Salahkah Bila Mudah Jatuh Cinta?
Jika mudah jatuh cinta adalah sebuah kesalahan,
maka aku adalah orang yang tak mengenal kebenaran~
Cinta adalah seni dalam hidup. Ia mampu
memberi warna dan tak membuat hidup jadi monoton. Cinta juga bisa jadi bom
waktu jika tak dikelola secara bijak.
Tumbuhnya cinta memang tak bisa
direka atau diterka. Ia tak bisa dipaksa tumbuh atau dibunuh. Cinta tumbuh
secara alamiah, tanpa bisa dicegah.
Rasa cinta berhak dimiliki oleh
setiap orang. Rasa cinta juga berhak ditujukan kepada setiap orang—tentu dengan
cara yang sejalan dengan tujuannya. Rasa cinta kepada orang tua, misalnya, bisa
ditunjukkan dengan cara bantu perekonomian keluarga, enggak banyak ngeluh
dengan kondisi keluarga, atau menghargai setiap momen bersama keluarga.
Rasa cinta kepada pasangan,
misalnya, bisa ditunjukkan lewat perhatian yang dicurahkan, bersedia jadi
tempat dengerin doi cerita, atau jadi support system yang paripurna buat
masa depannya kelak.
Sayangnya, rasa cinta ke pasangan
enggak bisa ditunjukkan dengan contoh-contoh di atas—malah seringnya cenderung
berlawanan. Perhatian yang terlalu berlebihan, egois, dan menghalangi kebebasan
adalah beberapa contoh manifestasi rasa cinta terhadap pasangan yang keliru.
Banget.
Tak jarang kondisi ini jadi alasan
sebuah hubungan tak bertahan lama (baca: putus). Pikirnya, “ya daripada
ngebatin, mending putus ygy.”
Tapi nyatanya putus enggak bikin
kamu berhenti ngebatin, lho.
Saat jomlo, perasaan ngebatin
karena hubungan yang toxic justru berubah jadi perasaan ngebatin karena
cemburu akan romantisme orang lain. Mulai iri dengan ke-uwu-an orang lain,
kesel lihat temen deket ke mana-mana sama pacar, ngerasa kesepian karena enggak
punya doi yang bisa nemenin ke mana-mana adalah salah tiga contohnya.
Di titik ini kamu mulai mencoba belajar
peka terhadap rasa cinta yang tumbuh kepada seseorang—kendati baru kenal dia
beberapa minggu. Kamu merasa bahwa itu adalah cinta, entitas yang dicari selama
ini, enggak peduli kamu baru kenal dia beberapa minggu—bahkan enggak peduli
tentang hubungan kamu sebelumnya yang baru pupus bulan lalu, misalnya. Kondisi ini
lazim disebut emophilia.
Emophilia adalah kondisi ketika seseorang mudah jatuh
cinta (emotional promiscuity). Kamu akan mudah merasa jatuh cinta
terhadap seseorang walaupun kamu belum mengenalnya secara menyeluruh lewat
PDKT. Mungkin saja kamu dan dia sudah mengalami PDKT dalam tempo yang
sesingkat-sesingkatnya. Di dalam hatimu berkecamuk pikiran, “kayanya dia
yang aku cari selama ini.” Sebuah ungkapan klise di masa PDKT.
Emophilia juga bikin kamu enggak peduli terhadap hubungan
kamu sebelumnya, yang penting satsetsatset. Orang yang mengalami emophilia biasanya
punya moto “GPRS”, Gas Pol Rem Sedikit.
Memang, rasa cinta itu enggak bisa
dikalkulasi secara logika. Orang yang mudah jatuh cinta bukan berarti orang
gampangan yang bisanya cuma mainin perasaan orang aja. Karena begitulah cinta,
enggak pernah masuk akal dan selalu mengejutkan.
Kalau kamu termasuk orang yang
mudah jatuh cinta, syukuri. Artinya, kamu adalah orang yang enggak mau larut dalam
kesedihan, gampang move on, dan penyayang—walaupun orang yang susah
jatuh cinta pun belum tentu bukan penyayang. Tapi, kalau kamu justru ingin
menghindari perasaan mudah jatuh cinta itu, kamu bisa praktekkan tiga hal ini.
1. Jujur terhadap Diri
Sendiri
Jujur terhadap diri sendiri enggak cuma
dibuktikan dengan berapa uang yang kamu bayar sehabis makan gorengan atau
perasaan kamu sebenarnya ketika bilang, “aku gapapa”. Jujur di sini lebih
condong pada kesadaran perasaan yang kamu miliki ke gebetan.
