Kami yang Dipisahkan Bumi
Setiap
pagi aku selalu menyusuri taman di kota ini. Taman ini selalu menjadi tempat di
mana bangkunya selalu mendengarkanku bicara. Taman ini memang tidak begitu
luas. Di sudut kanan dan kiri terdapat ayunan yang sering dipenuhi anak-anak
kecil. Satu orang duduk di ayunan sedang teman yang lain mendorong dari
belakang. Anak-anak itu asyik bermain ayunan. Mereka tampak berbahagia sekali.
Rasanya setiap mereka berayun di udara, kepala mereka dicukur oleh angin dan
membuat pikiran mereka segar kembali—walaupun belum tahu juga anak-anak kecil
pikirannya sudah seberat apa. Terima kasih, ayunan, telah memberi kebahagiaan
yang sederhana untuk anak-anak itu, hormatku pada ayunan itu. Semoga aku juga
bisa mendapatkan kebahagiaan yang sederhana pula.
Aku
duduk termangu di bangku yang bersebelahan langsung dengan jalan raya. Lengkap
dengan kamera digital yang kulilitkan dengan strap hitam bertuliskan logo kamera itu sendiri. Aku memang senang
memotret. Aku senang mengabadikan momen melalui tangkapan layar. Momen itu seperti
puzzle dalam pikiran. Setiap satu
langkah kakimu, potongan puzzle itu
akan tanggal. Akhirnya kamu sampai di rumah dengan puzzle yang kosong. Potongan puzzle
itu dibawa orang dan disusun seenak jidat mereka. Maka, tangkaplah momen itu
dengan kamera. Kamera apapun. Agar selamanya suasana dan rasa dari momen itu
abadi. Kulihat dari seberang jalan, di bawah jembatan penyebrangan yang
berwarna air laut, seorang wanita sedang bersedih. Laki-laki brengsek mana yang tega membuat dewi seperti ini bersedih?
gerutuku dalam hati.
Tubuhnya
tinggi semampai—lebih tinggi daripada postur tubuhku sendiri—dibalut dengan
baju gamis berwarna merah maroon dan kerudung bermotif bunga edelweiss yang
memberi tanda kesucian hatinya. Ia terlihat menangis persis di halte bus dan
menjadi tontonan pengendara yang melewati jalan itu. Aku tak tega melihatnya.
Aku memutuskan menghampirinya. Kuberhentikan beberapa kendaraan agar
mempersilakanku lewat.
“Permisi, apa kau sedang dalam masalah?” ucapku setengah berbisik.
Ia masih saja menangis. Mungkin tak mendengar
ucapanku.
“Maaf, tetapi tidak etis seorang perempuan menangis
sendiri di pinggir jalan.” aku berusaha mengajaknya berbicara.
“Maaf”
ia berkata seraya menghapus air matanya. “aku tidak bermaksud membuat orang
tidak nyaman melihat keadaanku.”
“Tidak
ada yang tidak nyaman melihat keadaanmu. Aku hanya kasihan.” aku berusaha
meyakinkannya.
“Kalau boleh jujur, keadaanku sedang tergucang sekarang. Tunanganku yang beberapa hari lagi akan menjadi suamiku, meninggalkanku begitu saja.” ucapnya dengan suara setengah bergetar. “
"Ia lebih memilih perempuan yang penampilannya lebih terbuka
daripada aku. Yang lebih membuatku terkejut adalah ia lebih memilih sahabatku
sendiri yang merupakan seorang DJ di
Club malam. Penampilanku seperti ini karena aku memenuhi kewajiban dari
Tuhanku.” jelasnya.
Mendengar
perkataannya, hatiku langsung bergetar hebat. Perkataannya bagai pukulan telak
bagi diriku yang selalu tidak pernah puas mencari perempuan yang penampilannya
sangat terbuka. Ia bagai oase di padang pasir yang menuntunku ke jalan yang
benar. Pikiranku tiba-tiba menjadi jernih tak tersisa kotoran sedikitpun.
Perempuan ini membuat aku menyadari bahwa kehidupan setelah mati lebih panjang
daripada kehidupan di bumi saat ini.
