Seberapa Puas Kita dengan Pencapaian Saat Ini?

 


Sudah umum didengar rasanya jika manusia adalah makhluk yang tak pernah puas akan sesuatu yang didapat. Manusia selalu haus akan pencapaian yang diraih saat ini dan mencoba peruntungan dengan menetapkan target tinggi yang mesti dicapai. Oleh karena itu, manusia selalu bekerja keras demi mencapai target yang diinginkan—sekaligus sebagai pemuas nafsu, intinya.

Memang tak ada yang salah dengan perangai manusia yang tak mudah puas. Itu menjadikannya lebih dinamis dan lebih semangat menjalani hidup. Ketidakpuasan manusia terhadap pencapaian yang sudah diraih selama ini agaknya menjangkiti semua jenis manusia, tak terkecuali laki-laki atau perempuan.

Baik laki-laki maupun perempuan sudah pasti punya target pencapaian yang mesti diraih selama hidup di dunia. Misalnya, seorang perempuan yang bekerja di perusahaan swasta. Ia sudah bekerja selama lima tahun dan berposisi sebagai karyawan biasa. Ia memiliki target selama sepuluh tahun ke depan, ia bisa menjadi bos di perusahaan swasta tersebut. Walau terlihat tak mungkin, tetap saja itu ada sebuah target yang sah-sah saja dimiliki oleh setiap karyawan.

Kembali kepada paragraf di atas, apakah target pencapaian yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan itu sama? Jawabannya; sudah pasti berbeda.

Bagaimanapun—bukannya saya mendukung dan melanggengkan budaya patriarki—tanggung jawab laki-laki dan perempuan itu sangatlah jauh berbeda. Stigma laki-laki sebagai calon kepala keluarga yang wajib menghidupi kehidupan rumah tangganya kelak menuntut laki-laki untuk menerapkan standar tinggi tentang pencapaian hidup. Sementara perempuan selalu ditempatkan pada kaum inferior yang kewajiban utamanya adalah mengurus rumah tangga—walaupun cukup banyak kaum perempuan yang ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga atau sekadar hobi. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa saya tidak mendukung dan melanggengkan budaya patriarki di tulisan ini. Titik. Oke lanjut.

Karena tuntutan tersebut, sebagai laki-laki—termasuk saya—merasa wajib untuk menerapkan standar tinggi terkait pencapaian hidup nanti, baik sebelum menikah atau pun sesudah menikah. Salah satu standar tinggi tentang pencapaian hidup itu adalah perihal pekerjaan dan gaji.

Sebagai seorang anak laki-laki yang sudah bekerja, saya selalu merasa pekerjaan yang selama ini dijalani tidak sebanding dengan gaji yang diterima. Tapi, ini bukanlah perihal pekerjaan yang berat dan gaji yang kecil, tetapi lebih kepada banyaknya pengeluaran yang mesti dikeluarkan dan disesuaikan dengan gaji yang diterima.

Sebagai gambaran, saya bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar yang terkenal di Kota Bandung—dibilang terkenal karena saingannya adalah tempat bimbel yang memang sudah terkenal dan teruji kualitasnya. Sudah lima bulan lebih saya mengajar, bolak-balik Bandung Barat-Kota Bandung yang jaraknya cukup jauh.

Lima-enam hari dalam seminggu saya mesti mengajar di beberapa unit bimbel yang tersebar di Kota Bandung, di antaranya Cimareme, Cimahi, Pajajaran, dan Buahbatu. Selama itu juga, setiap masuk kerja, saya mengandalkan motor sebagai sarana transportasi yang efektif dan efisien.

Nah, saya tadi bilang bahwa gaji yang diterima dari pekerjaan saat ini tidak sebanding karena banyaknya pengeluaran yang mesti dikeluarkan, kan? Mari kita coba bedah di sini.

Gaji sebagai seorang pengajar di tempat saya saat ini sebenarnya hampir tak ada jumlah pasti tiap bulan. Kadang berkisar ratusan ribu, kadang satu juta sekian, dan kadang hampir mendekati dua jutaan. Supaya adil, kita ambil nominal tengahnya saja, yakni Rp1.200.000,00.

Dengan gaji sebesar Rp1.200.000, setiap minggu, uang yang perlu dikeluarkan untuk biaya bensin sekitar Rp100.000,00. Jadi, setiap bulan uang yang mesti disalurkan untuk kebutuhan bensin adalah Rp400.000. Praktis, saya mendapat Rp800.000 per bulan. Belum lagi jikalau ada masalah dengan motor yang saya pakai sehari-hari, gaji tersebut bisa menguap tak tersisa.

Perlu ditegaskan di sini bahwa saya sama sekali bukan mengeluh, tidak bersyukur, atau pamer. Saya cuma menunjukkan, sebagai lelaki, dengan pekerjaan yang selama ini dijalani dan gaji yang diterima, apakah mesti puas atau justru tak puas?

Hemat saya, lebih baik kita, kaum laki-laki yang ada di posisi seperti saya, jangan cepat puas dengan apa yang didapat saat ini. Ini bukan tentang tidak bersyukur, tetapi lebih kepada keinginan punya pekerjaan yang ideal demi membangun masa depan.

Cita-cita saya sebenarnya sederhana sebelum menikah: punya rumah dan kendaraan sendiri. Kenapa? Saya tidak mau keluarga saya nantinya harus pusing mikir caranya bayar kontrakkan. Saya juga tidak mau anak-anak saya nanti harus berdempetan di motor ketika mudik. Jangan sampai keturunan saya nanti, merasakan apa yang saya alami dahulu.

Jadi, seberapa puas Anda dengan pencapaian saat ini? 

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!