Darah di Rumah Makan

Dengan jas almamater, kemeja putih lusuh,
celana jeans yang berkarat di paha kanan dan kiri,
ia memberanikan diri melawan tirani.   

    

Matahari belum menampakkan diri dari tempat persembunyiannya dari bulan yang selama 12 jam sibuk mencarinya. Masih terlalu pagi untuk memulai hari bagi pekerja kantoran yang terbiasa telat datang ke kantor. Suara ayam berkokok di ujung rambut bersahutan dengan suara ayam berkokok di ujung kaki. Suara istri yang memaki suami yang hobinya mabuk-mabukkan terdengar jelas sampai beberapa blok jauhnya. Suara spatula bekerja sama dengan panci mengandung nasi goreng mengundang seluruh penghuni rumah berkumpul di meja makan.

Tidak semudah itu penghuni rumah ini mencapai meja makan. Ada yang sibuk mencari buku Pendidikan Agama Islam yang entah terlempar ke mana. Ada yang sibuk memilih warna dan motif dasi untuk rapat proyek besar. Ada yang bersemangat menyiapkan segala keperluannya untuk berunjuk rasa. Azhar menjadi juara pertama dalam perlombaan mencapai meja makan di pagi hari. Posisi kedua disusul oleh Ayahnya yang lebih memilih untuk tidak menggunakan dasi untuk rapat proyek besar. Posisi ketiga diisi oleh Hanan yang menemukan buku Pendidikan Agama Islamnya di bawah tempat tidurnya. Juara pertama mendapat hadiah sepiring nasi goreng beserta kerupuk yang sudah disiapkan. Juara kedua dan ketiga mendapat hadiah bebas mengambil nasi goreng beserta kerupuk sepuasnya!


"Tahu gitu aku gak mau jadi juara 1!" gerutu Azhar.


Untuk beberapa saat tidak ada obrolan yang terjadi ketika masing-masing orang mengirimkan sendok berisi nasi goreng ke dalam mulut. Lagi-lagi Azhar menjadi juara pertama dalam perlombaan menghabiskan sepiring nasi goreng di pagi hari. Kalian tahu sendirilah juara kedua dan ketiga siapa. Azhar memutuskan memulai pembicaraan dengan Ibunya.


"Bu, Azhar minta izin ikut demo siang ini. Boleh, ya, Bu?" tanya Azhar seraya memelas.


"Ya jangan toh, Nak. Bahaya. Ibu gak mau kamu kenapa-kenapa." jawab Ibunya cemas.


"Tapi ini penting, Bu! Negara ini sedang terpuruk. Orang-orang yang kita pilih tahun lalu, dengan janji-janji manisnya, telah mengkhianati kita! Kami sebagai mahasiswa harus bergerak, Bu!" jelas Azhar kepada Ibunya.


Ibunya hanya tertegun mendengar penjelasan Azhar. Belum pernah sebelumnya anaknya bersemangat seperti ini. Ia meminta Azhar untuk meminta izin kepada Ayahnya.


"Bapak izinkan, Har. Asalkan kamu hati-hati. Suarakan apa yang perlu kalian suarakan. Semoga berhasil!"


Ayahnya memberi wejangan dengan semangat yang berkobar. Mendengar perkataan suaminya, Ibu Azhar hanya bisa ikhlas melepas kepergian Azhar. Izin didapat, Azhar mencium tangan Ibu dan Ayahnya. Kepada Hanan, ia menjitak kepala Adiknya itu seraya berkata.


"Kamu harus seperti aku nanti!" Azhar meraih Cyberian 28l berisi baju dan makanan ringan yang telah ia persiapkan sejak semalam.


 Ia mengeluarkan Vario 125 miliknya, langsung tancap gas menuju kampus. Sementara Ayah dan Hanan menaiki Volvo 262C, yang sudah dimiliki Ayah sejak zaman kuliah dulu. Ayah Azhar memang seorang petrolhead1 sejati.


Semasa kuliah dulu, ia beberapa kali bergonta-ganti mobil. Mulai dari BMW E30, sampai W202 ia pernah cicipi.