“Lantas
mengapa kau bersedih? Seharusnya dia yang bersedih karena melepaskan wanita
secantik dan sebijak dirimu.” tanyaku heran.
“Aku hanya memikirkan bagaimana kecewanya keluargaku!” tiba-tiba ia menangis kembali.
Bodohnya aku bertanya seperti itu sehingga membuatnya menangis
kembali. Aku hanya terdiam menunggunya selesai menguras air di kedua kelopak
matanya. Setelah saling terdiam selama 10 menit, aku berusaha mencairkan
kembali suasana.
“Sungguh
tidak sopannya Saya mengajak bicara seseorang tanpa terlebih dahulu memperkenalkan
diri. Saya Warsakala.” aku hanya meletakkan tangan kananku menyilang ke dada
kiriku.
“Namaku
Sonia. Namamu bagus, seperti dalam cerita kerajaan dulu.” candanya sambil
tersenyum.
“Namamu
juga bagus, memiliki arti kebijaksanaan.” aku membalas candanya.
(**)
Hari itu aku dan Sonia berencana untuk mencari angin malam di kota. Aku diberi alamat rumahnya dan ia memintaku untuk menjemput di rumahnya—bertemu dengan orangtuanya. Kupacu Honda Jazzku menyusuri jalanan kota. 30 menit aku sudah sampai di rumahnya. Aku disambut oleh pembantunya yang membukakan pintu garasi dan mempersilakan mobilku untuk masuk. Rumahnya tidak terlalu megah seperti rumah artis-artis di televisi.
Di samping garasi terdapat sepetak tanah yang hijau ditumbuhi rerumputan yang tidak terlalu tinggi. Di ujung bagian rumahnya terdapat kolam ikan yang pantulan cahaya airnya memantul ke dinding rumah. Pembantunya membimbingku memasuki rumah dan mempersilakanku duduk di ruang tamu. Aku disambut oleh pria yang sudah lumayan berumur, wajahnya dibalut oleh kumis dan janggut yang bersatu dengan jambang di kanan dan kiri wajahnya. Kutebak ini adalah Bapaknya. Aku menyalaminya. Kami hanya duduk terdiam tanpa sepatah kata pun terucap dari masing-masing dari kami. Suara Sonia tiba-tiba mengagetkanku.
“Yah, aku mau pergi dulu, ya. La, ayo!” ia pamit kepada orang yang ia panggil Ayah.
Aku berdiri menyambutnya.
“Ajak juga adikmu, kamu tidak boleh pergi hanya berdua.” ucap Ayahnya dengan nada berat.
Sonia masuk kembali mengajak adik laki-lakinya, Azka. Azka ini masih
berumur 5 tahun, namun tubuhnya lumayan gemuk dibanding teman-teman yang lain.
Kami pamit.
Aku mengajaknya ke suatu tempat di tengah kota yang suasananya semakin nyaman di malam hari. Kami berjalan tenang menyusuri tempat itu. Kami bergandengan bertiga, persis seperti sebuah keluarga. Tiang lampu di kanan dan kiri melengkung menyelimuti jalan dengan semburat cahaya warna-warni. Kulihat Azka sangat senang berlarian mendahului kami. Kuajak mereka ke sebuah bagian jalan yang menyediakan tempat bagi penjual makanan menjajakan dagangannya. Ia memilih untuk makan bakso saja. Malam-malam begini memang bakso adalah pilihan yang tepat.
Tiga mangkuk bakso tersaji , lengkap dengan saus, kecap, dan juga
sambal. Mangkuk bakso milikmu dibiarkan dingin dirasuki udara malam itu karena
kau sibuk menyuapi Azka yang nampaknya belum bisa makan sendiri. Aku tersenyum
melihatnya. Azka yang mulai mengantuk mengajakmu untuk segera pulang. Aku
memenuhi permintaan Azka. Di perjalanan, Sonia memangku Azka yang tertidur di
kursi depan, persis di sebelahku. Aku melihat bagaimana sifat keibuan yang ia
miliki. Satu hal yang terlintas dalam benakku: kau adalah sosok yang tepat.
