Legenda Kampung Babakan, Cianjur: Keserakahan yang Menyesatkan
Konon hutan tersebut dihuni oleh siluman bernama Nyai Sanca. Nyai Sanca diyakini masyarakat masuk
ke hutan untuk menjaga hutan beserta isinya sehingga
selalu tampak asri. Nyai Sanca senang berdiam di sumber mata air
hutan ini. Nyai Sanca tinggal
seorang diri, tidak memiliki teman atau budak.
Suatu
ketika, datanglah tiga orang saudara. Mereka adalah Haji Oyib,
Pak Hasim, dan Mok Ijah (Mok dalam bahasa Jawa berarti bibi). Mereka adalah
imigran dari Madura yang melarikan diri ke daerah tersebut. Di tempat asal
mereka terjadi perang saudara, sehingga mereka
terpaksa melakukan migrasi. Pelarian mereka akhirnya berhenti di tempat ini. Mereka berada di
tempat yang dekat dengan sumber kehidupan, tepat dengan keberadaan sumber mata
air.
Pak Hasim: “Tampaknya tempat ini masih asri, dan cocok untuk dihuni
sepertinya.” ucap Pak Hasim.
Haji Oyib: “Ya, tepat sekali. Tempat ini juga punya
tanaman rempah-rempah yang bisa kita manfaatkan untuk bertahan hidup. Selain itu, di
sebelah utara sana kulihat ada hamparan ladang yang bisa kita kelola juga.”
Mok Ijah: “Aku setuju jika kita tinggal di sini. Bagaimana dengan kalian?”
Haji Oyib: “Aku juga setuju! Setelah perjalanan panjang akhirnya kita bisa menemukan
tempat berdiam diri.” ujar Haji Oyib di hadapan saudara-saudaranya.
Mok. Ijah: “ Baiklah. Ayo kita bangun sebuah rumah untuk kita
berlindung. Hari sudah sore.”
Pak Hasim: “Ide bagus itu, Ijah. Ayo!”
Mereka
bertiga membangun sebuah rumah dengan menggunakan batang pohon sebagai pondasi, dan menumpuk puluhan daun kelapa sebagai atap. Mereka
akhirnya beristirahat di rumah baru mereka. Suatu ketika Pak Hasim dan Haji
Oyib berniat untuk melihat-lihat potensi apa yang bisa dikelola di hutan ini.
Mereka berdua pergi meninggalkan Mok Ijah.
Mok Ijah terlihat nyaman
tinggal di sini. Pepohonan yang rindang mengelilingi rumah mereka. Suara burung
pun tak jarang didengar di setiap pagi dan sore. Tidak jauh dari rumah mereka
terdapat mata air. Ketika itu Mok Ijah beranjak pergi ke sumber mata air
sendirian, mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Biasanya, Mok Ijah selalu
ditemani oleh kedua saudaranya, Pak Hasim dan Haji Oyib. Namun, kedua
saudaranya itu sedang berjalan-jalan di hutan untuk mengenal lebih dalam tempat
ini.
Ketika Mok Ijah sedang berjalan membawa kompan yang sudah berisi
air, ia melihat ular yang menghalangi jalannya.
Mok Ijah terlihat kesal dengan ular tersebut. Ia mencari kayu dan memukul ular tersebut.
Mok Ijah: “Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ada ular di sini? Huss, pergi! Kamu menghalangi jalanku.” Mok Ijah terlihat berusaha memukul ular itu.
Belum sempat ular itu
dipukul oleh Mok Ijah, tiba-tiba ular
itu
menjelma seorang siluman. Mok Ijah kaget bukan main. Mok Ijah heran, mengapa
ada siluman ular di sini.
Mok Ijah: “Siapa kamu?
Berani-beraninya menghalangi jalanku?”
Nyai Sanca: “Kamu, dan saudara-saudaramu sangat berani tinggal
di sini. Tidak ada seorang pun yang berani tinggal di sini karena mereka takut
dengan keberadaanku. Mereka takut melihat wajahku yang bersisik seperti ular ini.
