandung Lautan Api. Lagu itu sangat
bermakna bagiku, aku merasa seperti pejuang yang ikut dalam peristiwa itu.
Selesai bernyanyi, aku dipersilakan duduk. Aku duduk di kursi belakang karena
aku malas melihat tampang guruku ini.
Selama pembelajaran, aku hanya tidur. Persetan dengan
ocehan guru yang telah menghukumku itu mengenai Fisika. Aku tidak peduli dengan
teori atom, begitu juga dengan asas Bernoulli. Bel istirahat bagai terompet
Sangkakala yang mengagetkanku. Aku terbangun dari tidurku, melompat keluar
bergegas menuju kantin. Cacing-cacing ini
tidak bisa kompromi apa! aku berbicara dengan perutku. Kupesan satu roti
kukus lalu duduk di bawah pohon di depan kelas 10. Aku hanya melamun sambil
memakan roti yang aku beli. Kekasihku tiba-tiba menghampiri.
“Kamu ada masalah?” tanya kekasihku.
“enggak, aku hanya sial terus hari ini!” Aku
menjawabnya sambil tertawa.
“Nanti antar aku ketemu teman-temanku, ya.”
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya dalam hati aku malas
mengantarnya. Kau tahu kenapa? Karena teman-temannya laki-laki semua! Aku
merasa seperti kaum Muslim di Rohingya ketika bertemu teman-temannya. Dia asyik
bersama teman-temannya, sedangkan aku asyik dengan handphoneku.
Bel
pulang sekolah berbunyi. Aku lega. Sekolah yang membuatku malas sudah berakhir,
setidaknya untuk hari ini. Namun cobaan belum berhenti di situ. Aku harus
mempersenjatai hatiku dengan baja, 2 lapis juga boleh. Aku harus terlihat biasa
saja di depan kekasihku dan juga teman-temannya. Seperti dugaanku, kekasihku
asyik dengan teman-temannya, sedangkan aku hanya duduk terpaku bagai tiang
lampu kota. Sudah 2 jam aku duduk di kursi depan warung tempat teman-temannya
kumpul.
Tiba-tiba handphoneku
berbunyi. Ah! Akhirnya ada yang
menghubungiku, setidaknya aku tidak akan hanya duduk termangu saja.
Ternyata panggilan dari Ibu! Ada apa Ibu
menghubungiku, ya? tanyaku dalam hati. Mungkin Ibu memintaku membelikan
pasir untuk kucingku, Leo dan Juku. Ternyata tebakanku meleset, Ibu berbicara
lebih serius dari biasanya.
Kau tahu apa yang dibicarakanya Ibu? Ibu berkata bahwa
Ayah mengalami kecelakaan saat bekerja! Mendengar kabar itu, dunia seakan
berhenti berputar beberapa detik. Detak jantungku seakan berhenti. Untung saja
jantungku tidak melompat keluar tubuhku. Aku masih tidak percaya. Rasanya baru
tadi pagi aku membentak Ayah, hal itu yang selalu aku sesali.
Kukeluarkan kunci motorku, kupacu dengan keras
Supermoto kesayanganku. Kutinggalkan kekasihku bersama teman-temannya. Entah ia
sadar atau tidak dengan kepergianku, aku tidak peduli. Hal yang kupedulikan
adalah kondisi Ayah. Kusalip semua mobil yang berada di depanku. Kuterobos
lampu merah, tanpa peduli dengan polisi yang berjaga di Pos dekat lampu merah.
Aku dikejar seorang Polisi. Ah ini pekerjaan mudah. Aku lebih tahu jalan Bandung daripada Polisi.
Kubawa ke daerah ABC, di mana banyak berseliweran pedagang asongan, tukang
gorengan, motor, becak, pokoknya chaos.
Aku ingat di depan Toko Kopi Aroma ada basement yang terhubung langsung ke
Rumah Sakit Borromeus, tempat Ayahku dirawat. Kebetulan basement itu berbentuk
labirin. Jadi, walaupun Polisi itu mengikutiku masuk ke basement, ia belum
tentu bisa mengikutiku. Bisa balik lagi saja sudah syukur! Polisi itu memang payah! teriakku.
