Sidang Skripsi: Ketegangan dan Kelegaan yang Terjadi


Untuk satu waktu, ketegangan menjadi racun dan kelegaan adalah obatnya.

Sebuah sepeda motor melaju kencang di jalanan. Dikejar waktu, membelah udara pagi yang dingin. Tidak ada beban berlebih yang diangkut, hanya seorang manusia dengan tumpukan kertas dalam ransel. Pagi hari adalah pertarungan bagi setiap pemimpi dalam mencapai angannya.

Pagi itu jadi hari yang menegangkan bagi saya dan teman-teman kelas di kampus. Kalau diibaratkan, ya, semacam hari penghakiman—atau hari pembantaian lebih afdol disebutnya. Pertarungan antara hidup dan mati. Hidup jikalau berhasil melaksanakan sidang dengan baik dan lulus. Mati apabila gagal dalam sidang dan diharuskan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tak murah. Tentu, lulus secepatnya dari kampus adalah salah satu cara agar tak menjadi donatur kampus membayar uang berjuta-juta itu.

Ya enggak bisa menampik juga komersialisasi pendidikan memang nyata~

Sebelum mulai sidang, tercium kabar bahwa ada briefing terlebih dahulu. Mau tak mau, semua mahasiswa diwajibkan datang agar penyampaian informasi dapat terlaksana dengan baik. Jadwal briefing di jam 07.30 pagi tentu menjadi beban bagi saya. Bukan perilah sulit bangun pagi—lagipula siapa yang bisa tidur nyenyak sehari sebelum melaksanakan sidang skripsi—tetapi perjalanan yang mesti dilewati.

Jarak dari rumah ke kampus adalah 30-an km. Normalnya, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu satu jam sepuluh menit. Ini normalnya. Sayangnya, waktu pagi hari tidak terhitung waktu normal. Macet di mana-mana!

Pagi hari jadi waktu semua elemen rakyat turun ke jalan. Pelajar, pekerja kantoran, sopir angkot, pedagang kaki lima, semua berangkat mencari penghasilan. Hal ini bikin kemacetan di mana-mana. Ya, melemaskan mulut dengan memaki orang-orang di jalan, kan, sah-sah saja, ya—selama makiannya tetap terjaga dalam hati.

Akhirnya, perjalanan ke kampus terselesaikan dalam waktu satu jam tiga puluh menit. Siyap.

Beruntung, saya tiba tepat waktu. Satu menit menjelang briefing, raga ini sudah sampai di depan ruangan. Alhamdulillah, walau ngos-ngosan sedikit. Briefing pun dimulai.

Selesai briefing, tibalah saat-saat menegangkan; sidang skripsi. Masing-masing teman berpencar memasuki ruangan sidang skripsi. Kami melaksanakan sidang skripsi di berbagai ruangan: ruang perkuliahan, ruang dosen, ruang seminar. Ruang yang terakhir, bikin saya benar-benar merasa seperti seorang intelek yang memaparkan hasil penelitian dalam sebuah seminar.

Apesnya, saya mendapat giliran pertama dalam sidang skripsi. Bagi saya ini apes. Dalam pandangan saya, tampil pertama itu punya beban yang berat. Selain karena tak ada bayangan tentang alur dalam sidang skripsi, para dosen penguji pun saya yakini masih punya energi dan konsentrasi tinggi dalam menyimak paparan yang dijelaskan. Itu memicu mereka untuk aktif dalam memberikan saran, kritik, dan pertanyaan. Ya, walaupun sejujurnya saya sudah siap mental, fisik, dan wawasan, tetap saja deg-degan ygy~

Pertanyaan yang dilemparkan oleh penguji memberondong diri ini selama hampir satu jam sepuluh menit. Entah jawaban saya memuaskan atau tidak, saya tidak peduli. Yang terpenting adalah saya menyampaikan jawaban yang sesuai dengan apa yang selama ini dipahami.

Tak lama, sesi sidang skripsi saya pun berakhir. Berjalan keluar ruangan dengan lesu adalah potret diri saat itu. Bukan karena tak mampu menjawab segala bentuk pertanyaan penguji, saya hanya menyesali akan kepayahan saya selama penelitian skripsi.

Harusnya bisa lebih maksimal, euy” adalah kalimat yang selalu diulang-ulang dalam hati. Beberapa teman memberikan selamat namun saya tetap merasa tidak puas. Ada kekecewaan dalam hati. Ada ketegangan yang mulai menyepi. Ada kelegaan yang perlahan meggerogoti.