Aku kesepian. Bolehkah aku menjadi
temanmu?” tanya Nyai Sanca.
Mok Ijah: “Tidak! Tidak bisa!
Kita sangat berbeda. Tidak bisa. Sudahlah aku harus pergi. Sebentar lagi, kedua
saudaraku pulang. Aku harus memasak untuk mereka.”
Nyai Sanca: “Tidak maukah kamu
berteman denganku? Kenapa? Tidak maukah kamu memiliki teman siluman ular
sepertiku? Lihat saja akan kulukai kedua saudaramu itu. Sehingga kau akan
tinggal seorang diri sepertiku.”
Mok Ijah: “Tolong jangan sakiti
mereka, aku mohon. Apa yang harus
kuperbuat? Apa imbalannya jika kujadikan kamu sebagai temanku?’
Nyai Sanca: “Akan kubuat kau menjadi orang yang paling
bahagia, kaya raya, dan berparas cantik yang menghuni hutan ini. Semua orang
akan menyanjungmu karena kehebatan yang kamu miliki.”
Mok Ijah: “Benarkah? Kau bisa
melakukan itu semua? Aku bisa kaya raya? Aku bisa menjadi cantik dan awet muda? Benarkah?”
Nyai Sanca hanya menganggukkan kepala.
Mok Ijah: “Baiklah, aku setuju!”
Akhirnya, Nyai Sanca tidak lagi sendiri. Kini Mok Ijah adalah orang yang
selalu menemani Nyai Sanca.
Di bagian hutan lain. Haji Oyib,
dan Pak Hasim sedang beristirahat di bawah pohon. Mereka merenungkan bagaimana mereka
akan mengelola tempat ini agar kedepannya bisa dihuni oleh orang banyak. Ketika
itu, mereka tak sengaja menyinggung mengenai penamaan tempat ini. Karena tempat kosong tak berpenghuni, timbul ide dari
mereka untuk menamai tempat tersebut.
Haji Oyib: “Tempat ini sepertinya belum punya nama.
Bagaimana kalau kita beri nama tempat ini?”
Pak Hasim: “Ide yang bagus, tapi, apa, ya?”
Haji Oyib: “Aku bingung tempat ini kita beri nama apa.”
Tiba-tiba dari
dalam hutan muncul seorang pemuda dengan membawa panah dan ayam hutan
buruannya. Pemuda tersebut dipanggil oleh Pak Hasim.
Pak Hasim: “Hai, pemuda. Kemari sebentar!”
Pemuda
itu menghampiri Pak Hasim, dan Haji Oyib.
Pemuda: “Iya, ada apa, Pak?”
Pak Hasim: “Kami ingin bertanya. Daerah ini namanya apa, ya?”
Pemuda: “Daerah ini belum punya nama.”
Haji Oyib: “Loh, mengapa?”
Pemuda: “Daerah ini tidak punya nama karena tidak ada
orang yang berani ngababakan tinggal
di sini.
Orang-orang berpikir tempat ini hanya hutan belantara saja.”
Haji Oyib: “Ngababakan
itu apa?”
Pemuda: “Ngababakan
artinya mengawali, maksudnya mengawali adanya suatu tempat tinggal. Kata babakan yang artinya awal berasal dari bahasa daerah kami,
bahasa Sunda.”
Pak Hasim: “Lalu, kenapa tidak ada yang berani tinggal di
sekitar sini?”
Pemuda: “Masyarakat di luar daerah ini sudah tahu
kalau daerah ini angker. Hutan ini dijaga oleh siluman ular, Nyai Sanca namanya. Biasanya dia lebih sering berada
di dekat mata air hutan ini, Cibiru.”
Mendengar cerita pemuda itu, mereka terkejut. Namun,
mereka tidak gentar terhadap cerita pemuda itu.
Pak Hasim: “Cibiru? Mengapa
namanya Cibiru?”
Pemuda: “Kalau bapak pergi ke tempat ini, bapak akan melihat air yang jernih
sekali. Airnya juga mengalir sangat deras. Maka dari itu namanya Cibiru.
Memangnya bapak dari mana? Apa sudah sering ke hutan ini?”
