Penolakan Hubungan Sarwono-Pingkan dalam Novel dan Film Hujan Bulan Juni
Halo semuanya, selamat
datang di blog saya!
Kali ini saya akan
sedikit memberikan pandangan saya mengenai film yang keren banget menurut saya.
Film itu berjudul Hujan Bulan Juni. Siapa yang gak tahu sih novel dan film ini?
Bagi teman-teman yang belum membaca atau menonton film ini, lebih baik nonton
dulu, deh!
Film yang diproduseri
Avesina Soebli dan Chand Parwez Servia ini berkisah tentang perjalanan cinta
antara Sarwono (Adipati Dolken) dan Pinkan (Velove Vexia) yang banyak
cobaannya. Film yang diadaptasi dari novel Hujan Bulan Juni karya Eyang Sapardi
Djoko Damono ini sangat romantis karena disisipi puisi-puisi yang sangat indah
dari beliau.
Daripada kalian
penasaran, lebih baik kalian simak, deh, tulisan saya ini. Oh, iya, tinggalkan
juga komentar di bawah ya tentang film atau novel ini menurut sudut pandang
kalian bagaimana! Enjoy
Alih wahana novel Hujan Bulan Juni menjadi film saya rasa cukup memuaskan. Alur yang tersaji di novel dengan film sangat sesuai.
Novel menyajikan kejadian yang terjadi tidak runtun disajikan dari awal. Namun,
akan dapat diketahui alurnya bila membaca keseluruhan isi novel. Alur yang
diciptakan adalah alur yang sifatnya bergerak linear. Tidak ada kejadian flashback dalam film yang memengaruhi
keseluruhan cerita. Hanya ada imajinasi yang muncul dalam film tersebut.
Hal lain yang mendukung suksesnya alih wahana ini
adalah pemilihan pemain. Tokoh Sarwono sangat cocok diperankan
oleh Adipati Dolken. Tokoh Sarwono sendiri merupakan lelaki Jawa yang hobinya
menulis puisi. Sarwono adalah sosok pria yang jatuh cinta kepada Pingkan. Tokoh
Sarwono dalam novel dan film diperankan oleh Adipati Dolken. Logat Jawa
yang dimainkan Adipati Dolken juga sangat berpengaruh. Logat Jawa yang
digunakan menambah kesan zadul
seperti di novel.
Tokoh Pingkan juga sangat cocok diperankan oleh Velove
Vexia. Pingkan merupakan wanita keturunan Manado yang dicintai oleh Sarwono.
Meskipun dicintai Sarwono, Pingkan merasa gengsi menunjukkan perasaan yang
sama. Tokoh Pingkan digambarkan sebagai sosok yang cantik jelita. Pembaca
menaruh ekspektasi besar mengenai tokoh Pingkan dalam novel ketika difilmkan.
Pembaca akan membayangkan tokoh yang cantik dan penuh teka-teki. Ketika melihat
tokoh Pingkan diperankan Velove Vexia, ekspekstasi tersebut terpenuhi. Adipati
Dolken dan Velove Vexia saya akui sukses memerankan perannya
masing-masing. Bahkan chemistry antara
keduanya pun sudah layaknya sepasang kekasih sungguhan.
Namun, terdapat permasalahan inti dalam novel maupun
film Hujan Bulan Juni. Permasalahan tersebut ialah penolakan hubungan antara
Sarwono dan Pingkan. Hubungan Sarwono dengan Pingkan tidak direstui oleh
keluarga Pingkan. Menarik melihat topik yang dipilih Sapardi untuk membuat
karya sastra. Di saat maraknya karya sastra tentang perjodohan atau kawin paksa
seperti tahun 1920-an, Sapardi seakan mengajak pembaca melihat permasalahan
keberagaman suku di Indonesia. Sarwono dan Pingkan mewakili toleransi keberagaman
suku dan agama. Toleransi sendiri merupakan sikap menghargai perbedaan yang
dimiliki orang lain. Tentu perbedaan tersebut acap kali menimbulkan
permasalahan yang sulit dipecahkan.
Di awal bagian novel, permasalahan tersebut tidaklah
terasa. Bagian awal di novel baru menceritakan kerinduan Sarwono terhadap
Pingkan. Hal yang sama juga terjadi pada film. Di awal film, permasalahan
tersebut tidak begitu terasa. Bagian awal film menyuguhkan bagaimana hubungan
antara Sarwono dan Pingkan. Penonton dibuat tidak menyadari masalah perbedaan
suku dan agama yang ada. Penonton akan terbawa dengan kata-kata romantis yang
selalu diingat Pingkan dari Sarwono. Penonton juga akan terbawa perasaan dengan
puisi-puisi yang hadir dalam film. Sehingga penonton tidak akan merasa bahwa
masalah yang disajikan cukup kompleks.
Permasalahan tersebut baru terasa dari tengah film
sampai akhir. Sarwono adalah pria yang terlahir dari pasangan Jawa. Pingkan
terlahir dari seorang Ibu Jawa dan Ayah Manado. Penolakan hubungan Sarwono dan
Pingkan dalam novel disajikan secara implisit. Berbeda dengan film yang menyajikan
permasalahan tersebut secara eksplisit dan kompleks. Di dalam novel, penolakan
hubungan tersebut hanya diketahui Pingkan saja. Keluarga Pingkan kerap menanyakan bagaimana masa
depannya bila menikah dengan Sarwono. Berbeda dengan penolakan di dalam film
yang terkesan menohok bagi Sarwono. Hal tersebut dipilih agar penonton mudah
memahami masalah yang terjadi.