Aku sampai di basement rumah sakit itu dengan selamat,
tentunya tanpa ada yang mengikuti. Kuparkirkan Supermotoku di mana saja
semauku. Siapa yang berani melarang orang
yang sedang buru-buru? pikirku. Aku berkomunikasi dengan Ibuku di mana
tempat Ayahku dirawat. Ketika sampai di ruangan yang Ibuku maksud, aku
terenyuh. Aku terenyuh melihat kondisi Ayah. Menurut cerita dari teman Ayah,
yang merupakan saksi di TKP, Ayah saat itu sedang berjalan menghampiri anak
buahnya yang sedang bekerja membangun dinding penahan tiang. Namun tiba-tiba
dari langit muncul sekepal tangan sebesar matahari, lalu menjatuhkan batu yang
digenggamnya tepat di atas Ayah. Ayah tidak bisa menghindar.
Lagipula, ia juga tidak tahu bahwa ada tangan sebesar
matahari di langit. Tubuh ayah tertimpa batu, begitu kira-kira ceritanya.
Menurut keterangan dokter yang menangani Ayah, Ayah menderita gegar otak dan
hatinya luka. Untuk derita yang kedua, aku yakin itu ulahku tadi pagi. Aku
menangis sejadi-jadinya saat itu. Beberapa teman Ayah berusaha menenangkanku
dan berkata bahwa Ayah akan baik-baik saja. Aku tidak percaya dengan kata-kata
mereka. Coba mereka yang ada di posisiku, apa merekapun akan kuat mendengar hal
itu. Aku tidak yakin.
Luka
ayah dibersihkan. Pakaiannya tentu saja dilepas. Aku hanya berdoa, berharap
Ayah akan pulang dan sembuh seperti sedia kala. Setelah pembersihan selesai,
Ayah dipindah ke ruangan yang steril. Mau
lihat Ayah saja harus pakai pakaian khusus. Memang ini di laboratorium?
gerutuku dalam hati. Teman dan kerabat Ayah silih berganti berdatangan untuk
sekadar menengok dan menguatkan Ibu. Ibu dengan setia menemani Ayah di rumah
sakit. Sedangkan aku harus pulang ke rumah menemani adikku Milly dan Chandra.
Hari-hari ke depan, aku bakal sering bolak-balik rumah sakit untuk mengetahui
perkembangan Ayahku. Sebelum itu, tentunya aku sempatkan dulu bertemu dengan
kekasihku.
Di awal kejadian itu, aku dan dia tidak berkomunikasi.
Mungkin dia juga paham apa yang aku rasa saat itu. Namun kami terlihat akur
lagi. Aku ikut beristirahat di rumahnya yang bisa dibilang sederhana, tidak
terlalu luas, namun cukup untuk satu keluarga normal. Aku bercerita dengan
penuh emosi kepadanya mengenai apa yang kurasa, penyesalan yang selalu
membayangiku.
Ia hanya berkata, “udah kamu sabar, ini jalannya dari
Tuhan.” Ia mengecup pelan bibirku supaya aku tenang. Aku membalas kecupannya.
Pikiran yang bertumpuk di kepalaku seakan-akan
berjatuhan ke lantai tempat kita berdiri. Setelahnya baru pikiran-pikiran itu
kembali merangkak naik ke dalam kepalaku.
Sial! Kenapa aku
terjerumus lagi? Aku kan sudah janji ingin menebus kesalahanku, begitulah selalu penyesalanku ketika Ayah masih
dirawat di rumah sakit.
Aku pamit kepada kekasihku dan orangtuanya, aku bilang
ingin menengok Ayah di rumah sakit. Ibu kekasihku mendoakan agar Ayahku segera
pulang ke rumah. Kupacu lagi Supermotoku menuju rumah sakit. Di ruangan yang
harus mengenakan pakaian khusus itu, terlihat Ibu tersenyum bahagia. Ia berkata
padaku bahwa kondisi Ayahku mulai membaik. Ia sudah bisa berkomunikasi dengan
kami. Ini merupakan tanda yang sangat baik. Aku tidak sabar untuk merawat Ayah
di rumah. Aku akan setia merawat Ayah di rumah. Ibu menyuruhku pulang saja dan
esok hari kembali ke sini beserta Milly dan Chandra.