Haji Oyib: “Kebetulan kami
tinggal di sebuah gubuk yang dekat dengan mata air itu, Nak."
Pemuda
itu pun kaget. Ia berpikiran yang aneh-aneh Ia berpikiran bahwa kedua orang itu adalah kawan dari siluman
ular. Pemuda itu langsung berpamitan dengan Pak Hasim dan Haji Oyib.
Pemuda: “Oh begitu ya, pak. Hati-hati ya, pak. Saya pamit dulu.”
Pemuda
tersebut meninggalkan kedua orang itu dengan tergesa-gesa.
Pak Hasim: “Tempat ini ternyata berhantu. Bagaimana
ini?”
Haji Oyib: “Sudah tak perlu takut. Kita punya Tuhan.
Tidak ada yang bisa menandingi kuasa Tuhan. Kembali ke persoalan, kita beri
nama apa tempat ini?”
Pak Hasim: “Aku tahu. Bagaimana kalau Babakan? Pemuda tadi bilang bahwa babakan artinya awal, karena kita yang mengawali tinggal di sini.”
Haji Oyib: “Nama yang bagus, baiklah aku setuju.”
Pak Hasim: “Aku juga setuju.”
Akhirnya,
terciptalah nama Babakan untuk daerah
tersebut. Mereka senang karena tempat yang mereka tinggali akhirnya mempunyai
nama. Mereka berharap tempat itu akan semakin banyak penghuninya.
Di suatu siang yang cerah, mereka sedang berkumpul di
rumah sederhana mereka. Mereka merasa ingin sekali memanfaatkan ladang, dan tanaman-tanaman rempah yang ada di hutan tersebut
untuk mereka budidayakan dan separuhnya bisa mereka jual.
Haji Oyib: “Sesungguhnya,
tanah ini sangat bermanfaat apabila dikelola dengan baik. Lihat saja, di depan kita terhampar tanah yang ditumbuhi kopi,
cengkih, dan lada. Tanaman ini bisa kita kelola,
dan hasilnya sebagian bisa kita jual ke kota. Belum lagi di sebelah utara dan
selatan sana ada banyak ladang yang bisa kita tumbuhi padi sebagai kebutuhan
pangan kita.”
Pak Hasim: “Memang betul, tanah ini sangat subur.
Sayang, tak ada yang berani mengelolanya, sehingga
dibiarkan begitu saja.”
Haji Oyib: “Tapi meskipun tidak ada yang mengurusnya,
tanaman tersebut tampak selalu tumbuh dengan baik. Apa mungkin karena sumber air di
sini yang bagus juga?”
Mok Ijah: “Kau betul. Air di sini
sangat jernih sekali, alirannya juga deras, seperti tidak pernah surut.”
Ketika Haji Oyib dan Pak Hasim tampak penasaran mengapa airnya bisa
jernih seperti itu, Mok Ijah
menimpali dengan menawarkan sebuah ide.
Mok Ijah: “Aku ada ide. Lebih baik kita saja yang
mengelola lahan ini.
Pak Hasim: “Ide bagus. Bagaimana
kalau kita bagi-bagi saja? Satu orang harus bertanggungjawab atas suatu lahan atau
tempat?”
Mok Ijah: “Aku setuju.”
Haji Oyib: “Baik kalau begitu. Aku mau mengurus tanaman-tanmaan kopi,
lada, dan cengkih saja. Akan aku kelola semua
itu agar tumbuh dengan baik.”
Pak Hasim: “Aku pilih ladang saja. Kebetulan di Madura juga aku kan seorang petani yang
baik. Aku bisa menerapkan ilmuku di sini.”
Mok Ijah: “Karena pohon dan
ladang memerlukan air untuk pertumbuhannya, aku akan menjaga sumber mata air di
sini saja agar selalu bersih dan selalu mengalir deras.”
Pak
Hasim, Haji Oyib, dan
Mok Ijah saling
mengangguk tanda persetujuan.
