Apa Salahnya Laki-Laki Berambut Panjang?
Laki-laki memang tempatnya salah, perkara rambut
adalah pengecualian
Rambut adalah mahkota. Begitu kredo
yang dipercaya oleh laki-laki dan perempuan. Laki-laki maupun perempuan akan pede tampil dengan potongan rambutnya
masing-masing. Ada yang pede berambut
Mohawk, pompadour, shaggy, bob—bahkan
ada yang pede tak punya rambut. Tidak
ada yang bisa disalahkan. Kembali kepada pilihan.
Rambut laki-laki selalu diidentikkan
dengan potongan pendek dan rapi. Seakan semua laki-laki akan nampak
ketampanannya jika berambut pendek. Padahal, tampan atau tidak ditentukan oleh
wajah, bukan rambut, ya bund. Kalau yang jadi patokan itu rambut pendeknya Rio
Dewanto, ya susah. Doi mau punya rambut pendek atau panjang juga udah ganteng
dari sananya.
Potongan rambut pendek yang
diidentikkan dengan laki-laki ini membuat tidak tersedianya tempat bagi mereka
yang mencoba anti mainstream dengan mempunyai rambut
panjang. Laki-laki berambut panjang selalu diidentikkan dengan mahasiswa—khususnya
teknik, seni, dan sastra. Terkait dari mana asumsi ini berasal, tak diketahui
pasti. Apakah karena jenis mahasiswa tadi dianggap jarang mandi, cuek, atau sok keren? Biar masing-masing individu
yang tahu.
Laki-laki berambut panjang identik dengan
seorang pembelot, seniman, atau memiliki pandangan dan pemikiran yang out of the box. Dasar pemikiran pembelot
dan out of the box inilah yang
disinyalir memberikan impuls untuk cuek
terhadap penampilan diri sendiri dan mementingkan apa yang menjadi tujuan
hidup. Pandangan tentang laki-laki berambut panjang tadi ternyata bukan hanya
isapan jempol belaka. Saya mengamininya. Bagi saya yang menempuh studi di
bidang sastra, makin ke sini makin cuek dengan
penampilan diri. Saya sudah tidak pergi ke tukang cukur kurang lebih hampir 2
tahun. Entah apa yang melatarbelakangi saya enggan pergi ke tukang cukur.
Nyaman aja, kaya ada manis-manisnya gitu.
Mencukur rambut buat saya bukan
menjadi sesuatu yang bisa dilakukan kapan saja. Mencukur rambut menurut saya
merupakan kegiatan yang tidak bisa dilakukan semaunya. Saya perlu memikirkan
itu berhari-hari. Faktanya, di beberapa negara dengan budaya yang kuat,
kegiatan bercukur rambut bagi lelaki merupakan hal yang sakral. Jadi, gak bisa
tuh mencukur rambut hanya karena alasan:
“Rambut
kamu udah panjang, cukur sana. Biar gak kucel” hina doi.
Well, mempunyai rambut panjang
menjadikan saya insan yang merasakan bagaimana menjadi kaum “minoritas”. Kerap kali
mendapat godaan seperti ini:
“Neng,
mau ke mana?”
Atau
sindiran seperti”
“Kapan
kamu mau cukur rambut? Kaya anak gak keurus aja”
Namun itu semua belum ada apa-apanya
dibanding ‘hinaa’ yang pernah saya alami sewaktu menghadiri seminar kebahasaan
dan kepenulisan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Cimahi, Jawa
Barat. Saya mendapat cemoohan dari mahasiswa yang tergabung di Menwa—sepertinya
begitu. Cemoohan itu saya dapat saat tiba di kampus itu dan menyisir rambut
untuk saya ikat. Salah satu anggota berkata:
“Laki-laki
itu harusnya rambutnya pendek, bukan panjang kaya perempuan.”
Saya yakin ungkapan tersebut
ditujukan kepada saya. Namun, saya memilih untuk diam. Diam itu emas—kata orang-orang.
Saya diam bukan karena tidak berani melawan, hanya yang menjadi lawan tidak
sepadan bagi saya. Mendengar ucapan itu, saya makin bersemangat melanjutkan
parade menyisir dan mengikat rambut.
Mendengar ucapan itu, seketika
ingatan teringat kepada peristiwa yang terjadi di ITB kurun waktu 1970-an. Ketika
itu, polisi aktif dan taruna Akpol giat melakukan razia rambut.
Wait, ini kan kampus, bukan SMP atau SMA?
Mereka menggunting paksa rambut
mahasiswa, asisten dosen, pokoknya mereka yang berambut panjang. Tindakan ini
juga tak beralasan. Apakah hanya karena berbeda dalam cara pendidikan sehingga
membuat orang yang tidak sepaham harus dijadikan sepaham?
Mungkin apa yang dilakukan semacam
Menwa di tempat saya mendapat cemoohan itu hanya karena saya berbeda dengan
laki-laki kebanyakan yang berambut gondrong dan karena orang-orang ini mendapat
pemahaman tentang kedisiplinan di militer yang mengharuskan laki-laki berambut
pendek? Tetapi, apakah tindakan mencela orang lain yang berbeda dengan kita
dibenarkan? Bukankah setiap orang bebas bereksperesi dengan caranya
masing-masing selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku?
Untukmu rambutmu, untukku rambutku.
Tidak perlu egaliter. Semua baik
menurut dirinya masing-masing. Kita hanya berbeda cara dalam memaknai kata “baik”
itu sendiri.
Halo salam kenal, mas. Ini pertama kali aku berkunjung ke sini.
ReplyDeleteLaki laki rambut panjang pada hakikatnya sih ga salah. Ntah, kenapa persepsi masyarakat aja yg buat agak dipandang negatif yaaa. Aku jg sempat gondrong, Walopun ga terlalu gondrong. paling panjang sih saat semesester 2. Rekor terlama, cuma sekitar 6 bulan ga potong rambut. Kalo skrng sih, yaa sekitar 3 bulan sekali aja aku potong rambut heheh
Halo, Mas! Salam kenal juga, ya! Terima kasih sudah berkunjung ke blog yang sederhana ini. Betul, tidak ada salahnya, itu tergantung selera masing-masing orang. Saya juga kurang paham darimana pandangan itu muncul hihi. Mungkin karena masyarakat di Indonesia terbiasa mangut-mangut aja dengan apapun yang terjadi, termasuk dalam kebiasaan rambut, jadi susah menerima sesuatu yang dirasa baru, cenderung dianggap aneh. Memang gondrong itu biasanya identik dengan mahasiswa, ya. Rekor saya yang masih belum pecah sampai sekarang, 1,5 tahun belum potong rambut wkwk.
Delete