Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai
Sumber: Jernih.co |
Tradisi lisan adalah
sebuah perwujudan dari kebudayaan dan pranata sosial yang terdapat dalam suatu
masyarakat. Tradisi lisan yang secara turun-temurun diwariskan kepada generasi
selanjutnya dapat dipastikan menandung nilai-nilai budaya yang penting untuk
dipelihara oleh masyarakat setempat. Nilai-nilai tersebut dihidupi oleh
masyarakat pemilik kebudayaan karena hal tersebut merupakan sebuah tradisi yang
biasa dilakukan oleh leluhurnya dahulu.
Salah satu tradisi
lisan yang hidup dalam masyarakat Sunda adalah tradisi pupujian. Tradisi
pupujian merupakan sebuah puisi lisan yang berisi ajaran-ajaran agama
Islam. Pupujian merupakan sebuah bentuk tradisi lisan yang hadir setelah
masuknya agama Islam ke tatar Sunda (Qori’ah et al., 2015). Hal ini menunjukkan
adanya akulturasi budaya antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Sunda.
Di dalam pupujian terdapat
bentuk-bentuk sastra yang mengadopsi dari bentuk sastra Arab. Hal ini
menyebabkan pupujian tidak terlepas dari pendidikan agama Islam, di
antaranya adalah perihal memuji keagungan Allah, menyampaikan selawat kepada
Nabi Muhammad saw., dan lain-lain.
Pupujian—sebagai sebuah seni—tidak hanya mengandung unsur keindahan, tetapi juga
mengandung unsur budaya hasil kreativitas manusia (Noermanzah, 2017). Hal
tersebut menjadikan pupujian memiliki nilai-nilai budaya yang tidak
dapat dianggap remeh.
Pupujian juga kerap dianggap menjadi sebuah sarana pembelajaran yang efektif dan
efisien. Efektivitas dan efisiensi pupujian sebagai sarana pembelajaran
terlihat dari pelajaran-pelajaran keagamaan yang disampaikan dengan bahasa yang
sederhana dalam bentuk puisi.
Pupujian sebagai sebuah tradisi lisan mengandung beberapa nilai dalam kehidupan
sehari-hari, seperti nilai pendidikan, nilai sosial, dan nilai kreativitas.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, pupujian mengandung ajaran-ajaran
agama Islam yang bermanfaat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Nilai
pendidikan ini tidak hanya terbatas kepada pendidikan agama Islam saja, tetapi
menyangkut juga hal-hal yang bersifat adab
dan susila dalam masyarakat (Kartini et
al., 1986). Nilai pendidikan agama dapat terlihat dari beberapa pupujian yang
menekankan pentingnya melaksanakan salat berjamaah di masjid. Nilai pendidikan
yang berhubungan dengan adab dan susila juga terlihat dalam beberapa pupujian
yang menenkankan sikap seorang murid kepada guru. Selain itu, terdapat juga
pupujian yang menggambarkan bagaimana sikap lelaki muslim dalam
hubungannya dengan perempuan muslim yang bukan muhrim.
Selain nilai
pendidikan, di dalam tradisi pupujian juga terdapat nilai sosial yang
menonjol. Nilai sosial dalam pupujian terefleksikan melalui kepedulian
seorang muslim kepada muslim lainnya dengan cara mengingatkan untuk senantiasa
menjalankan perintah Allah swt. Lantunan pupujian yang dituturkan oleh
seseorang menggambarkan kepedulian terhadap sesama muslim.
Selain itu, nilai
sosial juga terlihat saat pupujian dituturkan—dalam hal ini—di dalam
masjid. Dalam penuturannya, pupujian lazim dituturkan oleh beberapa
orang jemaah masjid. Tradisi pupujian dapat mempererat ikatan sosial di
antara jemaah masjid karena secara bersama-sama menuturkan pupujian sebagai
pengingat bagi seluruh umat Islam yang berada di daerah tersebut.
Nilai kreativitas
dalam tradisi pupujian cukup menonjol dibandingkan dengan nilai-nilai
lainnya. Hal tersebut terlihat dari kepiawaian ajengan (baca: pimpinan
pondok pesantren) dalam menciptakan sebuah pupujian. Pupujian yang
diciptakan tersebut biasanya bersumber kepada Al-Quran, hadis, dan kitab-kitab
ulama terdahulu yang tersohor. Kenyataan-kenyataan yang terjadi di dunia
kemudian dihubungkan dengan isi dari sumber-sumber tersebut yang relevan.
Contoh, pupujian yang berisi ajaran tentang ketauhidan biasanya
bersumber kepada karya ulama zaman dahulu seperti Tijan, Kifayatul’awam,
dan Sanusi (Qori’ah et al., 2015). Nilai kreativitas juga terlihat dalam
pemilihan diksi yang digunakan oleh pencipta pupujian dalam jumlah suku
kata setiap larik yang tersusun dengan estetik.
Beberapa nilai
tersebut tentu membuat kehadiran pupujian dalam masyarakat memiliki daya
untuk tetap bertahan sejauh ini. Kondisi tersebut didukung oleh kenyataan bahwa
manusia selalu terikat dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Dalam hal ini,
kehidupan umat Islam tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Islam sebagai
pedoman hidup.
Pengejawantahan nilai-nilai
tersebut salah satunya terlihat dari ajaran-ajaran agama yang terdapat dalam
sebuah pupujian. Selain itu, pupujian yang berfungsi sebagai
pengingat kepada sesama umat Muslim kehadirannya selalu terikat kepada kegiatan-kegiatan
keagamaan, seperti pengajian, syukuran, dan salat lima waktu. Maka, pupujian
akan selalu memiliki tempat dan eksistensinya sendiri karena selalu
berkaitan dengan kegiatan ibadah yang dilakukan oleh umat Islam.
Daftar Rujukan
Kartini, T., Hadish,
Y. K., Sumadipura, S., K. M., S., & Sopandi, T. (1986). PUISI PUPUJIAN
DALAM BAHASA SUNDA. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Noermanzah, N.
(2017). Plot in a Collection of Short Stories “Sakinah Bersamamu” Works of Asma
Nadia with Feminimism Analysis. Humanus, 16(1).
Qori’ah, S. N., Haerudin, D., & Ruhaliah. (2015). Pupujian yang Ada di Pondok Pesantren Al-Barokah Bandung untuk Bahan Pembelajaran Menyimak di SMP Kelas VII (Analisis Semiotik, Teks, dan Konteks). DANGIANGSUNDA, 3(1), 1–8.
Comments
Post a Comment