Pengalaman Bertandang ke Rumah Sakit di Masa Pandemi Covid-19
Beberapa
hari yang lalu, saya sempat mengunjungi sebuah rumah sakit dekat kediaman—salah
satu kabupaten di Jawa Barat. Bukan untuk KOAS atau bertugas menjadi perawat. Hanya
mengantar dua anggota keluarga memeriksakan kedua matanya.
Awalnya,
bayangan tentang sebuah rumah sakit yang lengang, higienis, dan ketat dalam
pelaksanaan protokol kesehatan di masa New
Normal terus berputar di dalam pikiran. Ini tentu bukan hanya bayangan tak
jelas semata.
Sebab
sudah sering disaksikan bagaimana penerapan protokol kesehatan di masa pandemic
Covid-19 ini. Mulai dari physical distancing—jaga
jarak aman dengan memberi jarak antara satu tempat duduk yang boleh ditempati
dengan tempat duduk di sebelahnya—menyediakan tempat cuci tangan di sudut
ruangan hingga pengecekan suhu tubuh setiap pengunjung. Praktis langkah itu
memberi ‘sedikit’ rasa aman berada di tempat selain rumah.
Namun,
bayangan tentang sebuah rumah sakit dengan segala aturan ketat tentang protokol
kesehatan itu buyar ketika pertama menginjakkan kaki di tempat itu.
Memang,
semula saya optimis akan pengawasan yang ketat di sebuah rumah sakit—ditandai
dengan diwajibkannya pasien untuk melakukan screening
atau apalah itu namanya. Pasien dimintai data diri, diukur denyut nadi, dan
suhu—persis seperti protokol pencegahan Covid-19. Sebelum masuk rumah sakit pun—baik
pasien maupun pengunjung—dianjurkan untuk mencuci tangan dan dicek suhu tubuhnya
(lagi). Di bagian pendaftaran, semua tampak normal: antara satu kursi dengan
kursi lainnya diberi garis silang guna menyuarakan physical distancing. Pemandangan dan perasaan baru terasa berbeda
ketika naik ke lantai pemeriksaan
Udah macam pasar, Bor!
Masing-masing
orang duduk berhimpitan menunggu giliran. Kendati semua orang mengenakan
masker, tetap saja tak mengindahkan physical
distancing.
Seketika
proses yang dari awal dilalui sebelum masuk ke lantai pemeriksaan luntur. Pertanyaan
tidak sederhana mencuat.
Lalu untuk apa
screening tadi?
Untuk apa
dianjurkan cuci tangan terlebih dahulu?
Untuk apa
dilakukan pengecekan suhu tubuh?
Jikalau
memang berniat untuk menerapkan protokol kesehatan, ya jangan setengah-setengah
lah. Tolong imbangu juga dengan pengawasannya.
Bukankah
akhir-akhir ini pemerintah membuat kelonggaran dengan memperbolehkan 50% orang
dari kapasitas gedung? Yang terjadi justru 120%.
Saya mengerti
mereka sudah sadar menggunakan masker, sehingga risiko penularannya menjadi
kecil. Tetapi, alangkah lebih baik jika risiko itu ditekan seminimal mungkin dengan
beberapa protokol penunjang lainnya, bukan?
Jika kondisi
semua rumah sakit seperti ini, saya jadi paham ketakutan ibu pergi ke rumah
sakit di masa seperti ini. Tapi, semoga saja tidak, ya!
Selama pandemi, aku juga baru ke puskesmas beberapa minggu yang lalu. Terpaksa harus ke puskes untuk suntik ITT.
ReplyDeleteAgak ngeri sih awalnya ya karna hawa pandemi nih kerasa banget. Ternyata meskipun cuma puskesmas tapi patuh protokol. Bangku memang ada yg disilang. Di depan kita diminta cuci tangan dulu dan diperiksa suhu badan. Untungnya waktu itu lagi gak rame orang, jadi ngerasa lebih aman.
Betul, pandemi ini menimbulkan banyak keresahan. Tentu itu juga menyerang psikis, jadi takut ke mana-mana walaupun ke Puskesmas atau Rumah Sakit sekalipun yang menjamin kesehatan.
Delete