Kenapa Sih Hal-Hal Kecil Aja Harus Bohong?
![]() |
Sumber: Brilio.net |
Hotman Paris, bukan asli Paris.
Gudang garam, isinya bukan garam. Mie goreng, bikinnya harus direbus. Kenapa,
sih, hal-hal kecil gini aja harus bohong?
Selaku penikmat media
sosial, hari-hari selalu saja ada gebrakan baru berwujud FYP. Entah itu di X,
Instagram, TikTok, atau platform media lainnya. Nyatanya, mencuatnya trend
itu justru jadi penghibur—sekaligus juga refleksi. Yang teranyar, konsep trend
“kenapa sih hal-hal kecil aja harus bohong?”. Jujur, trend ini bikin
diri saya refleksi sejenak.
Awalnya, saya anggap
konten FYP berisi video seseorang yang melamun diselingi capture “Gudang
garam, isinya rokok, bukan garam”, “JKT48, jumlah personelnya bukan 48”, atau “Reza
Arap, bukan dari Arab” cuma hiburan belaka. Pelepas penat di media sosial
setelah seharian beraktivitas. Lama-lama, saya sadar; kebohongan-kebohongan
kecil dalam hidup mungkin disebabkan oleh ekspektasi kita juga.
Saya coba bawa konteks
ini ke kehidupan saya. Cerita kita mulai dari masa SMP. Sejak kecil sampai
lulus SD, pikiran saya cuma berkutat di bermain. Bermain apa pun: sepak bola,
permainan anak-anak, berenang di sungai, dan lain-lain. Rasanya, hidup selalu bahagia
setiap hari—kecuali kalau dilarang main dengan dalih harus tidur siang. Selebihnya,
masa kecil sampai lulus SD, saya nikmati sekali.
Oh iya, sejak kecil
saya dididik untuk cari ilmu yang cukup jauh dari rumah—jauh untuk hitungan
anak kecil seperti saya. Bayangkan, jarak rumah saya ke taman kanak-kanak
tempat sekolah dulu hampir sekitar 3 km. Jika itu belum cukup menunjukkan
betapa saya dididik untuk cari ilmu yang jauh dari rumah, jarak rumah saya ke sekolah
dasar tempat saya menghabiskan waktu 6 tahun itu sekitar 4-5 km. Jarak itu
mesti ditempuh dengan kendaraan umum, yakni angkot. Otomatis, sejak kelas 2 SD,
saya sudah jadi angkoters sejati—di saat teman-teman saya cukup berjalan
kaki saja untuk sampai sekolahnya.
Memasuki masa SMP, hidup saya mulai mengarah ke hal-hal yang serius—sambil sesekali diselingi juga dengan kenakalan remaja saat itu. Sejak duduk di kelas 9 SMP, saya sudah punya niat untuk cari SMA yang cukup jauh dari rumah. Pilihan waktu itu adalah di Kota Cimahi atau Kota Bandung. Ini diilhami oleh seringnya saya lihat anak SMA yang pulang sekolah naik motor, lengkap dengan helm, dengan baju seragam putih + abu, dengan tulisan nama sekolah dan domisili sekolahnya di lengan kanan.
Dari situ, saya punya
pikiran, “Enak juga, ya, sekolah di Cimahi atau Bandung”. Maka, saya niatkan
untuk lulus dengan nilai bagus agar bisa diterima di sekolah pilihan dua kota
tersebut. Impian itu coba diwujudkan dengan mendaftar di beberapa SMA negeri di
Cimahi. Sialnya, dengan sistem PPDB yang masih dirintis dan kenyataan saya
sebagai anak kabupaten, mimpi itu sirna. Ya, saya gagal masuk SMA negeri di
Kota Cimahi atau Kota Bandung.
Kayanya anak
kabupaten emang enggak bisa sekolah di kota.
Namun, takdir membawa
saya untuk melabuhkan pilihan di salah satu SMA swasta di Kota Bandung,
tepatnya di lingkungan Lanud Husein Sastranegara Bandung. Walaupun bukan di
sekolah negeri, saya syukuri saja itu. Yang penting, saya bisa sekolah di Kota
Bandung—jauh meninggalkan teman-teman saya yang masih betah di kabupaten.
Sebagai gambaran, jarak
rumah saya ke sekolah itu sekitar 28 km. Sejak kelas 10, saya terbiasa commute
pakai kereta api untuk sampai sekolah. Jam masuk sekolah saya cukup pagi dibanding
sekolah lain, tepat pukul 06.30 WIB. Berlandaskan kereta api, saya mesti berangkat
dari rumah pukul 04.50 WIB demi mengejar kereta Padalarang-Cicalengka pertama,
pukul 05.25 WIB. Satu perjuangan yang melelehkan dan akan teringat selamanya.
Yang mau saya tekankan
adalah, ternyata anggapan “Enak juga, ya, sekolah di Cimahi atau Bandung” bagi
orang kabupaten seperti saya adalah hal kecil yang jadi kebohongan. Harus berangkat
sepagi itu dan pulang sore, adalah rutinitas sehari-hari selama tiga tahun.
Tapi, hal kecil yang
menjelma jadi kebohongan enggak berhenti di situ.
Memasuki masa kuliah,
pikiran menuju masa depan mulai sedikit tersusun. Rencana seperti bekerja di
penerbitan dan menabung bersama sang kekasih untuk biaya nikah, jadi hal yang terancang.
Termasuk, mimpi menikah di usia muda, misal 22 tahun, tepat setelah lulus.
Tapi, itu semua lagi-lagi hanya bohong belaka. Setelah lulus, baik pekerjaan maupun pasangan, enggak saya miliki. Alhasil, Impian untuk bekerja di penerbitan dan menikah di usia muda sirna. Hal kecil seperti itu, akhirnya cuma jadi kebohongan belaka. Sampai di usia yang mau menginjak seperempat abad ini, kedua hal tadi belum juga terpenuhi.
Untungnya, saya diberi rezeki dan kesempatan untuk melanjutkan studi. Jadi, ya, walaupun pekerjaan (tetap) dan pasangan belum ada, yang penting hal kecil dalam hidup ini enggak jadi kebohongan lagi.
Comments
Post a Comment