Kritik di Media Sosial: Antara Hasrat dan Ancaman
Setelah tulisan ini terbit, siap-siap aja tukang bakso lewat depan rumah~
Penggunaan media sosial yang semakin
masif di abad ke-21 ini menjadikannya bukan lagi sekadar tempat untuk mencari
hiburan, melainkan sarana untuk mengungkapkan ide atau pendapat. Khususnya
ketika kondisi pandemi covid-19 masih
tak terbendung di Indonesia yang memperkecil—bahkan menghilangkan—kesempatan
untuk menyuarakan pendapat yang biasa dilakukan dengan cara berdemo. Menjadi
logis apabila media sosial digunakan oleh rakyat untuk menyuarakan pendapatnya
terkait kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa menyimpang dari aturan.
Indonesia, sebagai negara yang katanya demokrasi, mestinya dapat
memberikan keleluasaan bagi rakyat untuk melakukan kritik melalui pernyataan
pendapat—baik di muka umum ataupun melalui media sosial. Yang terjadi justru
sebaliknya. Makna demokrasi tidak dirasakan sama sekali ketika rakyat
menyuarakan pendapatnya berupa kritik kepada pemerintah—khususnya terkait
dengan kebijakan yang dilakukan semasa pandemi covid-19. Massa yang melakukan aksi demo di lapangan kerap berakhir
di kantor polisi. Netizen yang melakukan kritik di dunia maya, tak jarang
berujung dipanggil pihak kepolisian. Padahal, pasal 22 ayat (3) Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang
memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat sesuai dengan isi hatinya dengan
tetap memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa. Menghalangi atau melarang seseorang melakukan kritik
sama saja dengan membunuh hak asasi manusia. UU ITE menjadi salah satu produk
pemerintah yang sukses membunuh kebebasan berpendapat rakyat melalui
pasal-pasal karetnya. Kesewenangan pihak berwajib dalam menafsirkan pasal,
kaburnya makna tentang pencemaran nama baik, menjadi dua contoh mengapa UU ITE
dapat menjadi senjata untuk membungkam kritik yang dapat membahayakan
pemerintah.
Masih kental dalam ingatan bagaimana
BEM UI mengkritik Presiden Joko Widodo (27/6) melalui postingan Instagram yang berjudul “Jokowi: The
King of Lip Service”. BEM UI menganggap Presiden Joko Widodo terlalu banyak
mengobral janji yang dalam realitanya tak seperti yang disampaikan. Beberapa
hal yang disoroti adalah revisi UU ITE yang tak kunjung dilaksanakan, dalih
penguatan KPK melalui revisi UU KPK yang nyatanya malah melemahkan kinerja
komisi anti-rasuah ini, dan lain-lain. Postingan tersebut berujung pemanggilan
sejumlah pengurus BEM UI oleh pihak kemahasiswaan pada hari Minggu, (27/6)
pukul 15.00 WIB. Pemanggilan tersebut jelas upaya membungkam kritik—walaupun
diiringi narasi bahwa pemanggilan hanya untuk meminta penjelasan. Apalagi
seperti diketahui bersama bahwa Ari Kuncoro, rektor Universitas Indonesia
menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama BRI di pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pemanggilan terhadap pengurus BEM UI itu bak ancaman yang diberikan pihak UI
agar mahasiswa UI tidak berani macam-macam terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Kritik yang disampaikan BEM UI
berhasil menggugah semangat perjuangan masyarakat lain. Berbagai dukungan
disuarakan masyarakat dan pihak oposisi. Tak hanya itu, pembongkaran identitas
rektor UI yang menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama BRI pun tak luput dari
amukan netizen. Tak berselang lama, rektor UI mundur dari jabatannya sebagai
Wakil Komisaris Utama BRI. The power of
social media memang nyata adanya.
Blok Politik Pelajar (BPP) juga tak kalah memberikan dukungan terhadap kritikan BEM UI ini. Mereka menggelar debat terbuka antara Delpedro Marhaen (Blok Politik Pelajar) dengan Ade Armando, dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia. Hal tersebut didasarkan karena sikap Ade Armando yang mengatakan bahwa kritik yang dilakukan BEM UI terlalu memperlihatkan kepandiran dan menuding mahasiswa yang tergabung di BEM UI masuk UI dengan cara nyogok. Ini tentu mendiskreditkan BEM UI dan seolah-olah melarang kritik. Apalagi, Ade Armando merupakan pendiri Civil Society Watch (CSW) yang merupakan lembaga pengawas masyarakat—yang menurut beberapa orang hanya akan menjadi cepu bagi pemerintah.
Akhirnya, perlu ditekankan bahwa menyuarakan pendapat berupa kritik dari masyarakat kepada pemimpin itu hal yang lumrah sebagai bagian dari demokrasi. Negara yang menjunjung konsep demokrasi kiranya perlu bersikap terbuka terhadap kritik yang dilontarkan oleh rakyat. Kritik yang membangun tentu sangat positif terhadap kemajuan bangsa dan menciptakan masyarakat yang kritis.
Comments
Post a Comment