"Kalau masalah mobil, siapa lagi orang yang lebih tahu selain Ayah", puji Azhar sekali waktu saat mereka sedang menonton aksi drift ilegal di Jalan Diponegoro.


Selain seorang petrolhead sejati, Ayah Azhar juga merupakan seorang aktivis saat kuliah dulu. Satu hal yang paling berkesan untuknya, adalah ketika ikut serta dalam aksi unjuk rasa mahasiswa seluruh Indonesia untuk menurunkan rezim pemerintahan yang otoriter pada saat itu. Orang-orang penting yang katanya ‘berpihak kepada rakyat’ adalah teman seperjuangannya dulu. Hanya takdir berkata lain. Tak mengherankan ketika anaknya kini meneruskan perjuangannya dulu.


"Kamu mau seperti Kakakmu itu nanti?", tanya Ayah Azhar kepada Hanan yang sedari tadi melihat ke jendela dengan cemas akan keselamatan Kakak tercintanya itu.


"Mau, Yah! Setidaknya jika aku tidak bisa menjadi pemimpin yang baik, aku mau jadi pengontrol pemimpin yang baik. Negara ini ibarat pengemudi kendaraan, dan rakyat sebagai pengatur lalu lintas. Ketika pengemudi melanggar peraturan, maka harus ditindak oleh pengatur lalu lintas!" jawab Hanan dengan tegas.


Hanan memang pintar dalam berargumen. Maklumlah, ia tumbuh berkembang tidak seperti anak-anak seumuran dia yang lebih memilih dipusingkan oleh ilmu pasti daripada ilmu sosial. Di sekolah ia belum menemukan sosok orang yang ia bisa ajak bertukar pikiran mengenai permasalahan bangsa ini. Lagipula, tahu apa anak kelas 10 SMA? Paling hanya mengenal cinta. Itupun masih tertukar antara cinta dan nafsu.

      Dinginnya angin yang menerpa Azhar pagi itu tak dihiraukannya. Matahari pagi sesekali mengacaukan pandangannya dan hampir menabrak Nenek pembawa sayur kangkung dari pasar. Memacu Vario 125 kesayangannya, ia lewati beberapa mobil yang lajunya lambat sekali.


         "Hei, Bung! Kau ini ingin berangkat bekerja atau sedang belajar berkendara? Lambat sekali!" tegur Azhar seraya melewati kaca depan supir mobil tersebut.


          Entah ada apa dengan hari ini, jalanan begitu ramai sekali. Suara klakson saling bersahutan seperti anak-anak SMP yang sedang berbalas pantun dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Motor-motor saling berhimpitan di belakang lampu merah perempatan jalan. Suara burung yang berkicau tersumbat oleh suara knalpot kendaraan yang menanti lampu berubah menjadi hijau.

           Sesekali motor Azhar disundul beberapa pengendara motor yang nampaknya terburu-buru. Azhar hanya diam. Ia memilih menyimpan tenaganya untuk memaki-maki pemimpin yang khianat daripada mencaci orang yang menyundul motornya. Setelah melalui pergulatan yang panjang antara dirinya dengan jalanan, akhirnya ia tiba di Kampusnya. Ia memilih tempat yang strategis untuk memarkirkan motornya. Ia memilih memarkirkan motornya di bawah pohon Kamboja yang usianya lebih tua daripada usia Kampusnya sendiri! Ia memilih tempat tersebut karena tempatnya teduh dan tidak berhimpitan dengan motor lain. Ia kasihan kepada motornya jika ia memarkirkannya di tempat yang terkena terik sinar matahari. Ia tak mau motornya sakit.


          "Nanti kalau kamu sakit, aku harus kasih kamu obat apa? Memang kamu mempan dikasih Panadol?" gurau Azhar kepada motor kesayangannya.