Suatu hari, Pak Hasim dan
Haji Oyib disibukkan dengan urusan tanaman dan ladang mereka sedangkan Mok Ijah
pergi ke sumber mata air. Seperti biasa, Mok Ijah selalu memeriksa tempat
tersebut. Tempat ini memiliki tujuh sumur yang tergabung dan bermuara pada satu
sumur besar. Disampingnya ada sebuah danau kecil. Maka dari itu, airnya tidak pernah
surut. Setelah selesai membersihkan dan memeriksa segala yang ada di sana, Mok
Ijah beristirahat di sebuah pondok. Ia dikagetkan dengan
kedatangan Nyai Sanca.
Nyai Sanca: “Kau terlihat lelah dan murung. Ada apa?”
Mok Ijah: “Aku merasa jenuh
dengan semua ini.”
Nyai Sanca: “Maksudmu?”
Mok Ijah: “Aku merasa jenuh
dengan apa yang aku lakukan sekarang. Aku menyesal memilih untuk mengelola
sumber air ini. Dua saudaraku sekarang bisa mengelola ladang dan tanaman.
Penghasilan yang mereka dapatkan juga cukup banyak. Mereka sudah memiliki rumah masing-masing yang besar. Bahkan sekarang sudah
ada beberapa penduduk baru yang datang ke tempat ini dan bekerja di tempat
mereka. Sekarang, mereka bukan hanya mendapatkan penghasilan saja, tetapi
mereka juga mendapatkan kawan baru. Sedangkan aku sendiri. Pekerjaanku hanya
merawat sumber mata air ini dan memasak untuk mereka.”
Nyai Sanca: “Jadi kamu iri melihat mereka? Kamu merasa ditinggalkan
dan dilupakan oleh mereka? Haha… Tenang saja, Ijah, aku ini kawanmu. Apa kamu lupa dengan apa yang
kita bicarakan tempo hari?”
Mok Ijah: “Tidak pernah aku lupakan. Kamu akan menjadikan aku seseorang yang paling
bahagia, kaya raya, dan berparas cantik yang menghuni hutan ini. Semua orang
akan menyanjungku karena kehebatan yang aku miliki. Tapi kehebatan seperti apa?”
Nyai Sanca: “Aku bisa membuat kamu kaya raya seketika, itu
urusan mudah bagiku. Kamu cukup bawakan aku sesajen yang berisi jeroan kerbau
setiap harinya. Aku bisa menjadikan kamu
dan orang-orang
selalu terlihat muda, terlihat cantik, dan tampan. Kamu cukup mengajak mereka mandi di danau kecil ini.
Mok Ijah: “Bagaimana kalau kedua
saudaraku mengetahui semua ini? Ini perbuatan jahat, Nyai.”
Nyai Sanca: “Tidak akan. Itu
urusanku, Ijah.”
Mok Ijah: “Baiklah, aku bersedia
melakukan semua itu. Apa kamu bisa melakukan apa
yang kamu katakan sekarang?
Nyai Sanca: “Haha… Itu perkara yang mudah bagiku.
Kemarilah!”
Nyai Sanca komat-kamit membaca mantra dan
memegangi tangan Mok Ijah. Setelah selesai membaca mantra, Nyai Sanca memberikan
perintah kepada Mok Ijah.
Nyai Sanca: “Sekarang, tugasmu menjaga mata air ini, dan bawakan sajen setiap hari. Lihatlah kondisi rumah
yang kau tinggali itu. Seketika akan berubah menjadi megah dan harta yang
engkau inginkan akan berserakan di dalamnya.”
Mendengar
ucapan Nyai Sanca tersebut, Mok Ijah berlari menuju rumahnya. Didapatinya
rumahnya berubah. Dilapisi tembok dan menjadi luas.
Di setiap ruangan rumah terdapat emas batangan yang tak terkira jumlahnya. Mok
Ijah menjadi orang kaya. Ia mengatakan kepada penduduk sekitar bahwa air yang
mengalir dari mata air itu berasal dari kesaktiannya. Dia yang sering merawat mata air
itu sehingga airnya bisa mengalir sangat deras dan jernih. Pak Hasim dan Haji Oyib yang mendengar kabar itu
berusaha bertanya kepada Mok Ijah tentang apa yang ia lakukan.
