Memahami Literasi untuk Kompetisi Minimum Sekolah di Masa Pandemi
Oleh: Muhammad Luthfi Hawari
Pembukaan
Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menjelaskan tujuan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia menjelaskan pada alinea ke empat untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Hal ini pun didukung dengan pasal 31 Ayat 1 pada
Undang-undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. Berdasarkan tujuan yang mulia ini, sudah dapat dipastikan bahwa
pendidikan merupakan salah satu hal penting yang harus negara lakukan kepada
masyarakatnya.
Hal
ini juga didukung dengan fakta bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor
yang dapat membuat sebuah komunitas atau negara bisa maju dan berkembang.
Dengan pendidikan, kita bisa lebih awas terhadap segala ilmu pengetahuan yang
terjadi di sekitar kita. Dengan pendidikan pula, latihan otak yang digunakan
untuk berpikir keras dan kritis bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
sosial secara nyata dengan kritis. Maka, sudah dapat dipastikan bahwasannya
pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang
untuk hidup bersama dengan masyarakat secara nyata di ruang lingkup sosial
bersama.
Gencarnya
pendidikan sudah dilihat dan diprediksi oleh Menteri pendidikan dengan merubah
kurikulum sekolah dengan tujuan agar tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa bisa dicapai dengan maksimal. Bagaimana tidak, perubahan yang dilakukan
oleh menteri sangat drastis hingga
muncul sebuah konsep pemahaman baru bagi siswa yang bersekolah tentang sebuah
istilah HOTS (High Order Thinking Skill).
Dengan istilah ini yang biasa digunakan dalam penggunaan pengerjaan soal, siswa
dituntut untuk berpikir lebih kritis dan detail dalam setiap penyelesaian soal
yang dilakukan setiap semester.
Harapan
yang hendak dicapai dengan kurikulum baru ini sudah sangat jelas bahwa menteri
ingin memberikan pendidikan yang maksimal kepada peserta didik sejak dini.
Berusaha untuk menciptakan generasi-generasi yang cerdas yang bisa membangun
dan mendukung kemajuan suatu negeri dan bangsa. Bahkan, dalam jenjang SMP kita
bisa lebih mengenal soal-soal HOTS ini
dalam percobaan AKM atau yang lebih dikenal dengan Asesmen Kompetisi Minimum.
AKM
ini terdiri dari banyak soal dengan level tinggi yang menggunakan jenis
pemberian HOTS dimana siswa dituntut
untuk memahami dan mengambil kesimpulan secara cepat dan tepat. Namun,
sayangnya percobaan kurikulum ini belumlah bisa dimaksimalkan kepada para siswa
dikarenakan kebiasaan dari masyarakat Indonesia sendiri yang tidak suka
membaca. Hal ini bisa kita lihat dari grafik dan penelitian yang telah
dilakukan di berbagai situs bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangatlah
rendah.
Hal
ini sangat berpengaruh terhadap proses pencerdasan kehidupan bangsa yang
digencarkan oleh menteri, karena pemberian soal AKM terdiri dari soal literasi
baca tulis dan literasi numerasi.
Literasi
sendiri merupakan sebuah kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, hingga
mampu berpikir kritis. Literasi yang bermulai dari pemahaman seseorang dalam
membaca dan menangkap maksud yang hendak disampaikan bisa diturunkan lagi
menjadi banyak kemampuan dasar lain yang dibutuhkan dalam hidup bersosialisasi
dalam masyarakat.
Dengan
kondisi bahwa masyarakat Indonesia yang tidak gemar membaca yang mendasari
bahwa banyak dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa tidak paham pentingnya
akan proses membaca, ditambah dengan kondisi pandemi yang menyulitkan proses
belajar-mengajar, anak-anak yang tidak terbiasa untuk membaca dan memahami
tentunya akan sangat kesulitan dalam menjalani pengerjaan soal-soal AKM.
Proses
yang menyulitkan siswa-siswa dan peserta didik tidak hanya soalnya yang rumit
untuk bisa diproses dan tidak terbiasa membaca sehingga membutuhkan waktu yang
lama untuk pengambilan kesimpulan sebuah paragraf. Masih banyak siswa dan
peserta didik yang bahkan masih kesulitan untuk melakukan proses baca-tulis itu
sendiri, terlebih yang berada di daerah terpencil yang bukanlah kota besar.
Fakta
lain yang lebih mengejutkan adalah tidak hanya jenjang SMP saja yang
mendapatkan soal yang begitu rumit tentang AKM, anak-anak murid dan peserta
didik yang berada di jenjang sekolah dasar pun harus dijejali oleh materi yang
sama rumitnya untuk menguji pemahaman literasi dengan pemberian materi tematik.
Langkah
yang diambil oleh menteri pendidikan dalam perubahan kurikulum merupakan sebuah
langkah yang benar dan menurut saya pribadi adalah langkah yang baik.
Sayangnya, perlu ada lebih banyak waktu untuk melakukan penyesuaian kepada
siswa dalam jenjangnya baik SD, SMP, atau bahkan hingga SMA sehingga meskipun
memang kurikulum baru ini mendorong agar siswa bisa berpikir lebih kritis dan
kreatif, tidak menyalahi dan memaksa kapasitas siswa itu sendiri.
Hal
ini tentu karena setiap kapasitas siswa untuk menerima informasi dan belajar
tidak bisa disama ratakan satu dengan yang lainnya. Setiap siswa membutuhkan
waktunya masing-masing untuk memahami suatu hal. Maka dari itu, setidaknya yang
bisa para orang tua lakukan terhadap perubahan kurikulum yang memaksa siswa
untuk mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan yang tinggi adalah dengan
membiasakan proses pembacaan kepada anak-anaknya.
Apalagi
dengan masa pandemi seperti ini yang membuat waktu keluarga bisa lebih
dimaksimalkan, para orang tua bisa menggunakan manfaat tersebut untuk mengajak
anak-anaknya serta dalam proses membaca. Tidak harus membaca buku pelajaran
atau buku yang sulit untuk dicerna oleh anak-anak. Membaca komik, membaca buku
cerita, membaca koran, atau bahkan membaca buku resep masak adalah salah satu
langkah awal agar anak bisa terbiasa untuk menangkap kesimpulan dari setiap
bacaan yang akan dihadapinya kemudian.
Comments
Post a Comment