Wirausaha, Kerja, S2: Dilema Sarjana Muda?
Sumber: Seruni.id |
“Engkau sarjana muda, resah tak dapat kerja. Tak berguna ijazahmu”~
Sebuah perbincangan menggelitik
muncul saat seorang ibu bertanya pada anaknya saat wisuda.
“Ini yang diwisuda berapa mahasiswa?”
“4000 lebih.”
“Sarjananya banyak tapi lapangan kerjanya gak
ada.”
Siip.
Kala itu, Universitas Pendidikan
Indonesia menggelar acara wisuda gelombang III, 25-27 Oktober 2022. Jumlah
wisudawan saat itu memang 4000-an mahasiswa; terdiri dari jenjang D3, S1, S2,
dan S3. Wisudawan S1 memang mendominasi jumlah wisudawan dengan jumlah sekitar
4000-an. Angka yang banyak untuk ukuran manusia.
Macet, sorak-sorai adik tingkat—atau
kakak tingkat yang belum lulus—dan tukang bunga jadi pemandangan kampus selama
beberapa hari. Juga tentunya kemacetan lalu lintas di Jalan Setiabudhi sampai Terminal
Ledeng.
Maklum, selama ini, kan, wisuda cuma
online. Agak kurang asyik.
Hari itu jadi hari yang melegakan
buat sebagian orang—dan jadi hari yang menakutkan bagi sebagian orang lagi.
melegakan karena perjuangan 4 tahun belajar di kampus—dengan segala intrik dan
drama—akhirnya selesai juga; apalagi untuk kaum dugdag (baca: pulang-pergi)
yang bikin tua di jalan. Menakutkan, karena hari itu jadi hari di sahnya jadi
pengangguran.
Pengangguran yang minim
pemasukan. Mau minta uang malu, enggak minta tapi perlu. Hufftt.
Beruntungnya bagi orang-orang yang
selama kuliah punya kerjaan sampingan—atau bahkan sambil kerja. Enggak perlu
pusing mikirin cari kerja di mana. Sahnya jadi sarjana bikin mereka dipandang
lebih berwibawa dan punya wawasan yang luas. Tapi, buat orang-orang yang selama
kuliah cuma menjalani perkuliahan sewajarnya saja, gimana? Ya, nganggur…
Tapi, nganggurnya seorang sarjana
itu enggak hina. Itu wajar. Katanya, belum sah jadi seorang sarjana kalau belum
ngerasain yang namanya nganggur. Minimal nganggur 3 bulan, barulah sah disebut
sebagai “Sarjana”.
Serius atau tidak, intinya adalah
enggak usah ngerasa tertekan atau minder karena jadi seorang pengangguran. Tiap
orang punya jalan hidup masing-masing dan enggak bisa disamakan dengan orang
lain.
Maka dari itu, menurut hemat saya,
setidaknya ada tiga alternatif yang bisa dipilih seorang sarjana muda—yang nganggur—untuk
melanjutkan hidup.
1. Wirausaha
Menjadi wirausaha adalah impian
orang-orang yang ngerasa punya bakat, passion, atau antusiasi yang
tinggi di dunia perniagaan. Menjadi wirausaha juga cocok buat orang yang enggak
suka diatur. Jadi seorang wirausahawan bikin kamu enggak akan pusing
diceramahin bos atau dikerja deadline kerjaan. Kenapa begitu? Ya, karena
kamus bosnya, kan… Paling-paling kalau mau memaki atau ngejar deadline,
ya ujung-ujungnya balik ke diri kamu sendiri.
Wirausaha adalah prospek kerja yang
meyakinkan. Kamu bisa bisnis apa pun, mulai dari toko kelontong, jadi reseller
produk tertentu, atau bahkan bikin produk yang punya daya jual tinggi.
Wirausaha hanya cocok buat
orang-orang yang enggak kenal lelah, kreatif, dan inovatif. Seorang wirausahawan
harus terus mau belajar buat mempertajam skill jualannya. Ia juga
dituntut untuk enggak gampang nyerah saat kondisi jualannya enggak laku-laku. Intinya,
ya, harus siap rugi.
Wirausahawan juga perlu punya
kreatifitas tinggi. Kreatif melihat peluang produk dan kreatif mengembangkan
produknya. Soalnya, tren produk, khususnya produk makanan, di Indonesia ini
cepet banget berubahnya. Tapi siklusnya tetep sama; pedes dan murah.
