Flexing Hubungan di Sosial Media; Perlukah?

 

Sumber: Celebrities.id

Sekuat apapun badai yang menerjang sebuah pohon, kalau akar pohonnya tertancap di perut bumi, ya enggak akan ada hal buruk terjadi.

            Bagi orang yang kasmaran, semua hal yang dijalani dalam hidup—apalagi menjalaninya bareng doi—akan terasa spesial, sangat spesial. Dari mulai jalan bareng, anter-jemput, sampe di-chat doi, “semangat, ya, hari ini! <3” rasanya terbang ke angkasa bareng Angling Darma. Tiap hari bawaannya senyam-senyum, enggak sabar buat cepet-cepet ketemu doi. Setuju. Aku pernah mengalaminya juga.

            Ketika ada di dalam hubungan, rasanya semua bakal terasa istimewa dan berkesan; rasa sedih, jauh-jauh, deh!

            Namanya manusia, selalu punya naluri untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain, termasuk kebahagiaan dalam hubungan. Dopamin yang berlebih dalam diri rasanya ingin diterbar juga kepada manusia-manusia lain—tanpa memandang ia jomblo atau sudah berpasangan. Itu alami, Jangan menyangkal.

            Makanya, kita jadi enggak bisa membedakan itu flexing (pamer) atau murni berbagi kebahagiaan. Tapi, mau flexing atau murni berbagi kebahagiaan, buat kaum jomblo itu sama aja, nggak, sih? Hehe.

            Bayangkan begini. Sebelum menjalin hubungan dengannya, kamu sering stalking dia lewat media sosial: Instagram, Twitter, Facebook, atau lainnya. Selama stalking, berseliweran komentar dari laki-laki atau perempuan yang gatel godain kecengan kamu. Otomatis, setelah kamu sukses menjalin hubungan sama dia, kamu punya dendam yang cukup besar buat nunjukkin ke laki-laki atau perempuan yang masih usaha untuk dapetin pacar kamu itu dengan ngasih disclaimer, “ORANG INI UDAH ADA YANG PUNYA”.

            Contoh di atas enggak bisa dikategorikan flexing atau sekadar berbagi kebahagiaan. Sebagai manusia, kita harus berbaik sangka kepada semua orang. Terlepas dari flexing atau berbagi kebahagiaan, poin utamanya itu satu; mengunggah sebuah hubungan di media sosial. Mari sepakati poin ini.

            Pertanyaannya, perlukah mengunggah sebuah hubungan di media sosial? Seperti layaknya wacana di mana pun berada, selalu ada pro dan kontra. Satu pihak merasa mengunggah sebuah hubungan di media sosial itu perlu karena beberapa alasan dan pihak lain merasa mengunggah sebuah hubungan di media sosial itu enggak perlu karena berlebihan. Well, setidaknya inilah pandanganku tentang itu.

            Bagi kaum yang merasa berbagi kebahagiaan dengan mengunggah kebersamaan bersama pasangan di sosial media itu perlu, sah-sah saja. Bagi mereka, mengunggah kebersamaan bersama pasangan itu bukan sekadar tindakan naif karena semata-mata ingin menujukkan bahwa, “aku bahagia sama dia”. Jauh dari itu, ada pesan yang hendak disampaikan ke followers pasangannya itu. Sekadar pesan, “orang ini udah ada pawangnya” saja sudah cukup membuat followers pasanganmu—yang memang punya maksud untuk menjalin hubungan dengan pasanganmu itu—angkat kaki. Ya enggak apa-apa. Sah-sah aja. Hanya saja, tindakan ini akan lebih dipandang ke arah ketakutan yang berlebih bahwa pasanganmu akan digoda dan tergoda oleh orang lain.

            Maka, salah satu caranya adalah dengan sering-sering bikin snapgram dengan pasanganmu ketika jalan-jalan, ngapelin ke rumah, atau bikin video Tiktok pake lagu Troye Sivan – Angel Baby.

            Kelemahan dari kaum ini adalah overthinking yang berlebih kalau doi enggak sering—atau bahkan enggak mau—mengunggah hubungannya di media sosial. Pikiran-pikiran seperti, “dia gak mau orang lain tahu hubungannya gitu?”, “apa dia punya selingkuhan dan gak mau ketahuan?”, “apa dia malu punya pasangan kaya aku?” dan lain-lain.

Mati kau dikoyak-koyak overthinking!

            Sebaliknya, bagi kaum yang merasa berbagi kebahagiaan dari sebuah hubungan di media sosial itu enggak perlu, hidupnya akan sedikit lebih tenang—walaupun overthinking seperti di atas sangat mungkin terjadi.

            Orang-orang yang menganggap berbagi kebahagiaan sebuah hubungan di media sosial itu enggak perlu, ya, karena menurut mereka, “no face no case”. Artinya, semakin sedikit tanda-tanda doi di media sosialmu, semakin sedikit pula masalah-masalah yang akan menimpa, yang diakibatkan gangguan orang luar. Misalnya ada yang tiba-tiba DM Instagram pacarmu setelah kamu tag dia di story. Hal ini enggak akan terjadi kalau kamu menjaga privasi hubunganmu dengan doi.

Cukup kita aja yang tahu, orang lain gak usah tahu. Asik.

            Menghabiskan waktu dengan doi tanpa sekalipun pegang handphone dengan segala tetek-bengek godaannya lebih asyik, bukan? Jadi punya waktu banyak buat sharing, numpahin keluh kesah, atau menikmati waktu yang bergulir sejak sang fajar beranjak pergi sampai senja menggantikannya di cakrawala. Asik banget~

            Kelemahannya, ya, kamu bakal dikira jomblo dan jadi santapan para buaya jantan atau betina. Itu seharusnya enggak jadi masalah kalau kamu dan doi udah berkomitmen untuk menjaga hati masing-masing. Sekuat apapun badai yang menerjang sebuah pohon, kalau akar pohonnya tertancap di perut bumi, ya enggak akan ada hal buruk terjadi.

            Jadi, berbagi kebahagiaan di media sosial itu penting, nggak, sih? Menurutku, biasa saja. Maksudnya, berbagi kebahagiaan itu perlu, namun bukan jadi satu-satunya agenda yang wajib dilakukan ketika punya pasangan. Upload feed atau story sama doi itu perlu dilakukan sesekali. Semacam ngasih pesan ke para followers kamu dan pasanganmu, bahwa kalian enggak sendiri lagi. Jadi, gangguan dari orang-orang gatel itu akan terminimalisir dengan adanya penegasan. Tapi ingat, sesekali aja. Jangan keseringan.

            Kalaupun enggak mau upload feed atau story sama doi, ya jangan dipaksa. Asalkan saling komitmen buat jaga hati, rasanya enggak ada yang salah, ‘kan? 

            Unggahan feed atau story sama doi bukan satu-satunya tanda sayang—kecuali kalau love language-mu physical touchscreen. Menjadi pendengar yang baik, supotif, dan pengertian adalah salah tiga tanda sayang yang utama. 

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!