Kugeber Supermotoku dengan perasaan gembira. Aku
bernyanyi sampai pengendara lain di sebelahku memarahiku karena aku bernyanyi
dengan sangat keras ketika kami bersebelahan di lampu merah. Sampai rumah, aku
tidak berkata apa-apa kepada Milly dan Chandra mengenai kondisi Ayah. Sengaja
tak kuberitahu, aku ingin memberi mereka kejutan. Aku tidur lebih awal, tak
sabar melihat ekspresi Milly dan Chandra besok melihat kondisi Ayahnya. Handphoneku berbunyi tepat pukul 12
malam.
Siapa gerangan
yang meneleponku jam 12 malam?
tanyaku dalam hati.
Ternyata telepon dari Ibu! Ketika kuangkat telepon
itu, Ibu berkata bahwa Ayah sudah tiada. Dunia seakan berhenti berputar (untuk
kedua kali). Jantungku kali ini melompat keluar. Kuambil jantungku dan
kumasukkan lagi. Aku membangungkan Milly dan Chandra yang nampaknya masih
mengantuk. Kukeluarkan mobil Nissanku. Kupacu dengan kecepatan tinggi menuju
rumah sakit. Kubiarkan Milly dan Chandra tidur di kursi baris ketiga.
Sesampainya di rumah sakit, kuperintahkan mereka turun mencari ruangan tempat
Ayah meregang nyawa.
Aku bilang pada mereka, “Kalian cari Ibu, Kakak ingin
menemui Tuhan dulu.”
Kupacu lagi mobilku mencari Tuhan. Tuhan memang sering
bersembunyi. Alasannya hanya karena ia tidak ingin mudah didatangi orang yang
kehilangan arah sepertiku. Kutemukan Tuhan sedang mengopi di basement depan
Toko Kopi Aroma. Aku marah pada Tuhan.
“Tuhan! Kenapa kau mencelakai Ayahku dengan batumu?”
Aku bertanya pada Tuhan dengan suara 8 oktaf. Tuhan menjawab
“Ayahmu sudah terlalu baik di dunia ini. Bahkan ketika
kamu memarahinya, ia tetap sabar. Aku ingin dia ada di Surga, bersamaku. Aku
kekurangan orang baik seperti dia.”
Aku menjawab, “Tetapi aku belum siap kehilangan dia.
Aku bahkan tak bisa membayangkan aku harus mengurusi kebunnya, aku harus
mengurusi motornya, aku harus mengurusi segala masalah di dalam maupun luar
rumah.”
Aku memohon kepada Tuhan agar bisa mengembalikan
Ayahku. Tetapi semua itu percuma.
“Kamu akan kuat dengan sendirinya. Aku akan bantu
kamu.”
Tuhan menyeruput kopi yang dipesan langsung dari Toko
Kopi tersebut, kemudian melangkah meninggalkanku tanpa berkata-kata lagi. Aku
mengumpat di belakang Tuhan.
“Tuhan! Mana kata-kata baikmu yang selalu ada di dalam
kitab. Katanya kau selalu memberikan kebahagiaan kepada hambanya. Kali ini, aku
meminta kebahagiaan, mengapa tidak kau gubris, Tuhan!”
Aku terus berteriak, namun Tuhan tidak peduli. Ia
menghilang di balik kerumunan pedagang yang mulai sibuk mempersiapkan
dagangannya di jalan ABC. Aku tertunduk lesu. Aku hanya berharap, ketika aku
kembali ke rumah sakit tempat Ayah dirawat, Ayah sudah sehat kembali dan siap
kami bawa pulang.
“Itulah
sebagian ceritaku, kau suka bagian yang mana, Nadia?” Nadia ternyata tertidur.
Ceritaku mungkin terlalu panjang. Tak apa, nanti kutanya dia saat dia sudah
terbangun.
lanjutkan bang
ReplyDeleteHatur nuhun
ReplyDelete