Tentang Pasangan

           

        Setelah satu tahun lebih menulis di blog ini dengan bahasa dan topik yang agak serius dan berbobot, akhirnya aku putuskan untuk membuat terobosan kecil nan santai, yakni membuat tempat untuk mengutarakan persoalan yang tidak terlalu serius dan berdasarkan data. Terobosan ini bernama Narhat, yang merupakan akronim dari kata narasi dan kata curhat. Segmen ini akan diisi oleh curhatan-curhatanku atau mungkin curhatan kolega yang hanya membutuhkan tempat untuk menyalurkan perasaannya. Segmen jangan dibawa serius—jangan pula dibawa perasaan. Bagi teman-teman yang memiliki curhatan dan ingin ditampilkan di blog ini, silakan kontak saja melalui Instagram, WhatsApp, atau balas saja di kolom komentar. Enjoy!

            Berbicara tentang pasangan, tentunya tak akan pernah ada habisnya. Setiap orang di dunia ini ingin memiliki seorang pasangan, entah itu diawali oleh hubungan (baca: pacaran), ta’aruf, atau tanpa mengikrarkan sebuah hubungan, tahu-tahu sudah merasa menjadi sebuah pasangan yang utuh. Berbagai macam cara tersebut memang hak setiap individu dalam menentukan sikapnya. Bagi orang yang netral, tentu pacaran menjadi sebuah jalan memiliki pasangan—yang bisa berlanjut ke jenjang pernikahan. Bagi orang yang memiliki pegangan agama kuat, tentu lebih memilih ta’aruf demi menghindari dosa. Dan bagi orang yang tak peduli akan sebuah ikrar dalam hubungan, tentu jalan berdua dengan seseorang yang memiliki komitmen untuk bersama sudah menjadi perjanjian tak tertulis bahwa mereka kini sudah menjalin sebuah hubungan.

            Karena segmen ini khusus untuk curhat, tentu harus ada curahan hati yang mesti dituangkan di sini. Baik, aku akan bercerita.

            Aku termasuk orang yang beberapa kali terlibat dalam hal pacaran. Bahkan dari kelas 4 SD, kata pacaran sudah melekat di otakku. Tentu, saat itu bukan pacaran yang menuju ke jenjang pernikahan, masih sebatas cinta monyet, orang menyebutnya. Hubungan pun, ya, tentu ada rasa yang menggebu-gebu. Oh iya, sebelum berlanjut, aku ingin memberikan sedikit pandangan. Sebuah tayangan video di TikTok mampir di beranda, dan mengandung isi yang mungkin relate bagi beberapa orang. Katanya, kita akan jatuh cinta dengan tiga orang di hidup kita. Pertama, cinta pertama. Kedua, cinta yang sulit. Ketiga cinta yang buta. Penjelasannya akan disertakan beserta cerita tentang cinta, yang pernah dirasa.

            Cinta pertama. Siapa yang tak ingat cinta pertama? Biasanya cinta pertama selalu identik dengan cinta yang selalu kita ingat sampai kapanpun. Agaknya memang benar. Cinta pertama selalu menghadirkan perasaan yang menggebu-gebu. Cinta ini oleh beberapa orang dialami ketika masa kecil atau muda. Cinta dengan orang pertama menghadirkan kebahagiaan, kekonyolan yang terjadi, hal-hal lucu yang dialami ketika masing-masing masih meraba-raba apa itu sebuah hubungan. Semakin beranjak dewasa, kita mulai sadar bahwa cinta tidak sebercanda itu. Cinta tidak semain-main itu. Banyak hal yang membuat kita merasa “kayanya itu bukan cinta, deh.” Bagaimanapun, itu sudah atau pernah terjadi di hidup kita. Tak ada upaya yang bisa dilakukan. Biarkan ia menjadi memori.

            Cinta yang sulit. Di fase ini kita mulai paham tentang apa itu sebuah hubungan yang dipelajari dari cinta pertama. Kita meyakinkan diri untuk lebih dewasa menghadapi sebuah hubungan. Nyatanya itu tidak mudah. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Cinta dengan orang yang sulit menghadirkan banyak kebahagiaan, air mata, sakit hati, hubungan yang bebas, drama, dan masih banyak lagi. Kebahagiaan dan kesedihan silih berganti hadir. Seakan-akan batin tak henti ditekan setiap menitnya. Ada juga yang berkata “itu pasti “toxic relationship”. Aku tak mau menyimpulkan itu apa. Biarkan masing-masing individu memberi nama tersendiri. Efek dari hubungan dengan cinta yang sulit ini, kita jadi lebih dewasa menghadapi hidup. Kita jadi lebih tahu sampai mana kesabaran yang kita miliki, tersadar bahwa semua hal baik yang dilakukan belum tentu mendapatkan balasan yang setimpal, dan masih banyak lagi. Fase ini mematangkan diri untuk lebih selektif dalam memilih pasangan.

            Terakhir, cinta buta. Cinta yang hadir dengan sendirinya, dengan orang yang tak pernah dibayangkan atau ditemui sebelumnya. Cinta ini begitu saja terjadi. Tanpa saling mengenal terlebih dahulu. Hari-hari yang dilewati bersama orang asing membuat kita lebih peka dan terbuka terhadap sifat manusia yang berbeda-beda. Padahal kita tidak pernah sengaja untuk mencari cinta ini. Sebaliknya, justru cinta yang datang kepada kita. Kalau kata anak sekarang sih, “biarkan semesta bekerja”. Untuk cinta pertama dan cinta yang sulit, aku sudah pernah bertemu dan berhasil melaluinya. Diriku saat ini adalah hasil tempaan dari mereka—salah satunya. Hanya ucapan terima kasih yang dapat terucap, sebab tak ada guna menyesali. Ya namanya juga hidup. Untuk cinta buta, aku menerimamu di segala waktu.

             Ini mungkin hanya pengantar sebelum segmen ini diisi banyak curahan hati. Silakan bagi teman-teman pembaca apabila memiliki curhatan yang berkaitan dengan pasangan, hubungan, atau apapun itu. Silakan hubungi saya melalui Instagram, WhatsApp, atau ceritakan langsung di kolom komentar. Aku dengan senang hati akan mendengarkan. Karena hakikatnya, curahan hati itu bukan menuntut untuk selalu diberikan solusi. Memiliki tempat untuk didengarkan saja sudah menjadi kelegaan tersendiri. Sampai berjumpa di kolom komentar!

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!