             Maklumlah, motor itu sudah menemai Azhar semenjak ia duduk di Sekolah Menengah Pertama. Motor itu adalah hadiah dari Ayahnya karena Azhar berhasil masuk ke SMP favorit di kotanya. Ya walaupun dalam peraturan menyebutkan bahwa anak SMP belum boleh membawa sepeda motor, tapi Azhar selalu nekat membawa sepeda motor pemberian Ayahnya itu ke Sekolah. Masalah operasi dari pihak Kepolisian, Azhar lebih ingin bermain ‘kucing-kucingan’ dengan polisi. Menurutnya itu seru. Bisa meningkatkan adrenalin walaupun tidak lama. Setidaknya ia tidak perlu pergi ke wahana permainan di Jakarta hanya sekadar untuk memacu adrenalinnya. Niatnya memang untuk pamer, supaya anak-anak perempuan mau dekat-dekat dengannya. Terbukti, semua perempuan di Sekolah pernah dipacarinya! Busyet.


                 "Kamu itu cari pacar apa cari orang yang mau masuk surga? Kok semuanya mau, sih?" tanya Ibunya ketika Azhar bicara blak-blakkan mengenai masa lalunya.


              Setelah menambahkan kunci gembok di kedua roda motornya—yang sebenarnya masih kurang untuk melindungi sebuah motor di Kampusnya—ia tak lupa berpamitan kepada motornya.


             "Kamu jaga diri baik-baik, ya, di sini. Mau tidak mau kamu puasa dululah, ya. Kalau ada orang yang mau menculik kamu, kamu teriak saja, ya. Di sana ada Pak Joko yang selalu bersiaga. Bilang saja kamu motornya Azhar", ucapnya seraya mencium stop kontak motornya itu.


  Orang-orang yang lalu-lalang di parkiran itu mungkin menganggap Azhar gila. Tetapi Azhar menganggapnya ini adalah cinta. Jalan beraspal mulus ia susuri menuju titik kumpul keberangkatan mahasiswa dari Kampusnya menuju ke Ibukota. Suasana di Kampusnya nampak sepi. Hanya ada beberapa orang mengenakan seragam SMA lalu-lalang melihat-lihat gedung perkuliahan yang tersebar di penjuru Kampus.


"Mungkin mereka mahasiswa baru yang diterima Kampus ini. Welcome to the Jungle everybody!" ejeknya dalam hati.


 Tak mengeharankan sebenarnya keadaan Kampus sepi pada saat itu. Satu hari sebelum keberangkatan ke Ibukota, sudah tersiar kabar dari Presiden Mahasiswa bahwa pada hari ini tidak ada perkuliahan di semua fakultas. Semua perkuliahan dipindah ke Ibukota. Walaupun berita tersebut bukan merupakan berita resmi dari pihak Kampus, namun tampaknya semangat seluruh mahasiswa tidak terbendung untuk segera menjitak kepala para pemimpin yang otoriter. Kampus bagaikan kota mati hari ini.

       Lokasi titik kumpul keberangkatan kali ini bertempat di Masjid Al-Muqawarma. Seluruh mahasiswa yang akan berangkat diagendakan untuk melakukan salat Hajat, agar semua yang dicita-citakan dapat terpenuhi dan juga agar diberikan keselamatan oleh-Nya. Di sana, Azhar bertemu dengan Fahri, sahabat yang telah ia kenal selama 19 tahun.


              "Aku kira kau tak akan ikut, Har, sapa Fahri dengan raut muka kegirangan. Jika aku tak ikut, aku sama saja telah melakukan pembunuhan terhadap diriku sendiri. Sudah waktunya kita semua turun ke jalan saat ini! jawab Azhar dengan semangat yang berapi-api.


              "Semoga apa yang kita cita-citakan dapat terwujud ya, Har!" sahut Fahri dengan semangat yang tak kalah berkobar dari Azhar.


             Mereka berjabat tangan dan berpelukan. Komando dari Presiden Mahasiswa Kampus telah disiarkan, bahwa mereka akan melaksanakan salat terlebih dahulu. Seluruh mahasiswa mengantre masuk Masjid. Masjid di Kampus ini sangat besar, dapat menampung 20.000 jamaah. Suasana khidmat mengiringi kedatangan mereka ke rumah Allah tersebut. Belum pernah sebelumnya, ribuan orang berbondong-bondong mendatangi rumah Allah.