Kamu perlu jujur pada diri sendiri;
apakah perasaan buat dia itu cuma sesaat atau rasa yang autentik dan akan
bertahan lama?
Ya walaupun sebenarnya enggak
ada ukuran pasti kalau perasaan itu sesaat atau memang rasa yang tulus, sih…
Tapi, kamu bisa memvalidasi
perasaan itu dengan menambah perspektif tentang alasan memulai sebuah hubungan.
Jujurlah terhadap diri sendiri
tentang alasan memulai sebuah hubungan; senang-senang atau serius?
Kalau kamu mau memulai sebuah
hubungan supaya kamu enggak merasa sendiri, karena dia ganteng atau cantik,
biar ada temen main ke sana-sini, mungkin kamu cuma mau senang-senang saja sama
pasanganmu. Dan itu sama sekali enggak salah. Mungkin kamu lebih nyaman
menganggap sebuah hubungan adalah “pelarian” dari kehidupan dunia yang serius
dan kaku.
Di satu sisi, kalau kamu mau
memulai sebuah hubungan karena dia bisa bikin kamu nyaman dan bisa jadi
pendengar yang baik, mungkin kamu mau hubungan yang serius. Makin bertambah umur,
makin bergeser orientasi dalam menjalin hubungan. Ada orang yang mau meluangkan
waktunya buat dengerin cerita kita aja, bikin nyamannya enggak ketulungan!
Mau senang-senang atau serius dalam
menjalin hubungan, kuncinya tetap satu; jujur pada diri sendiri.
2. Perbanyak Waktu dengan
Teman atau Keluarga
Ketika putus, orang yang kamu cari
biasanya adalah teman, sahabat—atau bahkan kedua orang tua. Rasanya, enggak ada
tempat yang paling nyaman buat cerita selain mereka.
Kesediaan mereka buat denger cerita
kamu jadi bukti kalau mereka adalah orang yang selalu setia menantimu “pulang”.
Asik.
Dengan teman, kamu bisa
memperbanyak waktu dengan hangout, saling curhat, atau jajan seblak. Apa
pun yang bisa mendekatkan kembali hubungan yang mungkin renggang karena dulu
kamu sibuk pacaran, lakukan. Teman, sahabat, keluarga, adalah orang yang paling
sabar ngadepin kamu dengan segala kebucinannya.
Dengan orang tua, kamu bisa lebih
banyak kumpul keluarga, misalnya jalan-jalan—hal yang jarang kamu lakukan
karena dulu sibuk pacaran. Kamu pun harus sadar kalau cinta keluarga itu besar,
enggak bisa dikalahkan oleh perasaanmu ke pacar yang tak seberapa.
Memperbanyak waktu dengan teman,
sahabat, atau keluarga, bikin kamu enggak akan terlalu sibuk mikirin cinta buat
seseorang. Kamu jadi bisa lebih menghargai dan menikmati waktu bareng mereka.
3. Keuntungan dalam Sebuah
Hubungan
Menjalin sebuah hubungan memang
harus saling menguntungkan kedua pihak. Wujud dari “keuntungan” itu yang
beda-beda. Kalau kamu merasa diantar-jemput tiap hari, diingetin makan setiap
saat, dan dipanggil “sayang” terus-menerus sebagai sebuah keuntungan,
ya, sah-sah saja.
Bagi saya, hubungan bukan semata
hadirnya seseorang yang bisa menemani. Lebih jauh dari itu, seseorang yang bisa
bikin saya produktif—atau bahkan lebih produktif dari biasanya.
Sebelum memulai sebuah hubungan,
saya selalu menyiapkan pertanyaan, “apa keuntungan yang bisa diambil ketika
menjalin hubungan?” Jikalau tak ada keuntungan—atau lebih tepatnya enggak ada
perbedaan ketika seseorang menjadi sahabat atau pacar—saya mengubur dalam-dalam
keinginan untuk menjalin sebuah hubungan.
Terdengar picky tetapi
itulah jalan yang saya pilih. Saya enggak mau menyakiti seseorang dalam sebuah
hubungan karena “salah pilih”. Jadi, daripada “salah pilih”, lebih baik tetap
jadi pemilih.
Akhirnya, menjadi seseorang yang
mudah jatuh cinta tidaklah salah. Semua orang punya acara masing-masing
menemukan bahagianya. Yang terpenting adalah memahami baik-buruk dari kebiasaan
tersebut. Jangan sampai mudah jatuh cinta membuat hidupmu dipenuhi rasa cinta
sesaat, rasa bosan, dan rasa penyesalan.
Kalau kamu termasuk orang yang mudah jatuh cinta atau justru susah jatuh cinta? Komentar di bawah, ya!
Comments
Post a Comment