Pak Hasim: “Mok, kenapa tiba-tiba sekali rumah ini menjadi megah?
Lalu, di setiap sudut juga terdapat emas batangan. Jangan katakan kau bersekongkol dengan siluman ular itu?”
Haji Oyib: “Astaga, Ijah. Kita ini punya Allah, kenapa
kau melakukan itu?”
Mok Ijah: “Diam kalian semua! Aku tidak peduli, yang
penting aku kaya. Haha!.”
Pak
Hasim dan Haji Oyib sangat kecewa dengan apa yang dilakukan
Mok Ijah. Penduduk sekitar sangat memuji-muji Mok Ijah dengan kesaktiannya.
Hidup penduduk menjadi terjamin karena air bersih sudah mudah mereka dapatkan. Banyak masyarakat
yang meminta dimandikan di sumber mata air itu dengan alasan yang
bermacam-macam. Ada yang ingin dimudahkan perihal jodoh, dimudahkan segala usahanya,
selalu cantik, awet muda, dan lain sebagainya. Mok
Ijah menjadi sosok yang diagung-agungkan warga setempat dan
sangat dihormati karena kekayaan dan kesaktiannya. Pekerja-pekerja yang bekerja
di lahan Pak Hasim dan Haji Oyib satu per satu mulai meninggalkan mereka dan
memilih untuk mengurus usahanya sendiri.
Pak
Hasim dan Haji Oyib kehilangan hampir seluruh pekerjanya. Namun, ada seorang pekerja yang
masih setia terhadap Haji Oyib, orang tersebut bernama Wawan. Haji Oyib meminta
Wawan juga membantu lahan milik Pak Hasim agar terus dapat panen.
Suatu
pagi, Pak Hasim, Haji Oyib, dan Wawan sedang mengurus ladang milik Pak Hasim.
Pak Hasim: “Oyib, lihatlah ladangku ini. Besar, tapi tidak ada yang mengurusnya.”
Haji Oyib: “Sabar saja, Hasim. Ini cobaan dari Allah.
Tidak mungkin Allah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya.”
Pak Hasim: “Ya, betul, tapi aku lelah harus mengurus ladang ini sendiri. Kamu enak dibantu Wawan untuk mengurus semua
tanaman kopi, lada, dan cengkihmu itu.”
Wawan: “Saya bersedia kok Pak Hasim membantu merawat ladang milik Bapak.”
Haji Oyib: “Alhamdulillah, kamu baik sekali, Wan.
Hasim, jangan khawatir lagi soal ladang kamu. Kita kelola
bersama.”
Pak Hasim: “Terima kasih, Oyib, Wawan. Oh iya, sebenarnya ada satu hal yang menggangu pikiranku.”
Haji Oyib: “Apakah itu?”
Pak Hasim: “Masalah Ijah. Aku heran, dari mana dia
dapatkan harta sebanyak itu? Aku curiga dia ada apa-apa dengan Nyai Sanca.”
Haji Oyib: “Jangan berburuk sangka seperti itu. Siapa
tahu memang karena usahanya yang gigih sehingga sekarang
ia menjadi berhasil.”
Pak Hasim: “Usaha apa? Dari awal kita tinggal di sini, kerjannya
hanya diam saja di rumah. Kalau tidak, dia hanya merawat mata air Cibiru saja. Aku merasa aneh saja.”
Wawan: “Betul, Pak Hasim, Saya juga heran. Apa
mungkin ini perbuatan Nyai Sanca?”
Haji Oyib: “Sudah-sudah, jangan kita bahas lagi. Kita
serahkan saja semua kepada Allah. Ayo bekerja lagi!”
Mereka
berdua meneruskan pekerjaan mereka. Sesekali mereka beristirahat untuk makan dan
melaksanakan solat. Hari menjelang sore, mereka menghentikan pekerjaan mereka.
Haji Oyib: “Wan, aku ingin meminta bantuanmu.
Wawan: “Bantuan apa, Pak Haji?”