                "Apakah mereka meminta surga kepadaku? Atau mereka ingin meminta ampunanku?" tanya Allah kepada malaikat yang sedari tadi sibuk mencatat nama-nama orang yang akan melaksanakan salat.


             Setelah upacara keagamaan selesai, 100 buah bus sudah menanti di halaman Masjid untuk mengangkut prajurit demokrasi ini ke medan perang. Perjalanan menuju Ibukota memakan waktu 3 jam perjalanan. Waktu tersebut disiasati dengan cara-cara yang berbeda oleh mereka. Ada yang memilih untuk tidur agar mental dan fisiknya fit untuk berperang melawan aparat yang telah dikucuri bonus untuk melindungi pemimpin. Ada yang mengobrol satu sama lain mengenai perkembangan keadaan negara ini. Ada yang menangis haru ketika meminta restu orangtua.

                 Di perjalanan, orang-orang berbaris menghormat bus pembawa mahasiswa pemberani ini. Anak sekolah menghormat seraya mengulurkan topinya. Pedagang sayur di Pasar menghormat seraya mengulurkan sayurnya. Pelacur menghormat seraya mengulurkan harga dirinya. Baginya, harga diri sebagai seorang pelacur lebih tinggi daripada harga diri seorang pemimpin yang mengecewakan rakyat. Semua orang menaruh harapan besar kepada mahasiswa untuk dapat mengubah negeri ini.

                 Melewati udara sesak dan pengap di kawasan industri yang sedang produktifnya pagi itu. Melewati teriknya udara Ibukota yang melubangi bagian atap bus. Kedatangan mereka disambut oleh mahasiswa lain dari penjuru Indonesia yang sedari kemarin sudah berkumpul di tempat ini. Iring-iringan bus yang ditumpangi Azhar dan teman-teman mahasiswanya dikawal masuk Ibukota oleh mahasiswa lain dengan barikade manusia.

                 Kedatangan Azhar dan teman-teman mahasiswanya dipercaya dapat menambah kekuatan mahasiswa dalam melawan pemerintahan yang otoriter. Bus mereka dipersilakan untuk diparkirkan di restoran cepat saji yang beberapa hari yang lalu memilih untuk tutup demi menjaga keselamatan karyawan dan pelanggannya. Suasana Ibukota hari itu memang sepi dari aktivitas masyarakat sipil. Kota ini bisa dibilang New Yorknya Amerika. Kehidupan tidak pernah berhenti.

Begitu Azhar menginjakkan kaki di Ibukota ini, ia disambut oleh perwakilan mahasiswa dari penjuru Indonesia.


"Selamat Pagi, Saudara! Senang kalian bisa hadir. Mari kita lawan tirani di depan kita!", ucap mahasiswa tersebut dengan semangat yang menggebu-gebu.


 Azhar mengiyakan ajakan rekan mahasiswa tersebut. Azhar juga mengerti apa yang dilakukan rekan mahasiswanya sangat wajar. Bayangkan, seorang pemimpin—yang mempunyai kewajiban mengayomi rakyatnya—tertangkap tangan melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang mengkritik kebijakannya! Semua orang harus tunduk terhadap perintahnya dan tidak diperkenankan untuk menentang. Pilihannya hanya dua: mati dengan tenang atau hidup di bawah kekuasaan sewenang-wenang.

Iring-iringan mahasiswa berjalan dari restoran tepat saji tersebut ke arah kompleks pemerintahan. Dengan jas almamater berbeda-beda warna yang dikenakan masing-masing mahasiswa semakin menambah kesan bahwa mereka Indonesia raya. Mereka berjalan sembari meneriakkan yel-yel kekecewaan mereka terhadap Pemerintah. Suasana pertokoan di kanan kiri jalan tampak sepi. Semua toko tutup. Semua pekerja diliburkan. Hanya ada beberapa orang yang berdiri di pinggir jalan ingin melihat siapa sosok yang kelak akan dikenang sebagai pahlawan bagi bangsa ini. Ada yang memberikan semangat kepada mahasiswa untuk berjuang. Ada yang memberikan makanan dan minuman secara cuma-cuma untuk mahasiswa.

Ada yang memberikan anak perempuannya untuk dinikahi jika diantara mereka ada yang serius ingin memiliki anaknya dan berhasil menggulingkan Pemerintah yang otoriter. Di kompleks pemerintahan, mereka telah dihadang oleh aparat kepolisian lengkap dengan helm, body protector, dan tameng.

 Mereka berbaris bershaf memenuhi jalan yang cukup dilalui oleh 2 bus dari masing-masing arah. Para mahasiswa terpaksa tidak bisa melanjutkan aksi mereka lebih dekat dengan para pemimpin itu. Mereka mulai menyuarakan aspirasi mereka sembari berteriak. Aparat kepolisian tak bergeming sedikitpun. Kedua kaki mereka tetap pada posisi semula. Kepala mereka tak sedikitpun menunduk. Hanya napas mereka yang tersengal sesekali.

 Siapa bilang polisi tidak punya rasa takut? Untuk kali ini, rasa takut mulai menghinggapi polisi. Bukan takut, lebih tepatnya iba. Iba terhadap kondisi negeri ini yang begitu memprihatinkan. Kalau bukan karena tambahan gaji akhir bulan yang akan digandakan dua kali lipat, sudah pasti mereka akan ikut bersama mahasiswa ini. Keadaan makin memanas. Panas terik matahari mulai terasa di ubun-ubun kepala.


"Hei, anjing Belanda! Biarkan kami masuk ke sana. Kalian semua warga Indonesia juga, kan? Kenapa kalian biarkan negeri ini terjatuh seperti ini?" teriak seorang mahasiswa dengan suara serak.


 Tak ada tanggapan dari aparat kepolisian. Atas inisiatif seorang mahasiswa, mereka berperang dengan aparat kepolisian. Mahasiswa hanya dipersenjatai dengan batu, sedangkan aparat kepolisian dibekali dengan gas air mata, water cannon, pentungan, dan tameng. Macam melihat pertandingan antara Rey Mysterio vs Big Show saja.

 Ketika keadaan mulai chaos, aparat kepolisian menyemprotkan water cannon untuk membubarkan mahasiswa. Namun ini menjadi anugerah bagi mahasiswa. Mereka membuka baju dan celana ketika polisi menyemprotkan water cannon. Ada yang kebetulan membawa sabun mandi dan mulai menggosokkannya ke seluruh bagian tubuhnya. Maklumlah, rata-rata mahasiswa ini tinggal di indekos. Sehingga masalah mandi, tidak begitu mereka pedulikan. Para mahasiswa tetap dengan semangat yang berkobar untuk maju ke medan perang.

 Senjata terakhir dikeluarkan aparat kepolisian. Mereka mengeluarkan gas air mata. Langit Ibukota yang tadinya sangat sejuk dan biru, berubah menjadi kepulan asap putih yang menyesakkan dada dan membuat mata sedikit menangis. Banyak korban yang mulai berjatuhan. Azhar yang melihat beberapa korbannya jatuh, membopong rekan-rekannya itu ke tempat yang lebih aman. Presiden mahasiswa salah satu kampus memberikan komando agar rekan-rekannya mundur terlebih dahulu. Para mahasiswa dipaksa mundur oleh aparat kepolisian.

            Azhar membopong rekannya ke salah satu rumah makan yang ternyata masih buka di suasana seperti ini.


            "Ya kami sih realistis saja, ya. Orang-orang yang demo kan pasti lapar, kami sediakan tempat dan makanannya juga", ujar pemilik rumah makan ketika diwawancarai reporter yang kebetulan meliput aksi tersebut.


               "Masuk dulu saja sini, kita makan siang dulu", ajak Azhar kepada rekannya tersebut.