Sampai akhirnya tiba dalam satu titik, bahwa yang terjadi, ya biarlah terjadi. Tak ada yang dapat diubah lagi. Mengikhlaskan diri adalah bentuk paling hakiki dalam meresapi perjalanan yang telah terjadi.

Kepala saya tegakkan dan mulai memberi semangat dan selamat kepada teman-teman yang akan dan telah menyelesaikan sidang skripsinya. Sebuah senyum dan tawa mulai hinggap di bibir. Seluruh beban lepas bersamaan dengan selesainya sidang skripsi dan ekspresi kebahagiaan teman-teman.

Satu per satu sahabat berdatangan untuk sekadar memberi selamat, review apa yang dialami, dan bahkan memberi kado. Membuat saya merasa tersanjung dan istimewa. Tak lupa, sesi foto adalah hal yang wajib dilakukan. Agaknya saya memang orang yang kurang menyukai foto. Saya termasuk orang yang kaku dalam berfoto. Ya, kalau gaya fotonya enggak mengacungkan jempol, ya, menyimbolkan kedamaian dengan dua jari telunjuk dan jari tengah. Aih, betapa intovertnya saya merasuki elemen terkecil dalam hidup.

Lama saya dan teman-teman menghabiskan waktu di gedung fakultas untuk berbincang, bercanda, dan berbahagia—sambil menunggu hujan reda.

Setelah reda, saya menginisiasi untuk melakukan foto bersama di belakang gedung paling ikonik di kampus, Gedung Isola. Foto bersama ini seharusnya menjadi kenangan dengan teman kelas lain sebelum melanjutkan kehidupannya setelah lulus nanti. Menunggu beberapa menit, foto pun terlaksana. Semua bahagia.

Ada perasaan lega karena selangkah lagi sudah sah menjadi alumni kampus. Tak usah memikirkan tugas mata kuliah beserta tetek-bengeknya, tak usah pulang larut malam karena harus menyelesaikan proyek mata kuliah, dan lain-lain. Rasanya, kelegaan itu menjelma menjadi kebahagiaan yang tiada tara.

Setelah berfoto, saya masih menancapkan kaki di sekitar Gedung Isola, bersama beberapa teman. Alasan saya tak langsung pulang adalah karena ingin lebih lama menghabiskan waktu dengan sahabat—selain menunggu seseorang. Seseorang yang bertanya sampai pukul berapa saya akan tetap berada di kampus. Saya jawab saja, “kayanya sore deh”. Jawaban yang sebetulnya labil tetapi saya sudah mengiyakan untuk tetap berada di kampus sampai sore hari.

Saya tunggu kedatangannya. Menunggu bukan hal yang berat. Menunggu adalah proses pengharapan terhadap semesta untuk mengirimkan hal-hal baik.

Sore hari tiba. Saya bertemu dengannya. Pertemuan yang tak pernah saya bayangkan akan terjadi lagi. Maksudnya, dalam pertemuan sebelumnya, saya meramal bahwa itu adalah pertemuan terakhir. Namun semesta nampaknya turut merasakan kelegaan hati saya sehingga terciptalah pertemuan itu.

Kami berbncang tentang sidang yang saya jalani. Tentu saya sangat antusias dalam bercerita. Meski terpotong oleh beberapa gangguan, namun cerita harus terselesaikan. Setelah berbincang, saya mendapat hadiah makanan. Tak enak rasanya bila harus repot-repot memberikan hadiah untuk saya. Tapi saya terima dengan rasa terima kasih yang tak terhitung jumlahnya.

Sebagai penutup pertemuan, kami pun berfoto. Ya, lagi-lagi saya berfoto dengan gaya yang tetap sama seperti foto-foto sebelumnya; acungan jempol atau peace. Haha.

Akhirnya, hari itu saya—dan bahkan mungkin teman-teman lain—menobatkan hari itu menjadi hari yang istimewa. Hari di mana ketegangan dan kelegaan berpadu menciptakan perasaan tak tentu. Tapi nyatanya itu terlewati dengan hati yang merdu. Terima kasih untuk teman-teman yang senantiasa membersamai selama ini. Terima kasih juga untuk kamu yang sudi mendengar keluh kesah selama ini. Semoga kebaikanmu yang telah tercurah dapat menghantarkan kepada kebahagiaan yang abadi.

“Terima kasih untukmu yang telah mengisi hari; memberi warna dalam kegelapan dan memberi pelajaran dalam kepongahan. Kehadiranmu menjelma semilir angin yang menenangkan. Kebahagiaanmu menjelma deburan ombak yang memecah karang.”

 

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!