Menilik Kebiasaan Ibu-Ibu dalam Per-gibah-an Duniawi

Gelombang kecepatan gibah ibu-ibu bisa lebih dari 100Mbps!

            Perempuan memang tidak pernah lepas dari gibah. Nongkorng di café, gibah. Nunggu kelas, gibah. Di WC bahkan mereka masih sempat gibah! Luar biasa. Gibah sepertinya dirancang tak mengenal tempat, waktu, dan suasana. The power of gibah.

            Mengaku sajalah kalian, wahai kaum hawa, bahwa satu hari tidak gibah itu tidak mengenakkan, bukan? Tapi, apa sih keuntungan atau manfaat yang kalian dapatkan ketika melakukan gibah? Melatih artikulasi dalam berbicara? Melatih kemampuan public speaking? Tapi ya sudah, saya sendiri tidak bisa menyalahkan kebiasaan perempuan yang satu ini. Setiap orang punya hak untuk berpendapat. Selama itu tidak mengganggu hajat hidup orang banyak, ya sah-sah saja.

            Tak ada yang tahu siapa orang pertama yang mencetuskan kebiasaan gibah dengan segala macam kebiasaan-kebiasaan yang mengiringinya—yang saya anggap aneh. Apakah Nikolov Gibahin, Vladimir Gybahkin, atau siapa, saya tak tahu. Yang jelas, kebiasaan-kebiasaan yang mengiringi prosesi gibah ini sepertinya berlaku sama di semua belahan dunia Indonesia.

1.      Bisik-Bisik

Kebiasaan saat gibah yang pertama adalah bisik-bisik dengan suara yang sangat pelan sekali—bahkan di tahap yang paling ekstrem—mengandalkan gerak bibir tanpa suara! Gokil gak, tuh? Hebatnya lagi, lawan bicara langsung paham akan apa yang dibicarakan. Entah kemampuan ini beliau pelajari dari mana. Yang jelas, saya salut.

Kebiasaan ini memang sangat bisa dimengerti, bahwa si pembicara tidak ingin orang lain mendengar apa yang ia bicarakan dengan lawan bicaranya. Tapi cara ini malah bikin saya ikut-ikutan kepo dengan apa yang dibicarakan. Lain kali, cobalah gibah lewat aplikasi WhatsApp, supaya tak usah susah-susah melakukan pantomim dengan gerak mulut dan lawan bicara harus menebaknya.

2.      Dalih Agama: Gibah itu Dosa

Nah, kebiasaan kali ini tampaknya berlaku bagi ibu-ibu yang sering mendengarkan ceramah ustaz atau ulama, namun masih saja gatal ingin gibah. Kalimat yang umum seperti ini:

“Urang jadi ngomongkeun batur dosa. Tapi….”
(Saya jadi membicarakan orang lain, dosa. Tapi)

            Ya kalau udah tau dosa kenapa diterusin, Bu, gibahnya. Kalimat itu tak ubahnya pembelaan atas perlakuan yang salah dengan mengatasnamakan agama. Membicarakan orang dengan konteks apapun, selama kejelekan yang dibahas, bukan kebaikan agar memancing orang lain melakukan kebaikan yang sama, ya tetap dosa.

3.      Jangan Bilang-Bilang

Kebiasaan yang terakhir ini biasanya yang menimbulkan keributan atau memecah hubungan antara si pembicara dan orang yang dibicarakan. Si pembicara selalu berkata:

“Jangan bilang siapa-siapa, ya.”

            Dan biasanya, lawan bicara akan melanggar permintaan dari si pembicara. Saya juga tidak tahu apakah semua perempuan memang memiliki sikap tak bisa menjaga rahasia atau tidak.

            Tiga kebiasaan di atas adalah kebiasaan dalam pergibahan duniawi yang sering secara tak sengaja saya amati dan dengar. Gibah tidak bisa dihentikan. Mereka sudah menginvasi seluruh lapisan masyarakat. Tua, muda sampai anak-anak telah terbiasa melakukan kegiatan yang—menurut mereka—menyenangkan ini.


Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!