Haji Oyib: “Rencananya akan aku jual rumahku. Uangnya
akan aku gunakan untuk membangun sebuah masjid kecil untuk daerah ini. Sehingga
semua penduduk bisa melakukan salat berjamaah di masjid. Kamu cari
pekerja-pekerja yang mau membangun masjid.”
Wawan: “Baik, Pak Haji, akan saya usahakan. Kalau
begitu saya pamit.”
Wawan
pamit untuk pulang. Pak Hasim menghampiri Haji Oyib.
Pak Hasim: “Kalau rumahmu dijual, kamu mau tinggal di
mana?”
Haji Oyib: “Aku boleh ikut tinggal denganmu, Hasim?”
Pak Hasim: “Tentu saja boleh, kita kan saudara.”
Mereka
berdua kemudian berpelukan. Hari-hari mereka lewati untuk mengurus lahan mereka masing-masing. Sampai suatu
waktu, masjid hasil Haji Oyib menjual rumah sudah rampung. Haji Oyib, Pak Hasim, dan
Wawan menjadi jemaah setia pengisi masjid tersebut. Penduduk lain acuh terhadap
kehadiran masjid tersebut.
Suatu malam, Pak Hasim memutuskan untuk mengunjungi
rumah Mok Ijah. Kedatangannya sekadar ingin menanyakan kabar karena tanpa disadari sudah lama
mereka tidak berkunjung ke rumah Mok Ijah. Di perjalanan menuju rumah Mok Ijah, ia
melihat Mok Ijah berjalan ke arah sumber mata air
sambil membawa nampan berisi sesajen. Kecurigaan Pak Hasim mulai terbukti. Ia
membuntuti Mok Ijah.
Mok
Ijah berhenti di sumber mata air. Ia bersimpuh meletakkan sesajen sambil
memanjatkan mantra-mantra. Pak Hasim yang bersembunyi di balik pohon terkejut
atas apa yang dilakukan Mok Ijah. Ia tak menyangka Mok Ijah berani melakukan
hal itu. Ia pun bergegas pulang dan menyusun rencana untuk
memberitahukan kepada Haji Oyib.
Keesokan
harinya, Haji Oyib, Pak Hasim, dan Wawan sedang melaksanakan salat di masjid.
Selepas salat, Pak Hasim memulai pembicaraan dengan Haji Oyib.
Pak Hasim: “Oyib, aku punya kabar buruk. Dugaanku
selama ini tentang harta Ijah ternyata benar. Ia mengabdi kepada Nyai Sanca!”
Haji Oyib: “Astaghfirullah, jangan bercanda kamu,
Hasim.”
Pak Hasim: “Aku berani bersumpah. Aku melihatnya kemarin
membawa sesajen ke mata air itu!”
Wawan: “Maaf, Pak Haji, Pak Hasim, saya juga beberapa
hari belakangan sering melihat Mok Ijah membawa sesajen dan
pergi ke mata air Cibiru
setiap malam.”
Haji
Oyib mulai yakin dengan perkataan Pak Hasim dan Wawan. Ia
memutuskan untuk mengunjungi rumah Mok Ijah bersama Pak Hasim. Singkat cerita
mereka sudah sampai di rumah Mok Ijah.
Haji Oyib: “Assalamualaikum, Ijah.”
Mok Ijah: “Waalaikumsalam. Ada apa? Kalian ingin
meminta sumbangan?”
Pak Hasim: “Heh, Ijah! Jangan
sembarangan kamu. Kita ini saudara kamu!”
Mok Ijah: “Tanpa kamu beri tahu
pun aku
tahu itu.”
Haji Oyib: “Astaghfirullah, sudah-sudah. Maksud
kedatangan kami ke sini, kami hanya ingin menanyakan satu hal. Apa benar kamu
mengabdi pada Nyai Sanca itu?”
Mok Ijah: “Kalau memang benar, kenapa? Kalian tidak
suka?”
Pak Hasim: “Ijah, siapa yang mengajarimu seperti itu?
Orang tua kita di akhirat pasti malu punya anak seperti kamu!”
