Aku Rindu Kampusku

Aku Rindu Mahasiswi Kampusku

Kalian rindu kampus juga, gak, sih?

            Entah sudah berapa minggu saya #DiRumahAja. Tidak berkumpul dengan teman, tidak bukber, tidak ke kampus, tidak diterima doi, pokoknya serba tidak, deh! Lama-lama #DiRumahAja mungkin bisa membuat saya lupa cara berbicara dengan orang lain atau bahkan lupa tata cara naik lift bagi mahasiswa di FPBS. Untuk yang satu ini, sebelum kita #DiRumahAja juga sudah pada lupa, ya, hihi.

            Jujur deh, saya mulai rindu kampus. Ralat. Saya mulai rindu perjalanan menuju kampus dan suasana kampus. Ya, dua hal itu hilang dari daftar aktivitas saya selama beberapa bulan terakhir. Seperti makan semangkuk bakso tanpa sendok dan garpu. Aneh, Bor!

            Perjalanan menuju kampus bagi saya punya pengalaman tersendiri. Pulang-pergi rumah menuju kampus saja jaraknya 74 km. Ini mah bukan ngampus, tapi touring.

            Perjalanan jauh membuat saya semakin sadar akan pentingnya menghargai waktu. Semua harus terencana dengan baik. Salah mengambil momentum, akan fatal akibatnya. Kira-kira begitu kata salah satu dosen saya.

            Jauhnya perjalanan menuntut ilmu bukan kali pertama bagi saya. Semasa SMA saya merasakannya. Setiap hari, selepas salat subuh, langsung tancap gas berangkat sekolah.

            Maka tak heran kalau saya melabeli diri sendiri sebagai biker sejati. Hidup #TimDugDag!

            Perjalanan jauh menuju kampus menyuguhkan adrenalin tersendiri. Waktu yang mepet dengan jarak yang jauh harus bisa teratasi. Tetapi, kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi daam perjalanan—motor mogok contohnya—memaksa saya mengambil keputusan cepat: “Bro, urang teu bisa asup. Motor urang mogok.” (Bro, saya gak bisa masuk. Motor saya mogok.)

            Selain perjalanannya, suasana kampus juga sangat saya rindukan. Ada beberapa hal yang saya rindukan.

            Pertama, saya rindu olahraga naik tangga di FPBS. Sejak zaman firaun masih menjadi maba unyu sampai sekarang mau punya maba (lagi), ruang kuliah saya masih saja berada di puncak. Padahal kan prodi saya prodi pribumi, kok saya tersiksa terus, sih. Saya rindu melihat bagaimana mahasiswa menaiki anak tangga seperti sedang mengikuti perlombaan. Sangat tergesa-gesa. Sampai di kelas, ditanya dosen, malah hahehoh.

            Kedua, saya rindu duduk di lantai lorong kelas, menunggu jadwal kuliah. Entah mengapa kita semua selalu duduk berjejer di lantai, bersandar pada tembok atau kaca kelas. Rasanya ada peraturan, deh, yang berbunyi bahwa kita tidak boleh duduk di lantai lorong depan kelas. Tapi kita semua tetap melakukannya—saya juga merasa nyaman melakukannya. Rasanya seperti berada di gang dekat rumah. Hanya kurang suara genjrengan gitar, kopi, dan kacang.

            Ketiga—bagian yang paling saya suka—adalah drama infokus atau proyektor dan AC tidak menyala, sehingga kami harus melakukan invasi terhadap ruangan lain yang terkadang diisi oleh mahasiswa lain. Biasanya, drama ini diakhiri dengan dosen yang mengeluarkan handphone dan melapor kepada fakultas. Ada yang langsung ditanggapi, ada juga yang acuh. Sehingga kami harus selalu melakukan invasi (lagi).

            Ketiga hal itu yang paling saya rindukan dari kampus. Setelah korona, ruang 49-52 masih ada infokus dan AC yang bermasalah, tidak, ya? Semoga tidak, ya!


Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!