Perempuan Niaga
(3/45363)
Angin dari utara menembus masuk di antara belantara gedung dan memecah
keheningan, menerpa pohon beringin. Batang pohon itu berayun dipermainkan angin
dan daunnya segera berjatuhan. Matahari perlahan bergeser ke arah barat disusul
gerombolan awan yang ingin cepat beranjak.
Di belakang sebuah gedung, terhampar
taman bunga yang menjalar di atas deretan bongkahan batu pualam yang dialasi keramik
putih. Tiangnya terbuat dari harapan orang yang lalu lalang mengharap ilham. Di
depan setiap bongkahan batu pualam terdapat sebuah meja bundar. Lingkarannya nampak
rapi dan halus.
Salah
satu meja menopang sebuah nampan plastik, lengkap dengan isinya; kue. Kue itu
masih hangat, pertanda belum lama dikeluarkan dari oven. Kue itu juga masih
bundar, pertanda belum ada benda apapun atau siapapun yang mengambilnya barang
secuil. Kue itu juga buah tangan kamu, pertanda kamu memiliki bakat yang tinggi
soal kuliner. Kamu duduk di sudut pualam dengan sukma yang menunggu seseorang. Beberapa
kali sebuah handphone mondar-mandir dari
tas milikmu. Beberapa kali pula jemari itu menyentuh tuts-tuts huruf. Beberapa kali
pula sebuah pesan terkirim melalui sinyal. Tak kasat mata memang. Tapi nyatanya,
sinyal itu yang membawa aku bergegas turun dari lantai enam sebuah gedung.
Pekerjaan yang menghinggapi kepalaku
nyatanya cukup untuk menggeser janji yang kita sepakati jauh-jauh hari. Rasa
bersalah yang memuncak mendorongku mempercepat langkah kaki untuk menemuimu di
belakang gedung tempatku bekerja. Aku menuruni beberapa puluh anak tangga
dengan cepat dan hati-hati.
Dari pintu keluar gedung itu, tak
banyak yang bisa aku pandang sebenarnya. Hanya beberapa pualam kosong. Matamu yang
cekatan, matamu yang memabukkan. Kamu menangkap keberadaanku lebih dahulu dan
melambaikan tangan. Aku berbalik melambai dan mempercepat langkahku.
“Maaf, aku terlambat”, sapaku dengan
napas tersengal.
“Tidak apa. Terlambat adalah nama
tengahmu, bukan?” tanyamu sambil tersenyum.
Kamu selalu bisa meredam amarah. Kamu
selalu bisa mencairkan suasana—walaupun dalam beberapa kesempatan nampaknya
diriku yang mencair lalu menguap seperti udara. Udara yang sebaiknya tidak kamu
hirup. Udara yang terlalu beracun untuk hidupmu.
Aku duduk di sebuah pualam yang
bentuknya tak karuan sementara jemarimu cekatan memotong dan menyuguhkan
sepotong kue untuk aku cicipi.
“Silakan dicoba. Kue ini buatanku
sendiri. Semoga rasanya enak,” ucapmu.
Aku menerimanya dengan senyum. Rasanya
tak sanggup mengucap terima kasih kepada kamu yang aku kecewakan siang ini. Aku
membelah sepotong kue dan melahapnya. Kue itu meleleh di dalam mulutku yang
kotor. Serbuk-serbuk adonan kue itu sebagian besar masuk ke organ pencernaan
dan sebagian lagi menyebar ke seluruh pancaindra. Ingin kuungkapkan betapa nikmatnya
kue buatanmu itu dengan berbagai cara. Namun aku sadar. Kamu adalah orang yang realistis,
setiap perkataan harus diucapkan mulut. Tak bisa diganti dengan perasaan,
pendengaran, atau penglihatan.
“Ini enak! Coba saja kamu jual,
pasti laku keras!”, seruku sambil menunjuk sepotong kue.
“Serius? Memang mau aku jual.
Lumayan, pemasukan tambahan,” jawabmu sambil tersenyum.
Perkataan itu mengingatkanku pada
beberapa usaha yang kamu kerjakan selama beberapa tahun ke belakang. Mulai dari
berjualan pakaian, alat masak, jasa titip. Sekarang kuliner? Ah, kamu memang
perempuan luar biasa. Perempuan mandiri. Perempuan niaga.
“Ide bagus. Barangkali nanti aku
bisa jadi pelanggan tetap,” godaku.
“Satu kehormatan yang luar biasa
bagiku mempunyai pelanggan tetap seorang pria yang selalu sibuk bekerja,” kamu
tertawa.
Sibuk bekerja adalah salah satu jalan terbaik untuk mengurangi waktu untuk memikirkanmu, Aurora. Memikirkan kamu tentu bukanlah suatu kejahatan di dunia ini. Tetapi bagi duniaku, memikirkan kamu secara berlebihan adalah tindakan ilegal. Tak ada batas yang memagari pikiranku untuk berhenti memikirkan kamu. Tentu yang aku pikirkan tentang kamu adalah sikap yang dapat kujadikan teladan bagi diriku. Bagaimana kamu selalu bersemangat mengejar cita-citamu, bagaimana kamu selalu pandai mencari celah untuk dijadikan satu usaha, dan bagaimana kamu sabar menunggu untuk hal-hal kecil—termasuk menunggu kedatanganku.
Kita berpisah dan kembali menjalani kehidupan nyata. Hanya sesekali saja pertemuan yang menghanyutkan kita ke dunia mimpi ini terjadi. Aku terbangun dan mendapati setumpuk berkas telah tersedia di meja. Jendela laptopku masih menampilkan sebuah foto lima tahun lalu ketika aku dan kamu berkelana ke sebuah sungai di utara kota.
Comments
Post a Comment