Proyek Pembangunan Berlarian Kesana Kemari, Masyarakat Menonton dengan Kaki Terkunci

Negara maju adalah negara yang sukses dalam pembangunan infrastrukturnya


Nampaknya kalimat itu yang dijadikan pedoman bagi Indonesia untuk mensejajarkan diri dengan Singapura, Malaysia, bahkan Inggris. Pembangunan infrastuktur yang sebetulnya belum diperlukan, digalakkan untuk mengejar pamor sebagai sebuah negara maju. Padahal, lebih dari itu, Indonesia perlu meningkatkan kedewasaan masyarakatnya terlebih dahulu ketimbang mengadakan proyek-proyek pembangunan yang belum jelas prospek ke depannya bagaimana bagi negara ini. 

Contohnya saja ketika peresmian MRT (Moda Raya Terpadu) pada bulan Maret 2019 lalu, calon penumpang yang akan menaiki MRT masih saja seenaknya berebut untuk masuk tanpa mau antre terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk antre seperti kebiasaan orang-orang di negara maju sana sangat kurang sekali. Nah, nampaknya inilah yang perlu dipikirkan pemerintah kalau ingin menggalakkan pembangunan dalam bidang transportasi khususnya.

            Salah satu proyek pembangunan di bidang transportasi yang saya rasa luput dari pemberitaan media—mungkin pemerintah juga tak ingin media mengangkatnya—adalah mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. 

             Proyek yang dioperasikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) ini adalah perusahaan yang mengoperasikan jaringan kereta cepat Indonesia yang rencananya akan dibangun dengan rute Jakarta-Bandung. Perusahaan ini merupakan proyek bersama Pilar Sinergi BUMN Indonesia (konsorsium dari empat badan usaha milik negara Indonesia: Kereta Api Indonesia (KAI), Wijaya Karya (Wika), PTPN VIII, dan Jasa Marga) dengan China Railways. 

              Ternyata, ganti rugi yang dibayarkan oleh PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) Jakarta-Bandung masih menyisakan polemik! Proyek yang seyogyanya akan memangkas waktu perjalanan Jakarta-Bandung yang semula antara 2-4 jam menjadi sekitar 45 menit ini nyatanya masih terdapat kekurangan di sana sini. Salah satu kekurangannya yaitu masih menunggaknya pembayaran biaya ganti rugi terhadap warga yang terdampak pembebasan lahan untuk proyek kerjasama antara Indonesia dan Cina ini (sudah seperti anak kos yang ditagih uang sewa kos saja ada drama nunggak-nunggak). Pembebasan lahan untuk proyek kereta cepat ini dikabarkan sudah mencapai 99 persen. (katanya sih begitu)

                Proyek ini, di tempat saya tinggal, di Kecamatan Cikalongwetan, sudah ada kira-kira empat proyek yang sama. Bayangkan, satu kecamatan saja sudah ada empat proyek kereta cepat, bagaimana total satu Bandung dan satu Jakarta? 

                Lebih mengkhawatirkan lagi adalah, orang-orang yang bekerja di proyek ini adalah orang Cina! Saya miris melihatnya. Orang pribumi hanya ditempatkan sebagai ‘kelas rendah’, seperti orang yang mengaduk semen, supir mobil, pokoknya urusan leutak (baca: lumpur) urusan orang pribumi, deh! 

                Secara tidak sadar, saya merasa dijajah—walau tidak langsung. Dan yang lebih menyebalkan lagi, orang pribumi dipaksa untuk bisa memahami bahasa Cina atau isyarat orang Cina tersebut. Harusnya, ya, mereka yang datang ke sini mereka yang belajar bahasa Indonesia, bukan kita yang harus mengerti mereka. 


                Di film-film Indonesia yang syuting di luar negeri, gak pernah tuh saya lihat orang Indonesia ngobrol dengan orang negara tersebut pakai bahasa Indonesia.

                ‘Penjajahan’ tidak langsung ini pun terasa oleh salah seorang warga yang menjadi korban penggusuran akibat proyek ini. Namanya Ibu Lilis. Ia merupakan seorang pegawai koperasi di desanya. Ia menyatakan bahwa ganti rugi yang diterimanya belum sepenuhnya dibayarkan. Mendengar pernyataannya, saya kaget. 

  

                   Kok proyeknya sudah satu tahun lebih, tapi masalah ganti rugi saja belum selesai sih? 

                   Dan ketika saya mendengar nominal ganti rugi yang belum dibayar, saya tambah kaget lagi. 40 juta, Bor! Iya, 40 juta ganti rugi yang belum dibayarkan PT Kereta Cepat Indonesia-Cina itu. Saya jadi berpikir, 


                    40 juta bisa buat makan di warteg dengan menu telur dadar, capcay, dan kentang mustafa berapa tahun, ya?

                    Selain ganti rugi yang belum dibayar, jalanan di sekitar proyek juga menjadi berwarna kecoklatan akibat tanah yang mengendap digilas truk-truk yang keluar masuk proyek setiap saat. Kalau sudah turun hujan, ya jalan jadi licin. Sudah banyak korban juga akibat jalan yang licin tersebut.

                    Akhirnya, ya, warga yang menjadi korban dari proyek pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Mereka berulang kali berdemo, tapi tak pernah ditanggapi oleh aparatur desa yang merupakan kaki tangan pemerintah juga. Warga hanya bisa diam saja. Berharap ada secercah cahaya yang membimbing mereka keluar dari jurang penderitaan. 

                 

                  Maka, apakah masih berpikiran bahwa semua proyek itu menguntungkan bagi kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia? Memang, jangan anti terhadap kemajuan di segala bidang di negara ini. Cuma, ya, jangan terlena begitu saja dengan pembangunan di sana-sini. Bisa-bisa rumahmu juga kena gusur! Ha-Ha.


Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!