Cerita Kebencian yang Menjelma Jalan Hidup Sesaat (?)
Bagian 1
Sudah lama sekali rasanya
jari-jemari tak menyentuh tuts keyboard laptop berumur ini. Sesekali ada
rasa kangen juga berbagi cerita dengan teman online—yang mayoritas tak
kukenal. Berangkat dari rasa kangen dan niat untuk memperbaiki diri setiap hari
(baca: lebih positif), tergeraklah hati untuk mencipta tulisan ini.
Tulisan ini sebenarnya diciptakan
bukan untuk menambah pengetahuan atau sok ngerti tentang suatu isu—seperti
kebanyakan tulisan yang kubuat, hehe—tetapi hanya sebuah cerita yang ingin
kubagikan tentang penerimaan sesuatu yang awalnya dibenci, lambat laun justru
menjadi jalan hidup. Entah jalan hidup sesaat atau selamanya, biar waktu yang
menjawab.
Intinya, tulisan ini adalah cerita
bagaimana aku menerima hal-hal yang dulu tak disenangi—atau malah dibenci—menjadi
hal-hal yang kujalani dan kuhidupi, semata-mata demi mengais rezeki. Cieilaahh~
Oke kita masuk ke ceritanya, ya!
Cerita ini dimulai beberapa hari
setelah wisuda. Hari pertama setelah wisuda, artinya hari pertama juga lepas
dari urusan per-kampus-an duniawi. Bye-bye tugas artikel jurnal, bye-bye
bolak-balik kampus buat bimbingan, bye-bye kampus yang mengajarkanku
apa artinya kesabaran dan keikhlasan. Sabar dan ikhlas menghadapi kenyataan
bahwa perihal uang, semua orang agamanya sama, begitu kata Voltaire. Artinya,
mau orang berpendidikan ataupun tidak, kana duit mah hejo!
Hari-hari yang kujalani setelah
wisuda terasa mantap, paten, dan kokoh. Tiap hari kerjaan cuma
olahraga-nonton-makan-tidur. Begitu terus sampai berjalan beberapa bulan. Ternyata,
jadi pengangguran asyik juga, kira-kira begitu pikirku.
Lagipula, bukannya tak mau cari
kerja. Saat itu, aku masih punya mimpi—sampai sekarang pun sebetulnya masih ada—melanjutkan
studi. Rasanya, pengalaman selama S1 berhasil mencipta lingkaran setan yang
positif bagi diri ini. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang
dipelajari selama menempuh pendidikan strata satu—khususnya ketika ada di fase
per-skripsweet-an. Pengalaman meneliti, menemui dan melihat kehidupan
berbagai jenis masyarakat, hingga anxiety dikejar deadline itu
bikin nagih. Penelitian bagiku jadi semacam narkoba, yang kalau tak dipenuhi
malah jadi sakau.
Kira-kira itulah penggerak utama
kenapa aku masih punya hasrat melanjutkan pendidikan. Jadi orientasi ketika
lulus kuliah bukanlah mencari kerja, tetapi bersiap untuk melanjutkan studi.
Di momen Oktober-Desember 2022,
universitas yang kutargetkan sebetulnya sedang membuka penerimaan mahasiswa
baru untuk jenjang S2. Satu kampus ada di Dipatiukur dan Jatinangor, kampus
lainnya ada di Depok. Dua-duanya jadi kampus impian. Namun sebagaimana hidup
yang merupakan sebuah pilihan, kedua kampus itu pun harus dipilih.
Mula-mula kampus yang ada di Depok
itu jadi target pertama. Setelah registrasi pembuatan akun dan lainnya selesai,
keluarlah timeline pembukaan penerimaan mahasiswa baru untuk jenjang S2.
Jarak waktu antara wisuda dan penutupan pendaftaran di kampus itu hanya dua
hari. Ya, mau bagaimana lagi, ya, memang kesalahan sendiri. Salah sendiri jadi
orang yang punya mimpi tinggi tapi enggak punya persiapan.