(**)
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Aku dan
keluargaku akan bertamu ke kediamanmu dengan maksud ingin meminta restu untuk
menjadikanmu sebagai pendamping hidupku. Kuharap kau siap. Suasana di rumahmu
nampak hangat dan tegang. Aku menunggu apakah keluargaku menerimaku atau tidak.
Aku mulai membuka percakapan.
“Bapak, maksud kedatangan saya kemari beserta keluarga
ingin meminta izin kepada Bapak dan keluarga untuk melamar Sonia.” ucapku
dengan yakin. Tampak kau dan Ibumu tersenyum. Tapi tidak dengan Ayahmu.
“Saya hargai usaha kamu dan saya menghormati Ibu Bapak
yang telah jauh-jauh datang ke kediaman kami. Namun, untuk melamar Sonia, saya
ingin anak Bapak dan Ibu ini hafal dulu salah satu surat dalam Al-Quran, yaitu
surat Ar-Rahman. Bagaimanapun juga, Sonia ini anak kami yang paling besar,
sehingga kami ingin Sonia ini berjodoh dengan laki-laki yang terbaik juga. Jika
sudah hafal, barulah datang kemari lagi untuk melamar anak kami. Bagaimana,
bisa?” tanya Ayahnya.
Ibu dan Ayahku nampak berusaha menanyakan kesiapan hatiku. Kukatakan pada mereka bahwa aku siap.
“Baik, saya siap, Pak!” ucapku dengan lantang.
Setelah permintaan Ayahnya itu, kami sekeluarga dipersilakan untuk menikmati jamuan yang telah diberikan. Keluargaku tampak akrab sekali dengan keluarga Sonia. Ini kabar baik!, seruku dalam hati.
Berhari-hari semenjak kedatangku itu, aku sibuk
menghafal surat yang diminta Ayahnya. Walaupun kemampuan mengajiku bisa
dibilang biasa saja, tapi aku semakin tertantang untuk mempelajari Al-Quran
lebih dalam dan menggali pengetahuan seputar Islam. Satu hal yang masih jadi pertanyaanku:
mengapa beliau memintaku menghafal surat itu? Pertanyaan itu kadang kala muncul
menghantui pikiranku. Namun aku tetap pada tujuanku: menghafal surat Ar-Rahman.
Dua minggu kuhabiskan waktu untuk menghafal surat itu.
Kini, tibalah saat di mana aku harus melafalkan surat itu dihadapan keluargaku
dan keluarga Sonia. Semua orang dalam ruangan ini tampak hening dan
menanti-nanti. Kulafalkan surat tersebut dengan irama Nahawand-Kurdi yang
kupelajari dari video-video Muzammil Hasballah di YouTube. Potongan ayat
terakhir telah kuselesaikan, dan kulihat ekspresi bahagia semua orang di
ruangan ini.
“Baik, itu bagus sekali. Kami sekeluarga menerima lamaranmu.” ucap Ayahnya dengan senyum.
Aku bersyukur sekali saat itu, tinggal selangkah lagi kita sah sebagai pasangan hidup. Kami berdua—ditemani Azka—sibuk mempersiapkan kebutuhan untuk acara pernikahan kami. Kami mengurus mencari-cari gedung, cathering, WO, dan segala keperluannya. Sebetulnya ini bukan tugas kami, tapi aku teringat kata-katanya.
“Aku ingin pernikahan kita nanti menjadi pernikahan
pertamaku dan terakhirku. Makanya, aku ingin mengusahakan yang terbaik untuk
itu.” ucapnya dengan semangat yang tertular kepadaku.
Malam itu aku berkujung ke rumahnya untuk melihat kondisi terkininya. Kami duduk-duduk di halaman rumah seraya memandang langit malam yang ditaburi bintang-bintang penyamar langit.
“Tidak saya sangka, perjalanan hidup membawa saya
sampai kemari. Bertemu dengan sosok baik, penyayang, dan dewasa sepertimu.
Sosok yang berhasil mengubah pribadi saya.” pujiku sambil terseyum menatap
nanar matanya.
“Ini semua sudah takdir Tuhan. Tidak ada yang bisa
menolaknya. Aku harap kamu menjadi jodohku sampai maut memisahkan kita. Amin.”
ucapmu lirih.
