Tumpeng
Aku mendengarmu, Afnan. Serius. Aku mendengarmu
bercerita dari hulu ke hilir. Kau tidak akan memercayainya. Aku memiliki
kemampuan yang tak dimiliki orang lain.
Einstein
saja tidak punya kemampuan sepertiku! Bangganya dalam hati.
Aku mampu
mendengar dan mengingat perkataan orang lain walaupun aku tertidur.
Hebat, bukan? tanyanya.
Kau ingin tahu
pendapatku? Sejujurnya, kau pembohong sejati! Ya, kau pembohong! Pembuat cerita
yang handal. Seorang pembual. Seorang bajingan. Apa lagi, ya? Aku tak percaya
dengan percumbuan antara kau dan pacarmu itu. Aku tak percaya dengan Tuhan yang
kau temui di depan Toko Kopi Aroma. Aku tak percaya juga dengan kematian Ayahmu
seperti itu. Afnan yang aku kenal dahulu—bahkan sebelum aku terlahir ke
dunia—adalah orang yang sangat religius. Lalu mengapa kau sampai bisa bercumbu
dengan pacarmu itu yang seharusnya kau jaga, yang seharusnya kau lindungi!
Apakah angin dalam perjalanan rutinmu menuju sekolahmu dulu telah menerjang
nilai-nilai religius yang ada dalam dadamu? Ataukah perempuan itu yang beralibi
sebagai tempatmu berbagi keluh kesah telah melucuti nilai religius yang ada
dalam sekujur tubuhmu? Tak usah dijawab. Lagipula aku tidak butuh jawabanmu
yang pasti kau cari dulu di perempatan jalan itu. Aku yakin perempuan itu yang
telah menghapus ajaran agama yang diajarkan Ibumu ketika kau masih kecil.
Lagian kenapa sih kamu masih mau sama dia?
tanyaku waktu itu.
Kau hanya menjawab semua itu atas dasar ‘cinta’. Halah! Tak
usah bicara cinta seolah kau paling menguasai tentang cinta. Leonard Bloomfield
saja tidak bisa mendefiniskan apa itu cinta. Ini seorang anak yang baru lulus
Sekolah Menengah Atas saja sudah berlagak seperti orang yang paling tahu apa
itu cinta. Aku menjadi orang yang pertama dan terdepan menolak hubunganmu
dengan dia dulu. Aku paling tidak setuju kau berhubungan dengan dia. Kalau
ditanya alasannya apa, aku tiba-tiba seperti terkena sleep paralysis sehabis perjalanan panjang dari Yogyakarta ke
Bandung dengan mobil pribadi.
Memang aku tak pandai mencari alasan. Aku hanya
pandai mencari uang dengan cara menjalankan bisnis camilan yang aku rintis
ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Alhamdulillah,
bisnisku mendapat banyak dukungan dari teman-temanku. Kembali kepada alasanku
yang tak setuju kau menjalin hubungan dengan perempuan itu. Aku kini mendapat
alasan.
Mau tahu? Alasannya karena aku cinta padamu! Aku melihat kebaikan
dirimu. Aku melihat ketulusan hatimu kepada orang yang kau anggap lebih dekat
dari teman-temanmu. Seperti kala itu kita memutuskan untuk pergi naik gunung.
Ya, hanya naik gunung saja. Tidak akan berkemah atau lainnya. Kupikir dulu
tidak masuk akal kita bisa melakukannya, mengingat perjalan naik gunung kan
jauh.
Kau hanya bilang, kita bisa pulang
pergi, kok. Jadi tidak perlu menginap. Aku tahu jalan pintasnya.
Akhirnya
kuikuti saja perkataanmu. Benar saja kau membawaku ke jalan pintas untuk sampai
di Gunung. Tapi kau tidak punya otak! Masa iya aku harus berjalan di goa yang
digenangi air setinggi telingaku? Tapi kau memintaku untuk tetap tenang.
Jalan saja. Yakinkan dirimu bahwa kamu bisa!
ucapmu dengan penuh semangat.
Dan ternyata berhasil! Aku berhasil melewatinya.
Begitu keluar goa, aku langsung disuguhkan dengan Gunung yang tinggi menjulang.
Puncak gunung itu warnanya kuning. Di kaki gunungnya dikelilingi oleh
rumput-rumput yang tak begitu tinggi. Melihatnya, aku membayangkan seperti ada
sebuah nasi tumpeng di hadapanku yang biasa dibuat oleh warga kampungku ketika
menyambut Ulang Tahun Negaraku. Entah dari mana kau tahu isi hatiku.
Kamu ingin aku bawakan pucuk nasi tumpeng
itu? tanyamu seraya tersenyum.
Kau menitipkan ransel seberat 10 kilogram
yang sedari tadi kau gendong. Lalu kau berjalan menaiki Gunung itu. Sesampainya
di puncak, kau keluarkan pisau berbentuk sisir lipat yang biasa kau bawa ke mana-mana.
Kau potong puncak itu seperti orang memotong tumpeng sebagai tanda peresmian
sesuatu.
Suara pisau yang bergesekan dengan Gunung itu menimbulkan suara gaduh.
Suara yang membuat seisi hutan di bawah Gunung menjadi gaduh. Setelah puncak
itu terpotong sempurna, lalu kau memasukkannya ke saku celana kirimu. Dan
kaupun memberikan potongan itu padaku!
Ini
untukmu. Lain kali, mintalah yang lebih sulit, tantangmu padaku.
Perjalanan
itu yang sampai kini aku ingat, Afnan. Semoga kita bisa melakukan perjalanan
yang lebih ekstrem dan gila lainnya, ya, Nan.
Comments
Post a Comment