3 Paradoks Bulan Ramadan

 

Sumber: Detik.com

Bulan Ramadan nyatanya terasa kaya bulan biasa aja, kok…

Hari ini, Sabtu, 1 Maret 2025, tepat 1 Ramadan 1446 H. Seperti biasa, bulan Ramadan jadi waktu yang sakral buat umat Islam berpuasa. Laki-laki yang sudah balig wajib hukumnya menahan hawa nafsu dan rasa lapar berikut haus dari Subuh hingga terbenamnya matahari (baca: Magrib). Bagi perempuan, tentu wajib juga berpuasa. Tapi, sebagaimana kodratnya perempuan dengan segala halangan, maka puasa bisa punya tiga hukum: wajib, sunnah, dan haram.

Puasa jadi wajib ketika sedang enggak kedatangan tamu bulanan. Puasa jadi sunnah ketika kondisi tertentu sedang melanda, misalnya hamil. Puasa jadi haram kalau jelas-jelas ada tamu bulanan yang datang.

Tapi, puasa bukan sekadar perihal wajib, sunnah, atau haram yang punya implikasi terhadap pahala dan dosa yang didapat. Dalam rangkaian bulan Ramadan, setidaknya ada hal-hal yang menurut pandangan saya justru berkontradiksi. Kiranya inilah beberapa hal-hal tersebut.

1.        Ngabuburit Bareng Pacar

Sebelum menulis bagian ini, saya sudah berpikir bahwa akan ada anggapan tentang manusia so alim bagi saya. Perlu saya beri disclaimer, saya sendiri enggak mengharamkan pacarana—walaupun dosanya terang-terangan menurut para ulama. Masa sekolah dulu, saya juga beberapa kali pacaran, baik itu di bulan-bulan biasa atau bulan Ramadan.

Makin bertambahnya umur, kesadaran akan upaya mengurangi hal-hal yang menambah dosa mulai memenuhi pikiran saya.

Dalam konteks kisah masa lalu saya, tepatnya di masa SMA, saya dengan doi pun kerap beberapa kali bukber di luar. Tentu, sebelum memulai bukber itu, kita terlibat dalam kondisi bersama-sama di perjalanan menuju tempat bukber. Dalam hati saya, rasanya kurang elok untuk melakukan adegan romantis ketika berboncengan motor di bulan puasa—pelukan dan pegangan tangan. Untungnya, pacar saya pun merasakan hal yang sama.

Sebisa mungkin saya dan doi menjaga ibadah kita masing-masing. Setelah selesai waktu berbuka puasa, mungkin hal-hal yang kami jaga itu kembali terulang…

Di sisi lain, yang saya amati, cukup sering melihat pasangan kekasih yang ngabuburit dengan mempertontonkan adegan romantis di depan umum. Lebih sering saya lihat dalam perjalanan, beberapa kekasih berduaan, berpelukan, atau bergandengan tangan.

Ya, walaupun saya juga enggak bisa suuzon, mungkin mereka-mereka ini sudah menikah, ‘kan?

Kondisi ini yang menarik buat saya. Jika memang mereka-mereka ini belum menikah dan bermesraan di bulan Ramadan, apa relevan dengan intisari dari bulan Ramadan sebagai bulan penuh berkah yang memacu kita beribadah dan menjauhi perbuatan dosa?

Sampai di sini, perlu saya tekankan lagi. Saya juga bukan orang yang mengharamkan pacaran karena saya juga mengalaminya dulu. Saya bisa berbicara seperti ini karena sekarang enggak relate dengan kondisi saya yang sendiri. Mohon maaf, ya, guys.

2.        Tempat Makan Bertirai

Pernahkah kalian lihat tempat makan yang biasanya terbuka, terlihat jelas dari jalan raya penuh oleh pembeli, tetapi di bulan Ramadan ini seakan sepi karena tertutup tirai? Yang terlihat hanya beberapa pasang kaki yang duduk di kursi panjang tempat makan itu. Esensi dari fenomena ini, ‘kan, supaya enggak menggoda orang yang berpuasa terhadap makanan yang dimakan oleh pembeli di tempat makan tersebut. Tapi, apakah perlu?

Saya beruntung sejak kecil sudah dididik berpuasa di bulan Ramadan oleh orang tua. Tentu saja saya tak langsung puasa penuh dari Subuh hingga Magrib saat pertama kali puasa. Semua bertahap sesuai usia. Mulai dari puasa beberapa jam saja, setengah hari (baca: sampai jam 12), sampai tiba di titik puasa penuh.

Dalam pandangan saya, orang yang sembunyi-sembunyi makan di siang hari (baca: godin, mokel, dll.) adalah anak kecil. Mau itu pemuda atau orang tua, saya anggap mereka masih kecil. Mengapa? Karena hal-hal seperti keinginan membatalkan puasa sebelum waktunya hanya keinginan anak kecil. Kecuali jika memang orang tersebut punya penyakit khusus yang melarangnya berpuasa.

Tapi masa iya orang punya penyakit bisa sama dan ada di waktu yang sama di sebuah tempat makan?

Saya percaya orang yang berpuasa itu imannya kuat. Mau digoda pakai cara apa pun, pasti setidaknya bisa menjaga pahala dari puasa yang ia jalani. Kalau sudah begini, tirai-tirai penutup tempat makan jadi enggak ada fungsinya. Tapi, mungkin itu cuma berlaku untuk sebagian orang. Sebagian orang lagi bisa saja tergoda lihat orang minum es teh manis di siang bolong.

3.        Bukber dan Solat Magrib

Untuk poin terakhir ini, kiranya saya enggak bisa ngasih pemakluman seperti dua poin di atas. Sebagaimana yang kita tahu, solat itu wajib—dalam keadaan apa pun. Kalau tak mampu berdiri, dianjurkan sembari duduk. Kalau tak kuat berdiri, maka berbaring tak masalah. Bahkan, ketika berbaring pun tak bisa, cukup dengan isyarat mengedipkan mata. Sebegitu pentingnya solat sehingga tak ada alasan apa pun yang membenarkan kita meninggalkan solat.

Dalam konteks puasa, solat Magrib berdampingan dengan waktu berbuka puasa. Ketika azan berkumandang, dipersilakan untuk membatalkan puasa kemudian dianjurkan untuk solat terlebih dahulu. Setelah selesai solat, mau mukbang sebanyak apa pun enggak jadi masalah.

Seringnya, orang-orang yang melakukan buka bersama di suatu tempat, meninggalkan kewajiban solat karena beberapa alasan: sibuk makan, make-up luntur, sampai kekenyangan. Buat saya, kondisi ini jelas sebuah paradoks.

Di satu sisi, puasa adalah jalan kita mendekatkan diri kepada Allah swt. Di sisi lain, meninggalkan solat adalah jalan kita menjauhkan diri dari Allah swt. Berbuka puasa tetapi meninggalkan solat magrib adalah menambah pahala sekaligus menambah dosa.

Comments

Popular posts from this blog

Apakah Dating Apps Lebih Baik Ketimbang Cari Pacar Jalur Konvensional?

Film Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995; Romantisme Dilan dalam Bayang Milea

Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai