Doa yang Mengancam: dari Cerpen hingga Film

 

                                                               Sumber: id.wikipedia.org

           Di dalam hidup, sesuatu yang jelas akan sangat mudah dipahami. Tak perlu bersusah payah menerka-nerka sesuatu yang belum pasti, kejelasan akan membawa manusia pada sebuah kepastian. Nampaknya, salah satu hal yang sulit dipahami bagi beberapa orang di dunia ini adalah karya sastra. Karya sastra menyuguhkan dunia yang berbeda, imajiner, dan arbitrer bagi penciptanya. Seorang pencipta karya sastra akan menuangkan gagasan yang ada di kepalanya melalui medium tulisan—entah apakah itu dimengerti atau tidak oleh pembaca—dengan berbagai kode atau simbol yang perlu ditelusuri oleh pembaca. Salah satu jenis karya sastra yang mengandung banyak kode atau simbol adalah cerita pendek.

            Cerita pendek umumnya terdiri dari 5-8 halaman. Oleh karena itu, jenis karya sastra ini dapat dibaca hanya dengan sekali duduk karena isinya yang tidak terlalu panjang. Hal itu disebabkan karena di dalam sebuah cerita pendek selalu ada penyegeraan dalam sebuah cerita, sehingga dapat dibaca hanya dalam sekali duduk. Penyegeraan itu membuat pengarang perlu meringkas isi ceritanya. Akibatnya, pembaca acap kali tidak merasakan konflik yang terjadi di dalam cerita pendek tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan penjelasan terhadap bagian-bagian di dalam cerpen yang kurang memuaskan bagi pembaca.

            Salah satu upaya untuk memperjelas sebuah karya sastra adalah dengan melakukan proses ekranisasi. Ekranisasi berasal dari bahasa Prancis ecran yang berarti layar. Menurut Eneste (1991), ekranisasi merupakan pelayarputihan, pemindahan atau pengangkatan sebuah karya sastra ke dalam layar lebar. Karya sastra yang dimaksud dapat berupa cerpen, puisi, atau novel. Ekranisasi memungkinkan perpindahan dari tulisan menjadi audio-visual. Perpindahan ini akan memungkinkan penyaluran imajinasi penonton terhadap suatu karya yang dibaca ke dalam praktik sebuah film.

            Salah satu contoh pelayarputihan sebuah karya sastra—dalam hal ini cerpen—ke dalam sebuah film adalah sebuah film yang berjudul “Doa yang Mengancam”. Film ini merupakan adaptasi dari sebuah cerpen berjudul “Doa yang Mengancam” karya Jujur Prananto pada tahun 2001. Cerpen ini mengisahkan tentang seorang laki-laki bernama Monsera yang sudah bosan hidup miskin dan meminta Tuhan untuk mengubah hidupnya menjadi kaya. Cerpen karya Jujur Prananto ini termasuk ke dalam cerpen pilihan KOMPAS pada tahun 2002. Cerpen ini lalu diangkat ke layar lebar yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan ditulis juga skenarionya oleh Jujur Prananto, sang penulis cerpen ini, pada tahun 2008. Film ini dibintangi oleh Aming, Titi Kamal, Ramzi, dan lain-lain.

            Proses ekranisasi sebuah karya sastra ke dalam film layar lebar bukan tanpa masalah. Ekranisasi dapat menyebabkan transformasi dari karya sastra itu berkembang, melenceng, atau menyimpang. Sebagaimana diungkapkan Lind (2016:xii) bahwa adaptasi merupakan sebuah tindakan interaktif dan kreatif yang melibatkan proses penciptaan dan penciptaan kembali, interpretasi dan reinterpretasi, dan transposisi dari suatu karya tertentu. Oleh sebab itu, produk film yang diangkat dari sebuah karya sastra tergantung kepada penafsiran sutradara, produser, atau penulis cerita.

            Di dalam proses ekranisasi cerpen “Doa yang Mengancam” karya Jujur Prananto, dapat terlihat keselarasan penafsiran antara sutradara dan produser dengan Jujur Prananto selak penulis cerpen “Doa yang Mengancam”. Keselarasan tersebut terlihat dari alur cerita di cerita pendek dan film yang tidak terlalu jauh perbedaannya. Namun, adanya pelebarandan perubahan beberapa bagian menjadikan film ini memberikan penjelasan bagi pembaca terkait kandungan isi cerita pendek tersebut. Selain itu, pelebaran dan perubahan bervariasi beberapa bagian di dalam film ini juga sangat wajar karena film ini diangkat dari sebuah cerita pendek yang tentu memiliki batasan dari segi panjang cerita. Sehingga wajar apabila terdapat pelebarandan perubahan bervariasi yang dapat menjadikan film ini semakin hidup.

            Perubahan yang pertama terlihat adalah tokoh Monsera yang ada di dalam cerita pendek, berubah nama menjadi Madrim di dalam film “Doa yang Mengancam”. Perubahan ini disinyalir untuk memudahkan penonton dalam mengingat nama tokoh utama di dalam film dan menghindarkan kesan asing dalam penyebutan nama tokoh Madrim. Madrim sendiri merupakan nama patih dari Prabu Angling Darma, yang merupakan sebuah legenda di Indonesia. Pemilihan nama Madrim ini juga dapat menyiratkan isyarat latar film ini memang terjadi di Indonesia.

