Pengalaman Mahasiswi Turun ke Jalan dalam Aksi Penolakan UU Ciptakerja
Ditetapkannya
UU Ciptakerja oleh DPR beberapa hari lalu langsung memantik aksi demonstrasi di
sejumlah wilayah di Indonesia. Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, menjadi
beberapa contoh wilayah di mana mahasiswa, buruh, dan pelajar bersinergi
menuntut pencabutan UU ini. Hingga tulisan ini diterbitkan, tercatat empat
daerah melalui pemimpin daerahnya menerima aspirasi buruh dan memfasilitasi
keinginan buruh dengan mengirim surat terbuka kepada DPR dan Presiden, berjanji
akan membela hak buruh, mengirimkan pewakilan mahasiswa ke Jakarta, dan
lain-lain. Keempat daerah tersebut adalah Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan
Selatan, dan Sidoarjo.
Nah,
ngomong-ngomong soal demo, pasti tidak akan lepas dari kemungkinan adanya aksi
anarkis yang biasanya hanya dilakukan oleh laki-laki. Lalu, bagaimana ceritanya
kalau perempuan mengikuti aksi demo ini? Saya mendapat kesempatan untuk
mewawancarai salah satu teman saya—yang sengaja saya tidak cantumkan namanya
disini—yang mengikuti demo pada 8 Oktober lalu. Berikut wawancara—dadakan—saya via
online.
Apa alasan yang
mendasari untuk mengikuti demo ini?
Jujur,
saya pribadi sangat takut melihat kerumunan massa yang banyak. Tetapi entah
mengapa demo kali ini saya ingin sekali mengikutinya. Perasaan saya seolah
menggebu-gebu ingin mengikuti aksi yang dilaksanakan di sekitar daerah Rancaekek-Cileunyi
pada tanggal 8 Oktober 2020. Saya ingin ikut merasakan perjuangan para buruh di
luar sana dan juga mahasiswa lainnya dalam mengorasikan keinginan rakyat kecil
di negeri ini.
Apa saja barang
dan argument yang disiapkan sebelum aksi?
Berhubung pandemi belum reda, sudah pasti protokol
kesehatan digunakan, seperti masker, hand
sanitizer, sarung tangan. Selain itu, saya juga bawa air minum secukupnya,
menggunakan topi agar kulit tidak terbakar, pakaian ganti—karena dikhawatirkan
aksi menjadi chaos—kebetulan saya
sedang halangan pada saat itu. Sempat takut sih. Takut di sana pingsan karena
lemas sedang halangan. Alhamdulillah saya kuat sampai aksi selesai.
Bagaimana singkatnya
aksi yang diikuti? Apakah tuntutan terpenuhi?
Aksi berlangsung damai dan tidak ricuh. Namun, banyak
terjadi kompromi di sana. Beberapa coordinator cukup kecewa perihal ini karena
niat kami memblokade tol tetapi dari pihak Polda Jabar tidak memberikan izin
jadi yang terjadi hanya penutupan satu jalur saja. Saat itu, baru tiga kelompok
buruh yang ada, dua diantaranya membubarkan diri pada pukul 12.00 WIB. Satu kelompok
dan mahasiswa stay di lapangan sampai
pukul 14.15 WIB. Mahasiswa tentu kecewa atas sikap dua kelompok yang
membubarkan diri. Kami pikir, kami merasa dikhianati karena ketika datang
beriringan tetapi pulangnya tidak. Namun, walaupun kejadian tersebut tidak bisa
disalahan, begitu saja barangkali memang mereka mempunyai kepentingan yang
lain.
Bagaimana respons
orangtua ketika kamu akan ikut aksi?
Jujur, saya ini anak yang cukup nekad. Ibu sendiri tidak mengizinkan karena khawatir—takut kena
lempar, takut gak ada yang jagain, dsb. Tapi ya saya meyakinkan beliau bahwa
itu tidak akan menimpa saya. Kalau ayah sendiri mengizinkan. Mungkin karena
lokasi aksi dekat dengan rumah jadi beliau tidak terlalu khawatir.
Sebagai perempuan,
apakah tidak takut ikut aksi?
Seperti yang saya rasakan, rasa takut itu selalu ada. Tapi
bagaimana pun juga kita harus mengambil sikap. Mau melawan atau terus
memelihara? Saya lebih memilih untuk melawan. Di lapangan pun mahasiswi
dilindungi sekali oleh para mahasiswa yang ada.
Apakah ada sedikit
tips ketika mengikuti aksi? Mengingat aparat kerap bertindak represif terhadap
pengunjuk rasa.
Kalau dari saya sih, dari dalam diri kitanya sendiri
dulu jangan bersikap anarkis karena itu bisa membahayakan diri kita sendiri
juga ketika kta memang sudah diincar. Selain itu, ketika pulan aksi atribut
dilepas semuanya, seperti jas almamater, pita, dsb.
Apa pesan untuk
mahasiwa di luar sana?
Tetap semangat! Satu kali aksi memberikan sebuah
gebrakan yang luar biasa. Jangan patah semangat. Yang kami bela bukan hanya
buruh saja, tapi seluruh rakyat Indonesia yang merasa dirugikan.
Menurut pandangamu,
apakah aksi atau demo harus selalu turun ke jalan?
Tidak harus. Bisa melakuan propaganda di media sosial
apalagi melihat kondisi seperti sekarang ini, ya. Jadi bisa kondisional. Ikut menyuarakan
melalui postingan-postingan.
Pernah merasa
kapok mengikuti aksi?
Untuk saat ini tidak, ya. Insya Allah kedepannya jika
memungkinkan, mungkin saya akan turun ke jalan lagi.
Gimana?
Cukup barbar kan Teteh ini? Ya
begitulah. Ini menjadi gambaran bahwa perempuan tidak harus selalu duduk manis
di kamar. Untuk sesuatu yang sudah mendesak, turun ke jalan adalah solusinya.
*jika ada yang tanya siapa narasumber yang saya
wawancarai, saya tidak akan memberikan informasi apapun. Biarkan ia tetap hidup
di antara kita dan kita dapat merasakan semangatnya.
Comments
Post a Comment