Akupun ikut mengamininya. Aku merasa menjadi orang yang teramat bahagia hari itu. Aku berpamitan kepada keluarganya dan kepada Sonia. Besok merupakan hari yang ditunggu-tunggu selama hidupku.
Hari itu akhirnya tiba. Semua anggota keluargaku sibuk
berdandan untuk hari yang teramat sakral. Pagi itu aku yang terebih dahulu rapi
daripada keluargaku. Terdengar dering ponselku di atas meja komputer yang
kaki-kakinya hampir tak mampu lagi berdiri digerogoti rayap. Panggilan masuk
dari Sonia. Pikirku ia membutuhkan bantuan untuk memilih warna lipstick apa yang cocok dipakainya hari
ini. Kudekatkan ponselku ke telingaku. Apa yang kudengar sungguh membuat
lututku lemas dan tak percaya. Sonia telah tiada! Aku memberitahu seisi rumah
bahwa orang yang kucinta yang beberapa saat lagi akan menjadi pasangan hidupku,
yang beberapa saat lagi akan selalu memasak untukku, sudah tiada! Aku memacu
mobilku menuju rumahnya. Kusalip mobil-mobil yang menghalangi di tol dalam
kota.
Di halaman depan rumahnya telah berjajar kursi yang diduduki pelayat dan bendera kuning di setiap sudut halaman rumah. Suara tangisan memenuhi seisi ruangan. Suaranya mengalahkan suara pelayat yang membacakan doa untuk Sonia. Di tengah ruangan, kulihat Ibu Sonia sedang memeluk erat anak pertamanya itu. Lengkap dengan aliran air yang mengalir dari pelupuk matanya dan sebuah tisu di tangan kanannya. Ayahnya berada di sampingnya berusaha menenangkannya. Saat aku mendekat, Ayahnya mendekap diriku.
“Kamu harus sabar. Ini takdir Tuhan.” ayahnya berusaha menguatkanku.
Tak terasa satu persatu tetesan air mengucur deras dari kedua mataku. Kulihat juga para pelayat terenyuh melihat tangisan Ibunya. Setelah tangisannya berhenti, Ibunya pingsan. Ayah kemudian menggotongnya untuk dibaringkan di tempat tidur. Tak lama, ia mulai dimasukkan ke dalam keranda. Aku bergabung dengan yang lain menggotong keranda yang membawanya ke rumah-Nya. Aku dan yang lain berjalan sambil mengucap tahlil. Udara yang kurasakan sangat pahit, sepahit kenyataan yang aku terima hari ini. Setiba di rumah-Nya, aku tak ikut menurunkannya ke liang lahat. Biar Ayahnya saja yang mengantar putrinya ke peristirahatan terakhirnya. Setelah semua doa-doa telah selesai diucapkan, satu persatu orang mulai meninggalkan rumah-Nya. Tersisa aku dan Ayahnya.
“Terima kasih, Nak. Terima kasih kamu telah sungguh-sungguh dalam menjaga dan menyayangi putriku. Ia terkena serangan jantung satu jam setelah kalian bertemu dan mengobrol di halaman rumah. Sekarang, kamu dapat mengerti mengapa saat itu aku memintamu menghafal surat Ar-Rahman.” ucapnya seraya menguatkanku dan meninggalkanku di rumah-Nya.
Ucapan Ayahnya semakin menenggelamkanku dalam kesedihan. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku teringat kembali ucapanmu yang aku sangka membahagiakanku, ternyata tanda-tanda bahwa aku akan kehilanganmu. Kini, kau tenang di rumah-Nya. Rumahmu yang dulu akan merindukan suara merdumu dan sikap kedewasaanmu terhadap Azka. Tanah di rumahmu yang baru belum mengering.
Rumahmu yang sekarang menjadi tempatku mengadu dari
kejamnya dunia terhadapku. Kuhabiskan sisa waktu siangku selepas bekerja untuk
menyirami rumahmu agar kau tak kehausan. Kuisi kosongnya harimu dengan cerita
tentang hariku.
“Warsakala!” ujar seorang wanita yang suaranya tak asing bagiku.
Comments
Post a Comment