Perempuan yang Mengendalikan Dunia

(1/45363)

Barangkali memang benar adanya bahwa semesta telah mengatur sedemikian rupa perihal apa yang terjadi. Manusia—termasuk kita—hanya bisa mengikuti skenario yang dibuat semesta. Sama halnya dengan aku dan kamu, yang tampaknya memang jadi salah satu scene dalam skenario yang dibuat semesta.

Pertemuan aku dan kamu memang tidak diusahakan. Tidak juga diharapkan sebelumnya—barangkali. Tetapi entah mengapa, alam sepertinya memberi sasmita pada semua elemen dalam hidup sehingga aku dan kamu akhirnya bertemu.

Semula kami—barangkali suatu saat aku bisa memanggilnya kita—adalah orang asing dari dunia yang berbeda. Kamu dengan duniamu sendiri sedangkan aku dengan dunia yang sedang kubagi dengan orang lain. Tentu itu tak menjadi alasan. Sebab bersama siapapun dunia kubagi di kemudian hari, aku dan kamu tetap saling mengenal, bahkan menjadi semakin dekat.

Satu ketika kita bertemu dalam sebuah ruangan. Dindingnya terbuat dari batu berwarna hitam legam. Seseorang tak bisa menengok ke dalam untuk sekadar menyapa seseorang yang ada di dalamnya. Jendelanya adalah pintu kamar setiap orang. Atapnya dibuat dari hamparan huruf-huruf yang bersedia untuk disentuh. Kamu datang seraya mengucap salam yang menentramkan. Dengan perkenalan diri yang singkat, aku terbawa ke dalam dunia baru yang asing. Aku tidak mengenalmu sebaik—atau mungkin sebanyak—kamu mengenalku. Tapi pembicaraan menggiring kita menjadi dua orang yang saling memahami di masa depan.

Aku menganggap perkenalan dengan kamu hanya angin lalu. Ya, hanya sebatas penegasan bahwa kita adalah manusia, makhluk sosial. Sebuah entitas yang kata orang tidak mungkin bisa hidup sendirian. Seiring dan sejalan dengan keakraban yang menghinggapi, kita terlarut dalam nuansa pertemanan. Singkatnya, kamu adalah orang yang aku tuju untuk berbagi sepotong kisah hari demi hari. Kamu juga terkadang demikian. Aku dan kamu sama-sama belajar menjadi pendengar dari setiap kisah yang teralami.

Aku dan kamu sering bersentuhan dalam hal positif. Aku kerap menjadi seekor kuda yang terkena pecutan sang kusir untuk tangguh berlari. Kamu perlahan menjadi sosok yang mesti aku tiru dari segi daya juang. Tentu hanya itu yang pantas aku tiru. Sebab aku tidak mungkin menirumu dari segi perasaan dan emosionalitas. Biarkan perasaan dan emosi dalam dirimu menjadi bagian yang selalu aku dengar setiap waktu.

Kamu adalah perempuan tangguh yang aku temui di dunia luar. Ketangguhan yang kamu miliki membuat hidupmu seringkali terhindar dari kepayahan, apalagi kesedihan. Semoga kamu tetap menjadi seorang perempuan yang tangguh, enerjik, dan asyik.

Ini adalah awal dari ceritaku tentang kamu. Semoga saja ingatan ini cukup kuat untuk menuliskan hal-hal baik tentang dirimu. Karena hal baik perlu terus disebarkan. Bukan untuk menjadi seorang penjilat, melainkan menjadi seorang pendengar yang hangat. Seiring berjalannya waktu mungkin tulisan ini juga tak akan banyak mengandung kata yang aku rangkai sebagai benteng untuk bersembunyi. Sebab ternyata, bersembunyi di balik kata-kata itu tidak mudah. Ya, kita lihat saja; apakah aku bisa bersembunyi di balik kata, huruf, atau titik dalam tulisan-tulisan tentang kamu ke depannya. 

Comments

  1. Keren, ini namanya tulisan apa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih! Sebetulnya tidak ada jenis tulisan yang cocok untuk menggolongkan tulisan ini. Hanya narasi belaka.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!