Skripsi dan Kisah Cinta yang Enggan Terjadi

 

Skripsi dan Kisah Cinta yang Enggan Terjadi

Semua berawal dari idealisme saya; tentang skripsi dan cinta.

Entah darimana datangnya pandangan idealisme yang mulai terasa makin menggerogoti pikiran sejak kelas 1 SMA. Ketika itu, saya mulai memiliki cita-cita untuk hidup lurus menurut pandangan pribadi tentang orang jujur. Masa SMA, saya mulai mempersempit perilaku dan pikiran yang menyimpang dari hakikat sebagai seorang pelajar. Mengurangi keluyuran, menuruti aturan sekolah—walaupun sedikitnya ada juga yang dilanggar—dan memaksimalkan kapasitas otak untuk diisi hal-hal yang bermanfaat. Memang naif menafikan bahwa solidaritas kawan-kawan SMA lebih dari segalanya dan sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Toh idealisme itu tidak tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Ada hal-hal yang menggiring cita-cita itu kepada keburukan. Sesekali wajar saja kalau tergoda. Masa SMA adalah masa yang paling berkesan pun saya dapatkan; mendapat pacar dan melanjutkan kuliah di universitas negeri.

Ya, masa SMA memang indah. Tapi masa selanjutnya pun tak kalah indah.

Di masa perkuliahan, apa yang ditawarkan memang jauh berbeda dengan masa SMA. Kala pertama menjadi mahasiswa, saya disuguhi diskusi-diskusi—lebih tepatnya debat kusir—perihal kondisi negara. Iya, kondisi negara tercinta, Indonesia. Mulai dari korupsi, penyimpangan para pejabat, hingga kebijakan yang bikin geleng-geleng kepala.

Debat-debat internal teman sekelas membuat saya makin melek terhadap kondisi negeri—sampai sekarang—yang pada saat SMA dulu saya anggap angin lalu. idealisme saya pun mulai terkikis, mulai menaruh perhatian kepada kondisi politik negara—yang dalam satu sisi malah bikin runyam pikiran sendiri.

Beruntung, debat-debat itu hanya bertahan dua tahun. Penyebabnya adalah pandemi covid-19 yang menyebabkan mahasiswa kuliah secara daring.

Dua tahun kuliah daring, dua tahun pula saya merenungi ternyata perjalanan perkuliahan sudah tiba di penghujung cerita.

Februari 2022, perkuliahan sudah mencapai semester 8. Waktunya untuk cepat-cepat angkat kaki atau jadi donatur kampus. Dalam pikiran, hanya dua pilihan itu yang dapat diambil. Cepat-cepat angkat kaki dengan segera menyelesaikan skripsi atau leha-leha sambil menikmati hidup sebagai mahasiswa introvert—yang sebenarnya tak ada nikmatnya jua.

Di balik keinginan untuk segera lulus dari kampus, ada idealisme yang kembali menyerang. Di masa itu, saya harus cermat memilih objek apa yang akan menjadi pilihan saya. Setidaknya ada dua pilihan yang dapat saya golongkan menjadi; objek yang mudah namun membosankan atau objek yang sulit namun mengasyikkan.

Pilihan pertama, adalah mengambil objek penelitian yang tak mengharuskan saya untuk terjun ke lapangan. Singkatnya, saya hanya perlu menghabiskan waktu berjam-jam di tempat duduk, di depan laptop, membedah buku—sambil sesekali mencari referensi ke perpustakaan. Pilihan kedua, mengambil objek yang memerlukan pengamatan langsung ke lapangan dalam waktu yang tak dapat ditentukan—dan dapat berimbas kepada penyelesaian kuliah. Pilihan kedua memiliki risiko yang tinggi.

Ya, semacam pertaruhan antara rasional atau idealis, lah.

Setelah perenungan yang tak begitu lama, pilihan terlabuh kepada pilihan kedua. Pilihan yang menuntut konsistensi dari risiko yang mesti diambil. Pikir saya, tak apa, semua pasti berjalan sesuai dengan koridor hukum-Nya.

Dua bulan pencarian namun tak menghasilkan apa-apa. Rasa was-was, cemas, dan bingung mulai menguasai jiwa. Anehnya, di balik itu semua, saya masih sempat untuk menikmati tayangan Money Heist sampai season 2! Ini memang seperti kondisi sakit flu tapi masih sering makan es krim.