            Perubahan latar menjadi perubahan kedua yang dapat terlihat jelas. Di dalam cerita pendek “Doa yang Mengancam”, latar tempat yang digunakan adalah Kota Ampari, Negeri Kalyana. Secara geografis, Kota Ampari dan Negeri Kalyana tidak dapat ditemukan. Sehingga jelas latar ini hanya imajinasi Jujur Prananto. Imajinasi Jujur Prananto itu kemudian dituangkan ke dalam film yang mengambil latar tempat di sebuah pasar di Kota Jakarta. Pemilihan Kota Jakarta juga disinyalir karena Jakarta merupakan sebuah kota metropolitan, di mana infrastruktur, urbanisasi penduduk sangat masif terjadi, sehingga memungkinkan keberagamaan penduduk dari belahan suku. Predikat Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia juga memungkinkan sutradara untuk memilih setting yang sesuai untuk adegan-adegan yang terdapat dalam film “Doa yang Mengancam”.

            Selain perubahan, terdapat juga pelebaran atau penambahan di dalam film “Doa yang Mengancam” yang justru memperkuat konflik dan emosi yang terjalin di antara tokoh-tokohnya. Penambahan yang paling terasa adalah kehadiran sosok Julaeha—yang diperankan oleh Titi Kamal—selaku istri Madrim. Julaeha merupakan sosok istri yang menderita, karena Madrim kerap tidak memberikan nafkah yang cukup bagi Julaeha. Madrim hanya seorang kuli angkut di pasar. Pendapatannya tak seberapa. Dan ketika Madrim mendapatkan pendapatan yang cukup, ia memilih untuk menghabiskan uangnya untuk berjudi. Kebiasaan tersebut yang membuat Julaeha kesal dan akhirnya meninggalkan Madrim.

            Kehadiran sosok Julaeha juga berperan sebagai penjelas terhadap bagian pembuka di dalam cerita pendek “Doa yang Mengancam”. Di dalam cerita pendek tersebut, tidak ada kejelasan mengapa tokoh Monsera—yang kelak menjadi Madrim—berputus asa dan berdoa kepada Tuhan untuk dapat mengubah hidupnya. Seolah-olah Monsera sudah menjalani hidup yang sangat berat. Namun tak ada narasi yang menggambarkan bahwa hidupnya memang sudah sangat menderita sejak dahulu.

            Sosok Julaeha juga hadir sebagai kehampaan Madrim ketika ia berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Uang, rumah, pekerjaan, sudah dapat didapatkan Madrim. Namun ia merasa hidupnya sepi karena tidak ada yang menemani, orang itu tak lain adalah Julaeha. Sehingga Madrim bertekad untuk mencari Julaeha dan membangun hidup yang baru, dengan kesuksesan yang ia miliki. Namun, ketika suatu saat Madrim bertemu dengan Julaeha, istrinya tersebut memutuskan untuk bunuh diri. Rangkaian peristiwa pencarian Madrim terhadap Julaeha ini menjadi penjelas konflik yang terjadi di dalam diri Madrim, yang hanya digambarkan secara permukaan di dalam cerita pendeknya.

            Penambahan juga terjadi pada tokoh Kadir, seorang sahabat Madrim yang alim, saleh, dan rajin beribadah. Tokoh Kadir ini tidak terdapat di dalam cerita pendek “Doa yang Mengancam”. Tetapi kemunculannya di dalam film membuat konflik semakin menarik karena Madrim tidak hanya berkonflik dengan Julaeha, tetapi sesekali memiliki konflik dengan Kadir yang berusaha selalu mengingatkannya untuk beribadah dan mendapatkan rezeki dari pekerjaan yang halal. Sosok Kadir juga digambarkan sebagai sahabat yang setia menemai Madrim, bagaimanapun keadaannya.

            Terakhir, penambahan yang sangat penting adalah penambahan atau pelebaran ending di dalam film tersebut. Di dalam cerita pendeknya, terlihat bahwa ending yang disajikan terkesan menggantung. Monsera hanya berkata “Aku tidak mau mati dengan cara begituuu!!!” Tidak ada kejelasan apa yang akhirnya ia alami: apakah ia benar mati dengan cara seperti itu atau tidak. Di dalam film, ending yang disajikan tergolong ke dalam happy ending. Madrim akhirnya menjalani hidup yang normal, mendirikan sebuah rumah makan dan mempekerjakan Kadir, dan mampu membangun sebuah masjid. Ending film ini seolah lagi-lagi memberi penjelasan terhadap ending di dalam cerita pendek yang terkesan menggantung. 

            Akhirnya, harus diakui bahwa karya sastra dan film memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Hal-hal yang tidak dapat digambarkan di dalam cerita pendek, dapat disajikan dengan mudah di dalam sebuah film. Terlepas adanya penciutan, perubahan, atau penambahan bervariasi, hal tersebut semata-mata dilakukan agar film yang diproduksi dapat lebih hidup dibandingkan karya aslinya. 

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!