2. Kerja
Kalau enggak punya jiwa wirausaha,
ya pilihan paling aman kerja. Di mana pun itu, yang penting halal. Masalahnya,
enggak semua lapangan pekerjaan yang tersedia itu sesuai, relevan, atau ada
hubungannya dengan program studi yang diambil di kampus dulu. Kalaupun ada,
jumlahnya sedikit. 1:1000 mungkin?
“Tapi, kan, kerja enggak harus sesuai jurusan?”
“Kalau mau yang sesuai jurusan terus enggak
akan dapet-dapet.”
Saya paham.
Sebagai manusia, memang sudah
seharusnya untuk mau belajar hal baru—sekalipun itu sangatlah asing. Tapi,
sebagai warga negara, kita juga berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak—layak
menurut kemampuan jasmani dan rohani.
Kita layak dapat kerjaan yang
sesuai dengan passion kita sebagai lulusan jurusan A, misalnya. Kenapa begitu?
Karena dengan adanya relevansi dari apa yang didapatkan saat kuliah dengan apa
yang dihadapi di dunia kerja bikin kita mampu meng-handle-nya dengan
teori dan praktik yang sudah dibekali sebelumnya.
Jadi, buat kamu yang pengen cari
kerja sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kognitif kamu, sabar. Nanti juga
ada jalannya, kok.
3. S2
Terakhir, melanjutkan petualangan
menimba ilmu dengan sekolah lagi juga adalah opsi yang memungkinkan—walaupun ngebayangin
uang kuliahnya aja udah ngeri. Seperti sebuah kredo, “tuntutlah ilmu sampai
ke negeri Cina”. Karena pada dasarnya, menuntut ilmu itu adalah kewajiban
bagi setiap orang selagi masih hidup di dunia.
Melanjutkan studi S2 bikin kamu
punya kesempatan yang lebih besar untuk masuk ke dunia kerja. Misalnya jadi peneliti,
dosen, PNS, konsultan, dan lain-lain.
Melanjutkan studi S2 cocok buat
orang yang tertarik mengembangkan apa yang selama ini dipelajari di S1.
Ibaratnya masih banyak pertanyaan dan keraguan atas apa yang selama ini
dipelajari di jenjang S1. Rasa penasaran lewat pertanyaan dan keraguan itu bisa
terjawab—atau khususnya kamu cari tahu sendiri jawabannya—lewat studi S2.
Studi S2 juga cocok buat
orang-orang yang pengen jadi guru high level (baca: dosen). Dengan mendapat
gelar magister, peluang untuk menjadi dosen dan mengajar di perguruan tinggi
negeri atau swasta di Indonesia—bahkan di luar negeri terbuka lebar.
Masalah biaya, tentu studi S2 lebih mahal dibanding S1. Biaya kuliahnya bisa beberapa kali lipat dari studi S1 reguler. Tapi, biaya enggak bisa dijadikan penghambat buat mencapai kesuksesan. Banyak lembaga-lembaga pemberi beasiswa untuk studi S2, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sebut saja LPDP yang punya program Beasiswa Reguler, Beasiswa PTUD, dan Beasiswa Co-founding. Selain LPDP, beasiswa studi S2 juga biasanya diberikan oleh universitas tujuan studi. Jadi, biaya bukan lagi sebuah hambatan.
Akhirnya, 3 pilihan di atas hanyalah segelintir pilihan dari banyaknya kemungkinan jalan hidup yang bisa dipilih—khususnya buat sarjana muda. Semua pilihan tentu ada plus-minusnya. Pilihan-pilihan di atas juga terdengar dilematis, mungkin. Tapi, ya, mau tak mau harus dihadapi demi menyambung hidup. Hal yang terpenting adalah berusaha untuk enggak membandingkan kesuksesan orang lain dengan pencapaian diri pribadi. Fokus untuk mengejar masa depan yang cerah demi masa tua yang indah lebih arif ketimbang membanding-bandingkan diri dengan seseorang yang tidak akan pernah mengerti.
saya berencana melanjutkan studi master. semoga dilancarkan
ReplyDeleteSemoga dilancarkan, ya!
ReplyDelete