Penolakan tersebut saya rasa akibat adat
istiadat yang berbeda. Adat istiadat berperan sebagai pedoman tingkah laku manusia untuk
mengontrol setiap perbuatan atau tingkah laku manusia (Koentjaraningrat, tt;
103-104). Penulis beranggapan keluarga Pingkan menganut sistem kekerabatan
parental, soal perkawinan adalah soal keluarga. Masyarakat seperti ini
mempunyai kepentingan terhadap pernikahan anggotanya. Oleh karena itu
masyarakat harus ikut campur. Van Dijk mengemukakan bahwa kadang-kadang
kehendak dari kelompoknya ini sering pula memberi keputusan (van Dijk, tt:
34-35). Artinya, masalah jodoh Pingkan tidak bisa banyak menentukan dalam
keluarga ini.
Penolakan hubungan tersebut berasal dari keluarga
Pingkan. Lebih tepatnya, dari keluarga Ayah Pingkan yang Manado. Keluarga
Pingkan mengingkan Pingkan berjodoh dengan Pak Tumbelaka. Pak Tumbelaka satu suku
dan satu agama dengan Pingkan. Keluarga tidak setuju dengan hubungannya dengan
Sarwono karena Sarwono merupakan seorang Jawa. Terlebih karena Sarwono berbeda
keyakinan dengan Pingkan. Itu merupakan kekhawatiran keluarga Pingkan jika
nanti Pingkan menikah dengan Sarwono.
Penolakan tersebut dibuktikan dengan beberapa adegan
dalam film Hujan Bulan Juni. Contohnya saat Sarwono dan Pingkan berada di rumah
keluarga besar Ayahnya di Manado. Saat itu seluruh keluarga besar Pingkan sedang
berkumpul. Kehadiran Sarwono dalam acara tersebut seperti tidak dianggap oleh
Keluarga Pingkan. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak ada yang mengajak
berbicara Sarwono kecuali Benny. Bahkan, keluarga besar Pingkan meminta Pingkan
menikah dengan Benny di hadapan Sarwono. Hal itu pertanda bahwa kehadiran
Sarwono tidak diinginkan oleh keluarga besar Pingkan. Sadar akan hal tersebut,
Pingkan lebih banyak mengalihkan pembicaraan. Ia melakukannya agar tidak salah
langkah dan menyakiti perasaan Sarwono.
Penolakan tersebut sejatinya hanya berasal dari
keluarga Ayah Pingkan. Ibu Pingkan justru mendukung hubungan Sarwono dengan
Pingkan. Di dalam novel, dukungan tersebut disampaikan ketika Sarwono datang ke
rumah Ibu Pingkan. Ibu Pingkan menyatakan bahwa ia sangat setuju akan hubungan
Sarwono dengan Pingkan. Ibu Pingkan melihat bahwa Sarwono sosok yang baik dan
taat. Di dalam film, dukungan tersebut kurang tersampaikan dengan baik.
Pertemuan Sarwono dengan Ibu Pingkan hanya terjadi di rumah Pingkan. Pertemuan
itupun tidak menyinggung hubungan antara Sarwono dan Pingkan.
Keluarga Sarwono tidak sedikitpun menolak hubungan
Sarwono dan Pingkan. Ibu Sarwono tidak mau ikut campur dalam perkara itu. Bukan
berarti tidak peduli dengan pilihan anaknya. Namun, Ibunya menyerahkan pilihan
tersebut kepada Anaknya. Tidak beda dengan Ibunya, Ayahnya pun tidak mau ikut
campur. Walau ditanya pendapat mengenai Pingkan, Ayahnya menyerahkan semua
kepada Sarwono. Ayahnya berpikiran bahwa Sarwono sudah dewasa, bisa menentukan
sendiri mengenai hal tersebut.
Hal tersebut menggambarkan bahwa keluarga Sarwono
lebih open minded mengenai
perjodohan. Artinya, keluarga Sarwono lebih menyerahkan semua urusan tentang
pasangan kepada Sarwono. Mereka beranggapan bahwa Sarwono sudah dewasa sehingga
bisa menentukan sendiri. Di dalam novel, Ibunya sama sekali tidak mau ikut
campur masalah anaknya. Ayahnya yang mengusulkan agar ia mempertimbangkan lagi.
Ayahnya hanya bertanya apakah Sarwono merasa Pingkan begini-begitu. Jika
Sarwono merasa Pingkan tidak begini-begitu, Ayahnya mendukung saja. Di dalam
film, tidak ditonjolkan tanggapan keluarga Sarwono mengenai hubungannya dengan
Pingkan. Hal tersebut karena kemunculan keluarga Sarwono dalam film tidak
terlalu dominan.
Alih wahana dari novel ke film Hujan Bulan Juni saya rasa berhasil. Terlepas dari hilangnya beberapa bagian yang tidak
ditampilkan dalam film, tentu hal tersebut karena keterbatasan durasi. Dari segi pemeran, Adipati Dolken dan Velove Vexia sukses memerankan
perannya masing-masing. Chemistry yang
terjalin sangat kuat di antara keduanya. Masalah penolakan dalam film juga
masih terasa. Walaupun tidak sekuat permasalahan di novel, permasalahan di film
masih bisa dirasakan.
Sampai jumpa!
Comments
Post a Comment