3 Alasan Kenapa Pulang-Pergi ke Kampus Lebih Masuk Akal Ketimbang Ngekos



            Bulan Agustus jadi bulan yang hectic banget buat mahasiswa yang mulai memasuki dunia kampus. Setelah selesai euforia keterima di kampus negeri lewat jalur SBMPTN, mereka harus beradaptasi dengan tradisi kuliah yang meriweuhkan. Salah satu tradisi yang lazim terjadi ketika perpindahan dari SMA ke kuliah adalah pusingnya mencari tempat tinggal sementara atau kosan yang strategis. Strategis di sini punya tiga kriteria: murah, deket kampus, kamar mandi dalem. Tiga aspek ini biasanya yang jadi pertimbangan buat maba dalam memilih tempat kos. Tapi, kenyataan yang dihadapi justru sebaliknya—terutama soal sisi kemurahan. Tempat kos yang punya jarak beberapa ratus meter saja dengan kampus biasanya punya harga yang jauh lebih mahal. Ya sama kayak kita cari ruko buat jualan: ruko di pinggir jalan lebih mahal daripada ruko yang ada di dalem gang karena ruko di pinggir jalan bisa menggaet konsumen yang lebih banyak.

            Daripada pusing cari kos yang murah dan strategis, opsi dug-dag atau pulang-pergi bisa dijadikan alternatif. Tapi, ini hanya berlaku untuk mahasiswa yang tinggal di kota sekitar kampusnya saja—dan jaraknya rasional. Jangan sampe kamu kuliah di Yogya tapi maksain pengen pulang-pergi naik motor dari Bandung. Kuliah enggak, tipes iya. Sebagai contoh, saya tinggal di daerah pelosok Kabupaten Bandung Barat dan kuliah di Kota Bandung. Jarak yang mesti saya tempuh setiap pergi ngampus sekitar 32 kilometer. Pulang-pergi sekitar 64 kilometer. Yap, saya merasa touring setiap hari. Saya lebih memilih untuk pulang-pergi daripada ngekos karena beberapa alasan.

1.      Pengalaman

“Pengalaman adalah guru terbaik” benar adanya—termasuk pengalaman untuk pulang-pergi sejauh 64 kilometer setiap hari. Masa SMA saya sebagian besar dihabiskan di Kota Bandung. Saya bersekolah di salah satu SMA swasta di Kota Bandung, tepatnya di lingkungan bandara Husein Sastranegara Bandung. Transportasi yang saya gunakan pun mulai dari kereta sampai motor. Kebiasaan pulang-pergi Bandung Barat-Kota Bandung tiap hari jadi pengalaman yang tak bisa dilupakan. Ban bocor, crowded-nya jalan utama Cimahi setiap pagi jadi makanan sehari-hari. But, that’s a lessons. Saya jadi bisa belajar tentang kerasnya dunia ini, bahwa masalah akan selalu datang menghampiri tanpa permisi. Maka ketika saya melanjutkan kuliah di daerah Ledeng yang jaraknya hampir sama ketika saya sekolah SMA dulu, saya lebih memilih untuk pulang-pergi ketimbang ngekos. Risikonya, ya, saya jadi cuma punya sedikit kesempatan untuk ikut organisasi kampus. Tapi tak apa. Gak semua mahasiswa harus ikut organisasi di lingkungan kampus.

2.      Rindu Keluarga

Entah kenapa, saya termasuk orang yang melow kalau soal keluarga. Di balik sifat dingin yang saya perlihatkan, masalah keluarga mah nyerah. Mungkin karena saya punya adik dan kakak sehingga suasana rumah bisa begitu ramai. Ada adik dan kakak yang bisa diajak ngobrol. Kalau saya anak tunggal, mungkin saya akan memilih untuk ngekos. Rasanya indah aja ketika sudah capek kuliah terus pulang ke rumah cerita sama keluarga, ah, sebuah momen yang gak akan saya jual kepada siapapun.

3.      Hemat

Ini adalah salah satu alasan fundamental kenapa saya menolak untuk ngekos. Biaya ngekos itu gak murah dan gak mahal-mahal banget. Relatif. Tergantung kondisi ekonomi. Tapi rata-rata, harga sewa kosan itu Rp. 600.000-Rp.900.000. Uang segitu biasanya belum termasuk jatah bulanan yang dikasih orang tua buat si anak ‘merantau’. Coba bayangkan, misalnya, uang bulanan itu Rp. 1.000.000, ditambah uang ngekos Rp. 600.000, selama satu tahun kuliah dana yang harus disiapkan orang tua sebesar Rp. 19.200.000. Uang segini bisa buat beli motor matic merek Honda atau Yamaha. Sedangkan kalau pulang pergi, dana yang perlu disiapkan orang tua berkisar Rp. 12.000.000.

Selisih Rp. 7.200.000 juga lumayan kalau buat makan nasi padang selama beberapa tahun mah~

Tapi, ya, bagi mahasiswa dug-dag seperti saya ini jadi gak bisa nongki-nongki cantik di kafe sekitaran Dago seperti kebanyakan teman yang ngekos. Jangankan buat nongki, buat bensin sehari-hari aja udah ripuh. Lagipula, mau nongkrong pun gak enak kalau cuma dibatasi 20 menit. 

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!