               Seketika rumah makan tersebut dipenuhi oleh mahasiswa yang kelaparan buntut dari aksi yang mereka lakukan tadi. Para pelayan rumah makan kewalahan menghadapi invasi para mahasiswa yang lebih mirip seperti zombie yang ingin memakan manusia. Azhar duduk bersama rekannya, Fahri, menyantap sepiring ayam sayur lengkap dengan tempe orek dan sambal hijau. Tak lupa segelas nutrisari dipesan mereka. Memang cuaca siang itu sangat terik. Matahari juga marah kepada pemerintah.

            Suara derap langkah sepatu tedengar semakin mendekat. Aparat kepolisian melakukan sweeping terhadap pelaku demo. Mahasiswa dicekik dan dilempar keluar. Azhar yang masih menikmati ayam sayurnya, diseret oleh dua orang polisi menuju basement rumah makan. Di pojok basement bersama tong sampah, Azhar ditempatkan di situ. Mata kedua polisi tersebut seperti dirasuki setan, sangat merah.


            "Kamu ikut demo tadi?", tanya polisi 1 dengan nada tinggi.

            "Iya, Pak", jawab Azhar dengan  nada yang tak kalah tinggi.

"Kamu seharusnya diam saja di Kampus, belajar yang benar!" hina polisi dua seraya menendang kepala Azhar dengan sepatu Dr. Martens.

"Dasar kalian anjing Belanda!" teriak Azhar seraya bangkit ingin memukul kedua polisi tersebut.


Namun, langkahnya kurang cepat. Kedua polisi tersebut meninju perut Azhar secara bersamaan. Azhar terhempas. Dalam posisi tergeletak itu ia menjadi bulan-bulanan polisi tersebut. Mereka menendangi kepala Azhar, meninju perutnya hingga sesekali dari mulutnya mengeluarkan darah.

 Di bagian lain rumah makan tersebut, mahasiswa yang mulai tersudutkan mendapat bantuan warga yang berbondong-bondong membawa golok, celurit, pedang, dan senjata lain. Aparat kepolisian yang melihat kedatangan warga tersebut lari terbirit-birit. Mereka takut karena tidak dipersenjatai senjata yang lengkap. Akhirnya, dibantu warga, para mahasiswa ini balik menyerang aparat kepolisian.

 Beberapa aparat kepolisian ada yang tergeletak mendapat bogem mentah dari warga. Mereka semua berhasil masuk ke kompleks pemerintahan tersebut. Mereka mulai mencari sosok pemimpin yang melakukan penganiayaan terhadap rekannya yang dulu mengkritik dirinya. Pemimpin tersebut tersudut di balik meja kerjanya. Ia ketakutan melihat banyaknya mahasiswa di depannya dengan membawa beberapa tuntutan.

 Setelah berdialog panjang lebar, pemimpin tersebut menyetujui tuntutan mahasiswa tersebut. Seluruh mahasiswa yang berada dalam ruangan tersebut bersorak kegirangan karena tuntutan mereka terpenuhi. Mereka lalu membubarkan diri dengan semangat kemenangan yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.

 Semangat itu menjalari pula tubuh Fahri. Namun, ia teringat Azhar yang sedari tadi luput dari pandangannya. Ia teringat bahwa ia terakhir kali bertemu Azhar di satu-satunya rumah makan yang buka di kota itu. Ia berlari melewati kerumunan mahasiswa yang merayakan kemenangan bangsa ini. Setibanya di rumah makan, tidak ada satupun orang. Seluruh pelayan dan pemilik rumah makan berada di luar merayakan kemenangan bangsa ini.

            Di sudut rumah makan, Fahri melihat sebuah tangga yang nampaknya menuju ke basement rumah makan ini. Ia berlari menuruni tangga. Ketika sampai di basement, ia melihat Azhar tergeletak menengadah ke langit-langit basement yang terbuat dari beton dengan speaker di sampingnya memutar lagu dari Coldplay-Viva la Vida.


              "Har, kita menang!" bangga Fahri dengan suara yang gemetar dan air mata yang mulai menetes dari matanya.

            "Aku tahu kita akan menang, Ri. Kemenangan memang pantas kita dapatkan. Di balik sebuah kemenangan, aka nada pahlawan yang gugur untuk dikenang."


Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!