Perempuan yang Dermawan

(2/45363)

            Setelah perkenalan yang singkat dan mengherankan itu, kamu jadi bagian yang memberi warna dalam hidup ini. Aku dan kamu memang tidak setiap hari bersua. Waktu seakan enggan merestui pertemuan kita. Karena waktu sadar, bila aku dan kamu bertemu, ia kerap kita lupakan.

            Semua pertemuan yang terjadi antara aku dan kamu selalu digerakkan oleh sesuatu yang bersifat intelek. Tak pernah terjadi pertemuan yang hanya sekadar tegur sapa atau memandang langit jingga yang muncul selepas hujan berjatuhan di taman. Selalu ada napas intelektualitas yang mendasari pertemuan aku dan kamu. Kalau bukan soal politik, ya soal bagaimana masa depan pendidikan di negeri ini. Aku hanya berusaha menyimak dengan baik saat bibirmu mengucap kata-kata yang mengandung semangat perjuangan. Menyimak adalah cara paling sederhana untuk menjadi pendengar yang baik.

          Dari cerita-ceritamu aku perlahan menjadi sosok yang sedikit mengenalmu. Aku jadi tahu apa yang kamu cari di dunia ini, apa yang kamu dambakan dalam lima tahun ke depan, apa yang kamu khawatirkan, dan masih banyak lagi. Setidaknya, aku jadi terbiasa menyusun puzzle tentang kamu sebelum menjadikannya lukisan yang bisa aku pamerkan kelak.

             Salah satu hal—karena hampir semua hal dalam dirimu aku suka—yang aku suka adalah betapa dermawannya kamu. Kamu kerap memberiku hadiah atas apa yang tidak aku lakukan. Tentu ini gaji buta! Tapi bukannya tak apa? Lagipula aku sedang tidak bekerja kepada siapa-siapa dan sedang tidak mengerjakan apa-apa.

           Kamu bilang kalau hadiah itu adalah wujud terima kasih setiap orang. Ia menjadi semacam aturan tidak tertulis dalam etika manusia. Tapi tunggu dulu. Bukankah semua etika itu tidak tertulis, ya? Ia dipelajari melalui kebiasaan dan norma yang berlaku. Tak ada wujud terima kasih yang lain selain terima kasih itu sendiri. Itu saja sudah cukup, loh!

            Tapi lagi-lagi kamu selalu punya 1001 argumen untuk menikam argumen lain yang aku pelihara. Ya, tak apa. Memenangkan pertarungan argumen dengan kamu tidak memberikan kebahagiaan buatku. Malah aku terlihat bodoh karena tak mau mengalah dan tak menghargai wanita.

            Pernah suatu ketika aku bertanya; mengapa kamu selalu memberiku hadiah atas apa yang tidak aku kerjakan? Katamu, itu sebagai ucapan terima kasih atas beberapa jendela yang aku pinjamkan ketika kamu bermimpi. Jendela yang kamu gunakan untuk melihat jendela lainnya yang lebih masyhur. Aku tertawa. Tak menyangka bahwa di alam bawah sadar pun kamu masih belum puas atas jawaban-jawaban yang selama ini dianggap mapan di dunia nyata! Dan itu keren! Tandanya kamu adalah manusia yang menjalankan kodratnya manusia sebagai sesosok makhluk yang berpikir. Tak hanya berpikir, kamu juga berhasil menciptakan pikiran. Pikiran yang selalu membuat aku berpikir untuk memikirkan kamu—di sela-sela waktu afkir.

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!