Plonco adalah Budaya Kolonial dan Kita Melanggengkannya
Ketika memasuki
kehidupan baru, kita dihadapkan pada berbagai kegiatan yang memiliki dalih
sebagai ajang peresmian tergabungnya diri ke dalam kolektif masyarakat.
Seolah-olah rangkaian kegiatan itu adalah hal yang wajib bin harus bin kudu yang perlu dijalani seseorang. Maka
muncul istilah, “belum afdol jadi mahasiswa kampus A kalau belum ikut ospeknya.”
Emang yang paling afdol di dunia ini cuma
duduk di teras, nyeruput kopi, sambil makan pisang goreng aja udah.
Rangkaian kegiatan yang harus
dilalui seseorang—khususnya dalam bidang pendidikan—agar “sah” menjadi bagian
dari tempatnya melanjutkan studi dikenal dengan nama orientasi. Kendati di
beberapa lembaga pendidikan namanya berbeda: OSPEK, MOS, MOPD, dan lain-lain.
Walaupun namanya beragam, ada satu hal yang tetap sama: perploncoan.
Perploncoan menjadi hal yang niscaya
dalam sebuah orientasi lembaga pendidikan—dalam hal ini kampus. Mahasiswa
biasanya diminta bawa barang-barang aneh bin nyeleneh, bikin tugas seabreg—yang
ujung-ujungnya cuma dikumpulin dan
gak diperiksa sama sekali. Ya semacam bikin orang malu dan tersiksa dalam satu
waktu, sih. Dari apa yang pernah saya ikuti selama menjadi mahasiswa di
sebuah PTN di Bandung, belum pernah terlihat kegiatan ospek yang
berlangsung sesuai dengan namanya: orientasi studi dan pengenalan kampus.
Tapi tunggu dulu. Para suhu-suhu
yang menyelenggarakan kegiatan orientasi kampus—apapun namanya—tahu gak, sih,
perploncoan itu gimana? Singkatnya begini.
Perploncoan sudah ada sejak zaman
kolonial. Salah satu buktinya, terlihat dalam novel Marah Rusli yang berjudul
“Siti Nurbaya”. Tokoh Samsul Bahri diceritakan mengalami perploncoan saat
menjadi calon pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA). Nah,
terbayang, kan, kalau perploncoan ini adalah produk kolonial? Eits, cerita
tidak sampai di situ.
Di zaman Belanda, istilah plonco
dikenal sebagai ontgorening atau groentjes. Istilah ini kemudian diubah
ketika Jepang menjajah Indonesia, menjadi puronko—tampak
dekat dengan istilah plonco saat ini—yang memiliki arti “kepala gundul”.
Istilah ini adalah salah satu doktrin yang dibawa Jepang sebagai standar
laki-laki fasis ala Jepang. Kepala gundul ini menjadi beberapa aturan dalam
mengikuti pendidikan di beberapa lembaga.
Seiring perkembangan zaman, plonco
tidak lagi diartikan sebagai seseorang—dalam kasus ini mahasiswa—yang kepalanya digunduli. Lebih jauh dari
itu, plonco mulai mengalami pergeseran makna menjadi “mahasiswa baru yang
dibentak dan diperintah”, “proses orang baru menyesuaikan diri dengan menuruti
perintah orang lama atau senior”, dan lain-lain. Jadi, jangan anggap plonco itu hanya
tindakan mem-bully saja, ya.
Memanfaatkan senioritas untuk bertindak sesuka hati kepada junior juga adalah
contoh perploncoan.
Perploncoan ini sempat ditentang
oleh Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) pada masa demokrasi
terpimpin. Kelompok mahasiswa yang dikenal dekat dengan PKI ini menentang
perploncoan karena itu adalah tradisi kolonial. CGMI memang tidak senecis
anak-anak Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Namun, dikutip dari Tirto.id,
Guru Besar Sejarah UNY, Husein Heikal mengatakan bahwa buku-buku yang dibaca
oleh anak-anak CGMI lebih tebal ketimbang buku yang dibaca anak-anak HMI. Hal
ini menyebabkan CGMI vokal besuara sebelum Presiden Sukarno tumbang. Kehadiran
CGMI ini memberikan angin segar sekaligus menjadi pahlawan bagi mahasiswa yang
tidak suka dan menderita akibat perploncoan.
Tradisi kolonial yang semakin berkembang di
zaman Jepang dan terus terpelihara ketika Indonesia sudah jauh merdeka~
Ajang perploncoan yang dibalut
dengan nama orientasi kampus ini bagi saya cenderung lebih besar tradisi balas
dendamnya ketimbang pengenalan tentang seluk-beluk kampus. Senior yang merasa
pernah diperlakukan buruk selama masa orientasi oleh seniornya dulu, tentu akan
melampiaskan dendamnya kepada junior yang tidak tahu apa-apa. Dalih pembinaan
karakter pun digunakan untuk menutupi nyala api balas dendam yang berkobar.
Apakah ini baik? Tentu tidak. Pembinaan karakter tidak mesti dilakukan dengan
kekerasan—dan saya pernah mengalaminya.
Saya pernah bersekolah di salah satu
SMA swasta di lingkungan TNI AU di Bandung. Di sekolah ini,
setiap siswa yang baru masuk ataupun naik kelas, perlu menjalani orientasi yang
dikenal dengan nama Science Camp dan Fun Camp. Selama sehari penuh, kami
digenjot untuk menerapkan sikap disiplin dan pembinaan karakter. Orang yang
membina kami juga bukan senior—yang dalam beberapa kasus sering terlihat sok jago—melainkan prajutrit TNI AU dan
TNI AD. Kami dilatih bagaimana menjalin kerja sama antarsiswa, baris-berbaris,
disiplin waktu, dan lain-lain. Seluruh latihan ini diberikan tanpa adanya
kekerasan, loh. Semua pelatihan ini terbawa menjadi kebiasaan dalam diri saya.
Tanpa kekerasan tapi membekas jauh lebih baik daripada penuh kekerasan tapi malah menimbulkan trauma.
Ini jadi refleksi untuk kita semua. Mahasiswa dikenal sebagai agent of change. Kita semua diharapkan menjadi pembaharu dalam segi sumber daya manusia. Menjadi generasi yang unggul dan paham terhadap segala sendi kehidupan. Generasi unggul tentu bijak menentukan mana yang baik dan buruk. Bukan malah terpaksa mengikuti tradisi tanpa pemahaman yang komprehensif.
Comments
Post a Comment