21 Tahun dan Kesendirian
Gak selamanya yang membersamaimu sekarang
kelak akan membangun mahligai rumah tangga denganmu~
Setiap orang itu pasti punya
pasangannya masing-masing. Semua sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa jauh
sebelum kita lahir. Doktrin itu jadi obat penyembuh luka di kala kita nangis bombay
karena doi selingkuh.
Memang, jodoh itu udah ada yang
ngatur. Cuma kita gak tahu aja—termasuk gak tahu kalau jodoh kita di dunia atau
akhirat. Maka, putus dari seseorang gak mesti bikin kamu sedih berkepanjangan—apalagi
bikin trauma menjalin hubungan.
Trauma atau enggak, ya, itu pilihan
masing-masing. Maksudnya, kamu gak bisa terus-terusan maksa seseorang buat gak
trauma untuk menjalin hubungan kalau dia beneran udah kapok soal yang namanya
cinta-cintaan.
Biarkan ia menemukan satu masa di
mana bisa menganggap bahwa hubungan percintaan itu belum perlu-perlu banget ia
bangun kembali.
Saya bisa bilang begitu karena
memang saya mengalami sendiri masa-masa itu. Saya tergolong orang yang mudah
membangun hubungan. Entahlah, mungkin karena sudah mengenal yang namanya
pacaran sejak di bangku SD—walaupun kata orang itu cinta monyet. Semenjak SD,
SMP, SMA, bahkan kuliah, saya menjalin hubungan beberapa kali. Kendati beberapa
kali pernah ngalamin yang namanya putus, tapi hasrat untuk menjalin hubungan
dengan perempuan itu selalu tumbuh kembali. Seakan-akan hidup gak asik kalo gak
punya pacar. Kedewasaan yang belum matang jadi salah satu penyebab utama.
Sorotan paling utama ketika menjalin
hubungan saat saya masih duduk di bangku SMA. Ketika pertama kali masuk SMA,
saya memang sedang menjalin hubungan dengan teman TK sekaligus teman SMA. Hubungan
kami tetap berlanjut meskipun ia meneruskan pendidikannya di pesantren sedangkan
saya meneruskan pendidikan di SMA di luar kabupaten tempat tinggal. Hubungan kami
berjalan lancar. Hanya komunikasi 1 minggu sekali yang bisa dilakukan—karena aturan
pesantren melarang santri membawa HP. Tapi saya menikmatinya. Saya jadi punya
banyak waktu luang bersama teman dan beristirahat. Namun, hubungan tiba-tiba
berakhir karena satu hal yang saya pun bingung menanggapinya seperti apa.
Yowes, tak apa.
Sejak itu, saya menanamkan dalam
diri bahwa mungkin tak akan ada lagi hubungan cinta-cintaan semasa SMA. Saya ingin fokus menikmati waktu bersama
teman dan kegiatan di sekolah. Tapi, namanya juga manusia. Suka banget gak konsisten.
Saya tergoda lagi: menjalin hubungan dengan teman kelas. Saat itu, bagi anak
SMA, lagu Chrisye berjudul “Kisah Kasih di Sekolah” nampaknya everlasting banget walaupun udah jadul.
“Tiada
kasih paling indah, kisah-kasih di sekolah.”
Harus
diakui, saya keliru menafsirkan lirik itu. Dalam benak saya, kisah-kasih yang
paling indah ketika sekolah hanya bisa diberikan oleh pacar. Perhatiannya
membuat kisah-kasih di sekolah sangat benar adanya.
Tapi, lagi-lagi, saya tak belajar
dari pengalaman. The best teacher is
experience tampaknya gak berarti buat saya. Saya mulai merasakannya ketika
mulai masuk kuliah. Adaptasi terhadap sibuknya jadwal kuliah bikin saya agak
menyesal kenapa tergoda lagi untuk menjalin sebuah hubungan. Akhirnya, setelah
rasionalitas mengalahkan perasaan, saya coba untuk mengakhiri hubungan itu
dengan sebaik-baiknya. Toh saya yakin juga ini demi kebaikan bersama.
Sekarang, di umur yang ke-21 tahun
ini, saya merasa lega dan menikmati hidup yang sesungguhnya. Tak ada orang yang
mesti saya kabari atau ajak keluar ketika malam minggu. Lebih banyak kegiatan
positif yang bisa dilakukan karena tak ada tuntutan untuk memberi waktu luang
kepada siapapun. Kesendirian ini memang menakjubkan. Walaupun teman-teman
sebaya sudah banyak yang sudah sukses bekerja, menjalin rumah tangga bersama
pasangannya—yang kadang bikin ngiler—tapi saya mencoba konsisten terhadap niat
saya: mempertahankan kesendirian.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete