INVASI KIAN SANTANG: PENGHAPUS ISLAMOPHOBIA


Pentas Drama “Hutbah Munggaran di Pajajaran”, Hisdagra, Sutradara Ari Kpin

INVASI KIAN SANTANG: PENGHAPUS ISLAMOPHOBIA

Oleh: Daffa Imam Naufal

Prabu Silinwangi nu jadi rajana
Sakti Mandraguna
Bade diislamkeun anjeunna alim
Diudag putrana Raden Kian Santang

            Itulah potongan lirik lagu berjudul “Sancang” yang dinyanyikan oleh Yayan Jatnika. Sebuah lagu yang sedikit memberikan pandangan bagaimana sosok Prabu Siliwangi menjadi semacam sosok yang dituhankan oleh masyarakat Sunda. Siapa yang tak mengenal Prabu Siliwangi? Seorang raja yang sangat dicintai dan dihormati seantero Jawa Barat.

            Sebuah peribahasa berbunyi “di mana ada gula, di situ ada semut” dalam hal ini dapat berbunyi “di mana ada Prabu Siliwangi, di situ ada Raden Kian Santang”. Legenda tentang Prabu Siliwangi tak dapat dilepaskan dari upaya pengislaman yang dilakukan Raden Kian Santang kepada rakyat Pajajaran, termasuk ayahnya sendiri, Prabu Siliwangi.

            Legenda Prabu Siliwangi dan kerajaan Pajajaran termanifestasikan ke dalam drama Hutbah Munggaran di Pajajaran buah pemikiran Yus Rusyana, 70 tahun yang lalu. Cerita seputar Prabu Siliwangi yang beredar luas di masyarakat dituangkan ke dalam pentas drama yang dapat dikatakan serupa dengan kepercayaan masyarakat Sunda. Drama Hutbah Munggaran di Pajajaran yang sempat hilang 50 tahun setelah naskah itu ditulis, kini dihidupkan lagi melalui pementasan yang dilakukan oleh Himpunan Sastrawan Dramawan Garut (HISDRAGA). Pementasan yang disutradarai Ari Kpin ini terlaksana di Jagat Pentas Padepokan Sobarnas Martawijaya, Garut, 24, 25, dan 26 Oktober 2020.

            Drama Hutbah Munggaran di Pajajaran ini terlaksana berkat dukungan Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan Pariwisata Kebudayaan Kabupaten gartu dan didukung oleh program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Tahap 1 Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sebuah gebrakan di tengah lesunya industri kreatif akibat pandemi covid-19 namun tetap memperhatikan protokol kesehatan.

            Drama yang disutradarai Ari Kpin ini didukung oleh Panji Triyadi (penata musik), Wanda Kania (penata gerak), dan Bah Tira (penata laga). Ari Kpin sendiri yang dikenal sosok yang concern dalam bidang puisi—khususnya musikalisasi puisi—ternyata ia merupakan sosok yang sudah lama terjun dalam dunia teater. Hal itu dibuktikan dengan beberapa drama yang sudah pernah disutradarainya, antara lain drama “Priangan si Jelita”, “Delapan Terdakwa”, dan lain-lain.

Lakon dibuka oleh prolog seseorang yang menembangkan rajah yang biasanya dilakukan sebelum memulai suatu acara, lengkap dengan kemenyan dan kembang. Setelah rajah dilakukan, drama diawali dengan kondisi pasukan Pajajaran yang sedang berlatih perang satu sama lain. Salah satu prajurit mengatakan bahwa akan datang Raden Kian Santang, yang dahulu diusir dari kerajaan Pajajaran, dengan membawa pasukan dan berniat mengislamkan ayahnya, Prabu Siliwangi. Raden Kian Santang ditemani Djaya Antea, selaku pimpinan perang, yang justru di kemudian hari berupaya menikam dari belakang karena konflik kepentingan.

Raden Kian Santang sendiri memilih meninggalkan kerajaan Pajajaran karena ia ingin berkelana mencari lawan yang dapat mengalahkannya. Setiap orang yang ia temui di wilayah Pajajaran tidak ada yang dapat menandingi kehebatannya. Konon, di dalam drama ia pergi ke negeri seberang untuk berkelana mencari musuh.

Tata letak panggung yang dibagi menjadi dua bagian membuat penonton tidak merasa jenuh hanya dengan memandang pada satu bagian panggung saja. Eksplorasi ruang yang tidak terlalu luas mampu dilakukan para pemain dengan apik. Pemadatan ruang ini bermanfaat bagi efisiensi gerak para tokoh sehingga tidak terlalu melebar dari panggung. Perpaduan kostum, make up, dan dialog yang mencirikan masyarakat Sunda pada zaman dahulu mampu mendukung penggambaran setiap latar tempat dan tokoh yang terlibat.  

            Secara garis besar, drama ini sangat mirip dengan cerita-cerita yang lekat di dalam pikiran orang Sunda mengenai Prabu Siliwangi beserta kehidupan yang melingkupi. Konflik batin dengan anaknya sendiri, Raden Kian Santang, memang menjadi konflik yang dominan muncul dalam setiap pembahasan mengenai Prabu Siliwangi. Konflik antara Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang, dibumbui dengan niat jahat Djaya Antea yang memanfaatkan upaya pengislaman Prabu Siliwangi oleh Raden Kian Santang untuk menjadi penguasa kerajaan Pajajaran.

             Sebuah pertanyaan muncul: apakah penghidupan kembali cerita tentang Prabu Siliwangi hanya sekadar pelestarian kearifan lokal saja? Tentu tidak. Penghidupan kembali sebuah cerita atau budaya suatu daerah tidak hanya berorientasi kepada nilai pelestarian, lebih jauh daripada itu memiliki manfaat untuk kehidupan di mana kini, bahkan masa mendatang. Bahkan Justin Timberlake berkata yesterday is history, tomorrow is mystery. Sejarah ada sebagai pelajaran yang digunakan untuk kehidupan di masa depan yang lebih baik. Boleh dikata bahwa yang upaya pengislaman yang dilakukan Raden Kian Santang terhadap seluruh rakyat Pajajaran, termasuk ayahnya, disebabkan sejarah Nabi Muhammad Saw., yang sudah lebih dahulu melakukannya.

            Upaya pengislaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw—begitu pula dengan Raden Kian Santang—melalui perang. Perang adalah cara paling efektif untuk menyebarkan agama Islam. Namun, perang menurut Islam memiliki pandangan yang berbeda. Perang di mata Islam bukan berorientasi pada pembunuhan dan penghancuran, tetapi lebih kepada penyadaran. Salah satu dialog Raden Kian Santang tentang perang menurut Islam terdapat pada kutipan di bawah ini.

“Kami isin ku Gusti, yén prajurit kami geus aya anu ngareumpak wates, yén prajurit kami aya anu geus sulaya kana paréntah. Allah Ta’ala geus ngalarang sangkan urang henteu ngaliwatan wates, la ta’tadu, la ta’tadu. Ulah nyieun karuksakan! Kami geus amanat ka andika saméméh indit jurit, ulah ngaruksak!”

            Kata-kata tersebut disampaikan Raden Kian Santang yang diperankan oleh Dede Falah dengan suara yang lantang dan menggelegar. Suara lantang tersebut memberi keyakinan bahwa Raden Kian Santang berperang melawan kerajaan Pajajaran dengan maksud mengislamkan kerajaan Pajajaran beserta rakyatnya. Kenyataan yang didukung oleh pernyataan Raden Kian Santang tersebut menjadi bukti bahwa Islam merupakan agama yang humanis dan tidak mengedepankan kekerasan.

            Cerita-cerita mengenai penyebaran agama Islam melalui perang yang dilakukan Nabi Muhammad Saw., dan Raden Kian Santang ini kiranya dapat menjadi narasi pembelaan dari cap orang-orang—khususnya negara Barat—yang kerap merasa takut atau anti terhadap Islam. Kondisi ketakutan dan anti terhadap agama Islam dikenal dengan istilah islamophobia. Islamophobia menjadi sesuatu yang lumrah dan wajar di negara-negara Barat. Hal tersebut diakibatkan sejarah yang mencatat banyaknya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama Islam.

Segala atribut yang berhubungan dengan Islam harus dilenyapkan!

            Begitu kiranya pandangan orang atau negara yang masih memegang teguh prinsip islamophobia.

            Drama Hutbah Munggaran di Pajajaran ini dapat menjadi contoh nyata bagaimana pandangan hidup Islam yang tergambar dalam sebuah kearifan lokal yang dapat mengubah mindset dunia terhadap Islam yang dikenal separatis dan seringkali berbuat teror. Islam tidak semenakutkan itu. Islam hanya dijadikan kedok bagi orang-orang yang tidak menyukai Islam dan bercita-cita agar agama Islam hancur.

            Ari Kpin sukses menyutradarai drama karya Yus Rusyana dengan apik lewat penguatan karakter setiap tokoh yang bermain, kombinasi alat musik tradisional Sunda yang sangat mendukung suasana dan kepiawaian memanfaatkan space yang tidak terlalu besar dengan jumlah tokoh yang terbilang banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Film Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995; Romantisme Dilan dalam Bayang Milea

Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai

Apakah Dating Apps Lebih Baik Ketimbang Cari Pacar Jalur Konvensional?