Mok Ijah: “Aku tidak peduli apa yang kalian pikirkan,
yang penting aku kaya.”
Haji Oyib: “Ijah, apa yang dikatakan Hasim benar.
Mengapa kamu jadi musyrik seperti ini? Ingat Allah Ijah, ingat.”
Mok Ijah: “Ah, sudah, kalian jangan mengguruiku.”
Pak Hasim: “Kalau kamu masih seperti ini, akan aku
beritahukan ke semua penduduk bahwa hartamu itu tidak halal dan perbuatanmu itu
adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah.”
Mok Ijah: “Silakan saja, orang-orang tidak akan
mempercayaimu.”
Pak
Hasim dan Haji Oyib akhirnya meninggalkan rumah Mok Ijah.
Mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Di dalam rumah, Mok Ijah komat-kamit
membaca mantra agar Nyai Sanca datang karena ia memiliki permintaan. Tak lama, Nyai
Sanca datang.
Nyai Sanca: “Ada apa, Ijah?”
Mok Ijah: “Aku ingin meminta bantuanmu, Nyai. Aku
ingin kedua saudaraku dicelakakan sampai mereka mati. Aku kesal dengan mereka karena
selalu mencampuri urusanku.”
Nyai Sanca: “Itu perkara mudah, Ijah. Awas, jangan
sampai lupa sesajennya.”
Nyai
Sanca meninggalkan Mok Ijah. Di tengah perjalannya pulang, Pak Hasim mendapati
sebuah ular besar. Ia berusaha kabur dari kejaran ular tersebut tetapi tidak
berhasil. Pak Hasim digigit dan tubuhnya dimakan oleh ular tersebut. Di tempat
lain, Haji Oyib sedang dalam perjalanan pulang. Di tengah jalan, ia mendengar
suara perempuan memanggil namanya. Perempuan itu merupakan Nyai Sanca yang
sedang menyamar. Ketika dihampiri, perempuan itu meminta bantuan Haji Oyib
untuk membetulkan genting rumahnya yang bocor. Haji Oyib akhirnya membantu
perempuan tersebut. Setelah selesai, Haji Oyib diminta beristirahat terlebih
dahulu oleh perempuan tersebut di teras rumahnya.
Perempuan tersebut membuatkan secangkir kopi yang sudah dicampur dengan racun
untuk Haji Oyib.
Nyai Sanca: “Silakan diminum dulu kopinya, Pak.”
Haji Oyib: “Terima kasih banyak.”
Haji
Oyib meminum kopi tersebut. Tak berselang lama, ia merasakan kepalanya berat dan
kemudian terjatuh. Haji Oyib meninggal dunia.
Keesokan
harinya, ia ditemukan oleh Wawan di lahan kopinya. Wawan berusaha membangunkan,
namun sia-sia. Ia meminta tolong kepada penduduk untuk mengurusi jenazah Haji
Oyib. Akhirnya, Haji Oyib dimakamkan di
samping masjid yang dibangunnya, di dekat makam Pak
Hasim.
Kabar
meninggalnya Haji Oyib, dan Pak Hasim menjadi kepuasan
tersendiri bagi Mok Ijah. Ia tahu mereka pasti sudah
meninggal karena ulah Nyai Sanca. Mok Ijah merasa sudah mampu menjalani hidup
sendiri tanpa bantuan Nyai Sanca. Ia mulai malas memberikan sesajen setiap
malam untuk Nyai Sanca. Ia berpikiran bahwa Nyai Sanca tidak akan mengganggunya
lagi.
Suatu
malam Mok Ijah didatangi oleh Nyai Sanca dengan amarah yang berapi-api.
Nyai Sanca: “Mengapa kamu tidak pernah lagi memberikan
sesajen untukku?”
Mok Ijah: “Aku ingin berhenti saja, Nyai. Aku sudah
puas sekarang. Aku bisa menjalani hidup normal tanpa bantuanmu!”
Nyai Sanca: “Apa kau bilang? Tidak bisa! Perjanjian
denganku seumur hidup!”
Mok Ijah: “Aku tidak butuh bantuanmu lagi!”
Mok
Ijah berusaha kabur dari rumahnya dan masuk ke dalam
hutan. Mok Ijah berlari menuju mata air. Ketika sudah dekat dengan salah satu
kolam, kakinya tersangkut akar pohon dan terjatuh ke
dalam kolam yang tiba-tiba menjadi sangat dalam. Mok Ijah yang tidak bisa
berenang akhirnya tenggelam lalu meninggal dunia.
Keesokan
harinya, salah satu penduduk menemukan jenazah Mok Ijah mengambang di kolam. Ia
memberitahukan kepada penduduk lain tentang kematian Mok Ijah. Akhirnya semua
penduduk bergotong royong menguburkan Mok Ijah. Ketika akan dimasukkan ke dalam
liang lahat, selalu saja ada kejadian aneh. Dimulai dari longsor yang terjadi
di lubang yang sudah digali, muncul ular-ular dari dalam liang lahat, sampai
jenazah Mok Ijah yang dimuntahkan kembali oleh tanah. Seolah-olah penolakan
terhadap jenazah Mok Ijah. Seluruh penduduk merasa cemas dan
bingung. Ketika keadaan mulai tenang, mereka mencoba menguburkan jenazah Mok
Ijah lagi. Selepas kejadian itu, sosok Mok Ijah selalu menghantui penduduk
Babakan. Sosoknya sering menampakkan diri kepada penduduk seolah-olah ingin
menyampaikan pesan. Satu waktu, arwah Mok Ijah menampakkan diri kepada Wawan,
orang kepercayaan Haji Oyib.
Mok Ijah: “Wan… tolong aku, Wan…”
Wawan: “Siapa itu?”
Mok Ijah: “Aku Mok Ijah, Wan. Arwahku tidak tenang.
Aku terikat perjanjian dengan Nyai Sanca. Aku harus dikuburkan dengan cara
lain.”
Wawan: “Astaghfirullah,
Mok. Apa yang bisa saya bantu?”
Mok Ijah: “Beritahu warga untuk membongkar kuburanku. Kemudian,
panggilkan dukun untuk memasukkan arwahku
ke dalam perut kerbau, dan kuburkan aku bersamanya.”
Wawan: “Baik-baik, akan saya sampaikan kepada warga,
Mok.”
Keesokan
harinya, Wawan memberitahukan tentang apa yang ia alami tadi malam kepada
penduduk Babakan. Akhirnya mereka bersama-sama membongkar makam Mok Ijah. Benar saja, jasad
Mok Ijah tidak ada di dalam kuburan tersebut. Kemudian
dukun
panggilan Wawan melakukan ritual untuk memanggil arwah Mok Ijah kemudian memasukkannya ke dalam perut kerbau yang sebelumnya
sudah
disembelih. Setelah arwah Mok Ijah dimasukkan ke dalam perut kerbau, kerbau itu
dikubur.
Setelah selesai dikuburkan, terdengar suara petir yang
dahsyat dan hujan deras turun di daerah Babakan. Semenjak itu, sosok Mok Ijah
dipercaya masyarakat Babakan sebagai penunggu yang
menjaga mata air di Babakan, Cibiru. Mok Ijah selalu
menampakkan dirinya dan mengganggu orang-orang yang berniat untuk merusak Babakan.
Masyarakat Babakan
memiliki kepercayaan bahwa jika akan melaksanakan suatu acara harus melakukan ritual
kecil. Mereka harus menyajikan jeroan
hewan ternak, seperti kerbau, sapi, atau kambing untuk para tamu yang datang
dalam acara yang digelar masyarakat tersebut. Sebenarnya, ritual itu diadakan
untuk disuguhkan pada Mok Ijah karena mereka mempercayai bahwa Mok Ijah juga
akan datang dalam setiap acara yang mereka gelar. Jika tidak dilakukan, selalu
ada kejadian aneh yang terjadi pada orang yang melaksanakan acara tersebut.
Hingga sekarang, sebagian masyarakat Babakan masih melakukannya.
Comments
Post a Comment