Sebuah Catatan Kecil untuk Cerita yang Megah

 

Sumber: Pixabay

Tulisan ini saya buat sebagai refleksi bagi setiap orang yang memiliki ketakutan terhadap hadirnya cinta sejati.

Cinta—bagi saya—adalah elemen penting dalam hidup. Cinta menggerakkan jasmani dan rohani untuk bertarung melawan tantangan fisik dan psikis. Ia menjadi suplemen yang membuat manusia merasa hancur atau pantas menjalani kehidupan.

Penemuan cinta sesungguhnya sangat tergantung kepada setiap manusia. Ada mereka yang punya jalan lurus dan mulus dalam proses pencariannya. Ada juga mereka yang mesti menapaki jalan terjal dan berbatu untuk menemukannya. Akhirnya, cinta sejati itu akan kita temukan, bagaimana pun caranya.

Perihal penemuan cinta sejati, menurut beberapa orang, manusia akan mengalami tiga jenis cinta dalam hidup. Cinta pertama adalah cinta yang kita anggap sebagai “cinta monyet”. Di momen ini, cinta terasa seperti bentuk cinta yang menurut kita ideal; cinta dengan segala bahagianya. Perasaan bahagia yang selalu menyelimuti dianggap sebagai satu-satunya esensi cinta.

Cinta kedua adalah cinta yang memberi jutaan perasaan dan pengalaman hidup. Cinta di tahap ini memiliki dinamika yang kompleks dari cinta sebelumnya. Bahagia yang dirasakan sebagai kebahagiaan yang absolut; tak akan ditemukan di diri manusia lain. Sebaliknya, kesedihan yang dirasakan sebagai duka mendalam yang tiada terkira. Selain bahagia dan sedih, ada amarah yang tersulut dan terbakar menjadi api yang berkobar menyelimuti dan menghangatkan cinta. Di momen ini, cinta memberikan pelajaran—tangis dan tawa yang mesti berimbang.

Tiba di cinta yang ketiga; cinta yang tidak diperkirakan sebelumnya akan terjadi. Cinta jenis ini adalah penyempurnaan dari cinta-cinta sebelumnya. Ia menjadi kehidupan panjang dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Cinta di tahap ini terjadi begitu saja, tanpa terkira dan tanpa tercerna. Ia menghampiri diri yang perlahan berusaha sempurna. Tanpa keraguan, cinta ini datang merangkul hati untuk bersemi kembali.

Bagi saya, ketiga cinta itu memang benar adanya. Ketiganya punya andil besar terhadap cara pandangan tentang cinta. Cinta tahap pertama mengajarkan kita tentang konsep rasa suka dalam hidup manusia. Cinta tahap kedua memberikan contoh konkret dari friksi dalam sebuah hubungan sebagai bumbu penyedap. Ia tak lagi bicara tentang bahagia, tetapi juga sedih dan amarah yang tersembunyi dalam tabir “cinta”.

Selalu ada ketidakyakinan tentang penemuan cinta sejati setelah mengakhiri cinta tahap kedua. Itu sangat wajar. Kenangan yang menyelimuti, amarah yang masih menyala, dan kesedihan yang kadang tertinggal, menahan diri untuk tidak mencari. Tetapi, apakah itu semua layak dikorbankan untuk kebahagiaan yang mesti dikejar? Percayalah, cinta sejati terkadang tak harus dicari. Ia kerap mewujud ke dalam pertemuan yang tak disangka, tetapi bermakna.

Saya baru saja menemukan—atau lebih tepatnya menemukan kembali—cinta sejati. Seseorang yang hadir dan mengisi relung jiwa kini. Ia menghampiri tanpa permisi—di saat diri ini telah siap menghidupi hubungan yang abadi. Kita adalah dua manusia yang telah memetik pelajaran dari kisah-kisah sebelumnya. Ini menjadikan kita sebagai dua insan yang cukup dan lebih dewasa. Maka, ketika saling berjumpa, rasanya tak akan ada lagi kisah cinta yang hampa.

Ia sungguh menakjubkan. Ia sangat piawai meyakinkan bahwa cinta sejati perlu waktu untuk mengunjungi. Di kali pertama bersua, ia meyakinkan saya bahwa rasa percaya dapat timbul di perjumpaan pertama.

Saya takjub dengan hal itu—bagaimana keterbukaan dan kepercayaan dapat teryakinkan dalam hitungan jam. Kita memang saling mengenal sebelumnya, tetapi dalam konteks pertemanan pada umumnya. Ketika momentum itu tiba, saya rasa telah mengenalnya sepanjang hidup. Tak ada lagi keraguan atau ketakutan bahwa cinta ini akan menyesatkan.

Cinta sejati berhasil meluluhkan semua keraguan. Ia justru menjadi dorongan dalam menjalani kehidupan dengan tujuan yang menghampar luas. Kini, semua berjalan pada poros yang semestinya; menjadi kompas yang menuntun jalan menuju tujuan yang mulia.

Comments

  1. Terharu kali aku bacanya bang, sampai mengeluarkan air 😭☝🏻

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Apakah Dating Apps Lebih Baik Ketimbang Cari Pacar Jalur Konvensional?

Film Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995; Romantisme Dilan dalam Bayang Milea

Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai