Off Centang Biru adalah Sarana Overthinking yang Menjanjikan
Overthinking lebih
berbahaya daripada ghosting.
Komunikasi
adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. kebutuhan informasi up to date, nembak gebetan, sampai gibah
tentang mahasiswa paling hits di kampus adalah contoh kenapa komunikasi itu
penting bagi manusia. Penemuan telepon genggam hingga munculnya
aplikasi-aplikasi penyedia jasa chatting merupakan
kemudahan dalam berkomunikasi yang ditawarkan.
WhatsApp adalah salah satu aplikasi yang
nampaknya dominan digunakan masyarakat Indonesia. Aplikasi ciptaan Jan Korum
& Brian Acton ini punya fitur-fitur menarik, seperti panggilan dalam sebuah
grup (maksimal 8 orang), WAStory—seperti instastory
Instagram—sampai fitur off centang
biru! Fitur ini memungkinkan pengguna menyembunyikan apakah sebuah pesan sudah
ia baca atau belum—yang biasanya ditandai dengan dua ceklis biru. Fitur ini
menjadi sarana overthinking yang
menjanjikan ketimbang overthinking di
jam-jam malam seperti lazimnya overthinking.
Off centang biru sejatinya adalah sarana
overthinking yang terjadi antara
pengirim pesan dan penerima pesan. Bagi penerima pesan, tentu ada alasan
mengapa mereka meng-off-kan centang
birunya. Bagi pengirim pesan, ada pertanyaan yang mendasar: kenapa sih centang birunya dimatiin?
Menurut
riset yang dilakukan secara iseng dan tidak profesional, setidaknya ada satu
alasan utama kenapa orang memilih meng-off-kan
centang birunya: gak enakan. Yap, budaya Timur ini nyatanya memang berlaku di
Indonesia. Mereka merasa gak enak kalau hanya read pesan dan gak sempat membalasnya. Mereka berprinsip: aku harus jadi penutup chat! Rasa gak
enakan ini akhirnya mendorong mereka untuk meng-off-kan centang biru. Dengan begitu, mereka gak harus bales pesan
yang isinya “ohh”, “haha”, “iyaa”, “wkwk”, dan lain-lain. Tapi kalau isi
pesannya masih ngobrol biasa, gimana? Bales gak? Bales lah masa enggak~
Bagi
pengirim pesan, off centang biru
adalah sebuah ke-overthinking-an. Mereka
gak akan tahu pesannya itu sudah diread atau
belum. Overthinking pun muncul dengan
pertanyaan; “kok belum diread sih?”, “masa
sih dia gak pegang handphone?”, “apa dia sengaja gak mau bales?”. Mereka
yang menunggu jawaban dari si penerima pesan akhirnya harus menunggu dengan
waktu yang tak tentu dan overthinking yang
terus menyerbu.
Hey kaum off
centang biru, gak kasian?
Akhirnya,
off centang biru menjadi sarana overthinking yang terasa oleh pengirim
pesan maupun penerima pesan. Di satu sisi, pengirim pesan menjadi egois
pesannya ingin cepat dibalas. Di sisi lain, penerima pesan pun memang tak
selamanya memiliki waktu luang untuk gercep
membalas pesan.
Menarik banget nih bahasannya!
ReplyDeleteMeskipun udah lama pakai whatsapp tapi bener-bener berfungsi selayaknya aplikasi chat adalah sejak kerja. Waktu kuliah yang populer adalah Line. Dan istilah off centang biru pun aku baru tau sejak kerja. Awalnya aku juga menjadi overthinking, kenapa tidak di read-read apalagi soal kerjaan. Bikin pusing sekali. Tapi, setelah ngobrol dengan rekan kerja ternyata beberapa alasannya karena harus berhadapan dengan klien, terkadang chat klien tidak bisa kita balas dengan keputusan sepihak namun harus banyak perbincangan makanya akan lebih baik kalau off. Setelah dengar itu aku merasa itu alasan yang masuk akal banget. Jadi, sekarang sih udah gak terlalu mikirin deh kalo lawan chat mau off atau on centang biru 😅
Masing-masing punya alasan sendiri, ya, buat on/ off centang biru. Intinya semua chat itu penting, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membalasnya ☺
Deletesebagai tim netral, i mean kadang aku nyalakan dan juga matikan centang birunya. terkadang justru ketika mematikan centang biru aku yang tidak jadi overthinking, doi udah read atau belum. kalau ga dibalas, ya berarti chatku tidak sepenting itu. kadang justru ketika dinyalakan, chatnya cuma diread aja. beuh ningkat tuh overthinkingnya. "gue ga asik apa ya.."
ReplyDeleteNah, itu juga yang aku rasakan. Ketika masih terlibat dalam obrolan terhadap sesuatu, terus cuma diread aja, kadang mikir gitu juga. Mungkin dari kitanya harus berpikiran positif: mungkin dia sibuk atau udah diread cuma belum sempat balas.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSy sempet off centang biru karena ngerasa nyaman ketika tdk buru2 bls pesan dan tdk peduli dg siapa yg lihat status wa sy. Tp skrng sy on lagi karena sering bimbingan skripsi wkwkw
ReplyDeleteHihi terpaksa on centang biru karena kebutuhan ya.
DeleteHai kak, salam kenal ya. Perkenalkan nama saya Izzuddin, saya anak baru di 1M1C 😊
ReplyDeleteWah, artikelnya relate banget dengan saya 😂
Saya sudah lebih dari 5 tahun menggunakan WhatsApp dan belum pernah off centang biru sebelumnya. Baru sekitar 2-3 pekan ke belakang saya coba dan bikin ketagihan! 😆
Rasanya seperti keterikatan terhadap sesuatu menjadi berkurang, walaupun saya tau ini bukan hal yang baik bila dilakukan secara terus menerus.
Terima kasih telah membuat artikel yang relate dengan saya kak 😁🙏🏻
Halo, salam kenal juga, Izzuddin!
ReplyDeleteMenurut survei yang dilakukan dengan iseng dan tidak profesional, nyatanya orang yang memilih meng-off-kan centang birunya itu adalah orang-orang yang gak enakan. Setelah mereka mencoba meng-off-kan centang biru, mereka jadi bisa menjalani hari dengan tenang tanpa harus gak enak pesan-pesan di WhatsApp belum mereka balas. Menurut mereka, meng-off-kan centang biru adalah langkah preventif supaya mereka bisa tenang. Jadi, meng-off-kan centang biru bukanlah sebuah kesalahan. Hihi terima kasih atas apresiasinya!