Klepon Tidak Islami: Upaya Perpecahan atau Strategi Marketing Semata?


Klepon tidak islami, seblak tidak islami, terus apa yang islami?

            VOC sudah tidak bermukim di Indonesia selama 221 tahun. Pendiri dan antek-anteknya pun barangkali sudah menjadi tulang-belulang di liang lahat. Tetapi kok tradisi adu dombanya masih terasa sampai sekarang, ya? Atau mungkin ini adalah tradisi adu domba yang populer di Garut yang diadopsi oleh orang-orang yang fanatik terhadap suatu agama kemudian melakukan tradisi adu domba bukan menggunakan domba sungguhan, melainkan doktrin-doktrin pengkafiran terhadap segala hal yang ada di dunia?

            Baru-baru ini jagat sosial media dihebohkan dengan kemunculan sebuah foto yang bernarasikan bahwa makanan klepon itu haram. Ya, klepon itu haram. Haram apabila menyantap klepon yang sudah dilumuri minuman yang memabukkan. Foto yang bernarasikan klepon haram diiringi dengan narasi lain yang mengajak orang untuk membeli makanan yang islami di toko ‘dia’. Entah siapa itu orangnya, saya tidak tahu. Unggahan tersebut membuat saya bingung.

Ini orang mau memecah masyarakat atau sekadar berjualan?

            Sebelum membahas hal itu, sejenak kita perlu tahu bagaimana sejarah klepon yang sudah sukses bersaing di khazanah kuliner Indonesia.

            Klepon sendiri merupakan kudapan yang sudah ada sejak abad 19. Bukti tertulis tentang klepon ini terdapat pada naskah Keraton Surakarta (Serat Centhini). Di dalam naskah tersebut disebutkan bahwa klepon merupakan makanan yang biasanya dihidangkan untuk jamuan makan, ritual selametan, dan pesta perayaan. Kendati kata ‘klepon’ banyak ditemukan di naskah Keraton Surakarta, bukan berarti klepon berasal dari Jawa. Pasalnya, di Singapura dan Malaysia juga ada makanan yang bentuknya mirip dengan klepon. Namanya onde-onde. Ya semacam tofu dan tahu. Namanya beda tapi itu-itu juga.

            Klepon berbahan dasar tepung beras, pandan, gula aren, dan parutan kelapa. Lalu, di mana letak haramnya? Apakah tepung beras itu haram? Apakah gula aren itu haram? Selama saya belajar agama dari kecil sampai sekarang, belum pernah ada guru agama atau ustaz saya menyebut bahan-bahan tadi itu haram, tuh. Begitu mudahnya orang mengkultuskan A itu haram tanpa meninjau dalil dan logika.

            Saya jadi curiga bahwa isu klepon haram adalah upaya segelintir orang menyalakan kembali api kebencian yang mulai padam akibat virus corona ini. Sebagian orang itu merasa hidupnya ada yang kurang apabila tidak melihat perpecahan dan kebencian. Heran. Kenapa sih orang sangat senang memantik kebencian? Jawabannya satu: fanatisme yang berlebihan terhadap satu agama. Fanatisme bukan hanya terjadi di kalangan supporter sepak bola. Fanatisme agama pun nampaknya lebih brutal daripada fanatisme sepak bola. Fanatisme sepak bola dan agama selalu mempunyai satu tujuan pokok: perpecahan.

            Maka, ketika seseorang selalu menginginkan perpecahan, tak bisa diragukan lagi bahwa ia memiliki sikap sektarian. Sektarianisme adalah kebencian akibat perbedaan di antara suatu kelompok. Bukankah kita ini Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama? Mengapa masih benci terhadap perbedaan? Apabila manusia membenci perbedaan, sama saja ia telah membenci Tuhan yang sudah menciptakan manusia berbeda satu sama lain. Kita tidak pernah bisa meminta kepada Tuhan untuk dilahirkan sebagai anak yang beragama A, kaya raya, terjamin hidupnya, tidak pernah merasakan lelahnya menimba sumur untuk mandi. Tidak. Tidak bisa. Tugas manusia hanya tinggal mensyukuri dan menggunakan pemberian Tuhan dengan sebaik-baiknya.

            Apabila isu klepon ini hanya strategi marketing biasa, bagaimana? Itu tergantung pandangan pembaca masing-masing. Walau hakikatnya memang tidak mungkin seorang salesman sebuah produk akan menawarkan produk yang dijualnya dengan menyampaikan keunggulan dari produknya sambil menjelekkan produk orang lain. Bagi orang yang mudah terombang-ambing hal itu mungkin sah-sah saja. Tetapi bagi orang yang kritis, hal tersebut sangat tidak mungkin diterima. Dengan menjelek-jelekkan produk orang lain, secara tidak langsung ia ragu terhadap keunggulan produknya dibanding produk orang lain.

            Terlepas dari isu tersebut merupakan upaya memecah belah masyarakat Indonesia atau hanya strategi marketing semata, itu tergantung penafsiran masing-masing. Saya tidak mau menggiring opini. Biarkan saya menggiring hati dia saja sampai goal ke pelaminan. Ahiw!


Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!