Alhasil, impian masuk kampus itu
untuk tahun 2022 kubuang. Pikirku, taka pa, masih ada tahun depan. Toh mau
daftar tahun ini atau tahun depan pun, mulai kuliahnya kan pasti di bulan
September 2023. Jadi sekarang, nikmati dulu aja waktu menjadi pengangguran
sampai akhir tahun, begitu hibur diri ini.
Setelah proses merelakan yang
enggak butuh waktu lama, aku kembali menjalani rutinitas menjadi pengangguran
di era teman-teman semua sudah punya kerja. Lagi-lagi selalu ada cara untuk
menghibur diri—atau lebih tepatnya menormalisasi apa yang tidak normal,
mungkin.
“Enggak apa-apa. semua orang punya
cara masing-masing buat sukses. Enggak usah iri. Terus berdoa dan berjuang aja!”
Kira-kira begitu kredo yang ada
dalam hati.
Hari demi hari berlalu dengan
menikmati peran jadi pengangguran. Satu hari, aku iseng buka website kampus
negeri di Jatinangor. Ternyata mereka masih buka pendaftaran penerimaan
mahasiswa baru untuk S2 sampai tanggal 2 Desember kalau tak salah. Wah, kupikir
ini jadi berharga juga. Tak apalah tak masuk kampus yang ada di Depok, itu mah
bisa buat nanti S3—kalau ada rezeki, umur, dan kesempatan.
Setelah selesai membaca-baca
persyaratan yang diperlukan, kumulai untuk mempersiapkan diri. Dari mulai
persiapan TOEFL, ngerjain soal TPS, dan konsultasi program studi ke dosen semasa
S1 lalu.
Tapi ternyata memang manusia hanya
bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. Rentang waktu mulai
pendaftaran sampai penutupan itu selalu ada saja sesuatu yang terjadi—dan menyibukkan—sampai-sampai
lupa untuk mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan.
Kalau tak salah, di periode
November akhir-Desember 2022 itu, Cianjur sedang dilanda gempa yang cukup parah
dampaknya bagi masyarakat sana. Sebagai makhluk sosial dan warga yang baik, aku
dan warga sekitar kampung mengadakan donasi untuk membantu warga Cianjur yang
terkena dampak gempa. Donasi yang kami kumpulkan meliputi uang dan pakaian
layak pakai.
Mengingat warga Cianjur yang
terdampak gempa pasti sangat memerlukan sembako, kami tukar uang hasil donasi
dengan sembako yang sekiranya terdiri dari makanan, beras, obat, dan lain-lain.
Tepat tanggal 28 November 2022, kami berangkat menuju lokasi pengungsian korban
gempa di Cianjur.
Kegiatan kemanusiaan ini yang
menyebabkan aku tak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan tetek-bengek
persyaratan lanjut S2. Tapi tak apa. Tak ada penyesalan yang terasa karena
gagal mendaftar S2 karena melakukan kegiatan donasi bagi warga Cianjur yang
terdampak gempa. Yang ada malah perasaan senang. Senang bisa membantu saudara yang
sedang mengalami kesulitan. Tak ada yang tahu juga siapa target selanjutnya
dari sebuah musibah. Bisa saja aku, kamu, atau mereka. Jadi, ya, selama bisa,
kenapa tidak untuk membantu sesama?
Akhirnya, memasuki awal Desember,
posisiku adalah seorang pengangguran. Pengangguran dari perguruan tinggi negeri
di Bandung. Enggak ada masalah dengan gelar “pengangguran” yang kusandang
selama beberapa bulan itu.
Diri ini pun tak tersinggung bila
dicibir begitu. Toh memang kenyataannya begitu, ‘kan?
Lagipula, belum “sah” seseorang disebut pernah jadi mahasiswa jikalau setelah lulus ia belum pernah menganggur selama tiga bulan. Sudah dua bulan aku menganggur. Apakah bulan ketiga—yaitu Desember—aku akan tetap menganggur?
Tunggu cerita selanjutnya, yaa!
Comments
Post a Comment