Bulan ketiga, secercah harapan itu muncul. Katanya, “pucuk dicinta ulam pun tiba”. Objek yang saya butuhkan perlahan hadir. Mulailah penggarapan skripsi kaya orang-orang. Di waktu ini pun, saya belum memprioritaskan skripsi sebagai hal yang mesti dikerjakan tiap hari. Angin-anginan. Satu hari fokus, dua hari leha-leha. Manusiawilah sebagai dinamika mahasiswa tingkat akhir—yang tak ambisius dan rajin.

Periode Juni 2022, saya masih santai dalam urusan skripsi. Kala itu, pikiran yang ada di kepala adalah, “Santai aja ngerjainnya. Jangan terlalu dipaksa. Nanti sakit, makin repot”. Pemikiran itu bikin saya santai kumpul dengan teman, melakukan hal yang sebenarnya enggak perlu, hadir di sidang teman tanpa beban.

Sampai di bulan Juli 2022, inner peace saya mulai bersuara. Ia berkirim kode dengan pengingat bahwa periode sidang di tahun ajaran ini tenggatnya di bulan 30 Agustus.

Menyadari itu, saya berubah jadi orang yang enggak mementingkan kesehatan, mengurangi acara kumpul dengan teman yang kiranya bikin agak terhambat, dan jadi sedikit sensitif. Inner peace saya bilang, “ya siapa suruh leha-leha”.

Selepas Idulfitri 2022, saya tancap gas mengurus skripsi. Waku tidur dikurangi, kegiatan di luar dibatasi, dan kegelisahan mulai mengurung diri.

Perjuangan itu tidak sia-sia. Jumat, 26 Agustus 2022, segala hal yang berbau skripsi selesai. Walaupun belum sidang, saya merasa sudah merdeka sekarang. Pembuatan skripsi—yang oleh teman-teman disinggung sebagai alkitab, tapi saya senang menyebutnya tandingan Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Keempat—yang terkesan tidak masuk akal dengan jangka waktu sekian akhirnya selesai juga. Merdeka untuk Indonesia, merdeka untuk diri sendiri. Setidaknya saya lebih merdeka sekarang. punya waktu beberapa hari untuk bersantai, adalah nikmat luar biasa sebelum menghadapi sidang skripsi. Tak masalah, saya tak rugi kalau harus merasa merdeka dua kali.

Sebenarnya, godaan dalam pengerjaan skripsi itu bukan main banyaknya. Mulai dari rasa malas, tuntutan lingkungan sekitar yang mengganggu, hingga masalah percintaan. Dalam konteks ini bukan masalah yang dihadapi dua orang dalam sebuah hubungan, ya. Saya masih sendiri. Masalah percntaan di sini adalah lebih condong kepada kebutuhan seseorang untuk mendengar keluh kesah saya—apalagi perihal beban dalam pengerjaan skripsi. Rasanya akan asyik kalau seharian mengurus skripsi, lalu punya satu waktu untuk bercerita dengan pasangan. Namun itu hanya khayalan belaka.

 Di perkuliahan, saya enggak pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Itu bentuk komitmen setelah hubungan dengan pasangan di SMA kandas. Penyebabnya, ya, itu 100% salah saya sebagai seorang laki-laki pengecut. Enggak berani mengambil risiko antara memanjakan pasangan dan mengejar masa depan. Dari situ, saya berkomitmen untuk tak menjalin hubungan hingga waktu yang saya anggap tepat; ketika akan membina rumah tangga.

Namun, lagi-lagi sebagai manusia, impian tak selalu sejalan dengan harapan. Selalu ada inkonsistensi dalam setiap konsistensi. Beberapa kali saya terlena dan tergoda untuk menjalin hubungan dengan seseorang. Begitu dekat sehingga hanya tinggal menyatakan perasaan saya, tanpa peduli hasilnya nanti.

Namun, tiap kali akan menyatakannya, kata-kata dari mulut saya selalu mentah oleh lidah, kembali masuk ke dalam tenggorokan. Rasanya, tak sebanding dengan perjuangan empat tahun menyendiri. Selalu saja saya menimang-nimang baik-buruknya menjalani hubungan kembali—yang saya tak tahu apakah akan sampai pada jenjang yang serius atau tidak.

Akhirnya, konsistensi mengalahkan inkonsistensi; saya tak kunjung menjalin hubungan dengan seseorang selama kuliah. Dan itu bagus. Saya jadi bisa lebih fokus kepada mimpi yang baru seumur jagung, pertemanan yang selama ini terjalin, dan proses kreatif dalam menulis apa pun. Ya, minusnya hanya saya terkadang selalu merasa sedih dan sendiri. Tapi untungnya, selalu ada tweet Twitter untuk berlabuh; tempat di mana saya menuliskan apa pun, termasuk rasa cinta, kecewa, dan kode terhadap gebetan. Haha!

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!