Merdeka Belajar Kampus Merdeka; Menjadi Sarjana Kompeten atau Serampangan?

 

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 

Tak hanya Indonesia yang merdeka, kampus juga bisa merdeka, katanya.

Bulan Agustus menjadi bulan yang sakral dalam sejarah Indonesia. Di bulan ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia mengukuhkan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka melalui proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno. Sekitar 74 tahun kemudian, salah satu pilar kehidupan bangsa ini yang disebut pendidikan, menyatakan kemerdekaannya yang paling merdeka; Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) adalah program yang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan. Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa mengasah minat dan bakat dengan cara terjun langsung ke dunia kerja. Manfaat yang didapat oleh mahasiswa di antaranya: (1) kegiatan dapat dikonversi ke SKS; (2) memperluas jaringan hingga ke luar program studi dan universitas; dan (3) dapat mengeksplor pengetahuan dan kemampuan di lapangan selama lebih dari satu semester.

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) ini setidaknya memiliki enam program unggulan, di antaranya: (1) kampus mengajar; (2) Magang Bersertifikat Kampus Merdeka; (3) Studi Independen; (4) Pertukaran Mahasiswa Merdeka; (5) Wirausaha Merdeka; dan (6) IISMA. Penjelasan terkait rincian program-program tersebut sejatinya tersedia di website kampusmerdeka.kemendikbud.go.id

Sekilas, program tersebut menjadi angin segar bagi mahasiswa yang sudah bosan mendengarkan ceramah dari dosen di sebuah perkuliahan. Atau juga, menjadi angin segar bagi mahasiswa yang malas mengerjakan tugas perkuliahan dari dosen yang seakan tak pernah saling berkomunikasi; memberikan tugas-tugas dengan deadline yang bersamaan. Saya paham. Saya juga pernah merasakannya, kok.

Perasaan-perasaan itu sejalan seperti yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D. bahwa mahasiswa kita sudah tidak bisa hanya mengacu pada buku tentang cara belajar selama ini. Maka, menurutnya, mahasiswa perlu menyiapkan diri menjadi SDM unggul yang menguasai berbagai bidang keilmuan, siap berkolaborasi lintas disiplin ilmu, dan menjadi orang yang menyelesaikan berbagai masalah yang kompleks.

Hal senada juga pernah disampaikan Menteri Pendididkan dan Kebudayaan Indonnesia, Nadiem Anwar Makarim, bahwa Merdeka Belajar Kampus Merdeka adalah hak mahasiswa untuk merdeka karena katanya, satu pekerjaan tidak bisa diselesaikan satu disiplin ilmu saja. Ditambah lagi iming-iming—berdasarkan Kepmen No. 75P Tahun 2021—konversi program Merdeka Belajar Kampus Merdeka menjadi 20 SKS perkuliahan, biaya hidup, dan beasiswa dari LPDP menjadi tawaran yang menggiurkan bagi mahasiswa.

Dalam konteks Merdeka Belajar Kampus Merdeka di perguruan tinggi, apakah pilihan program-program tersebut akan menciptakan sarjana yang kompeten di bidang keilmuannya atau justru malah menciptakan sarjana yang “serampangan” dari segi keilmuan dan keahlian?

Berdasarkan paparan di atas, setidaknya ada dua hal yang mesti diresapi.

Pertama, kompetensi SDM. Mendikbud pernah mengatakan—lebih tepatnya di atas dikatakan—bahwa satu pekerjaan tidak bisa dikerjakan oleh satu disiplin ilmu. Benarkah demikian? Kita ambil contohnya, misalnya, pekerjaan preservasi naskah kuno. Preservasi naskah kuno singkatnya adalah pemeliharaan naskah yang meliputi pembersihan, perawatan, dan perbaikan—apabila ditemukan bagian-bagian yang sudah hilang atau lepas akibat pelapukan. Preservasi naskah kuno ini tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Diperlukan pengetahuan dan keahlian yang mumpuni, misalnya tentang bahan naskah, usia naskah, isi naskah, dan lain-lain, yang hanya akan dimiliki oleh seorang filolog.

Lalu, apabila pekerjaan ini diserahkan kepada seseorang yang bukan filolog, misalnya seorang insinyur, apakah akan berhasil? Walaupun tidak ada jaminan kegagalan, tetapi persentase pekerjaan berhasil akan lebih condong jika dikerjakan oleh ahlinya, filolog.

Dari contoh di atas, apakah memang benar bahwa satu pekerjaan tidak bisa dikerjakan oleh satu disiplin ilmu? Jawabannya; tidak. Untuk pekerjaan lain yang lebih sederhana, mungkin iya, bisa dikerjakan oleh orang dari disiplin ilmu mana pun. Tapi pertanyaannya, apakah sebagian besar pekerjaan di dunia ini adalah pekerjaan yang sederhana?

Kedua, konversi SKS. Berdasarkan Kepmen No.75P Tahun 2021 di atas disebutkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka salah satu keuntungannya adalah dapat dikonversi senilai 20 SKS. Jadi, misalnya seorang mahasiswa mengikuti program Kampus Merdeka sampai selesai, ia bisa mengonversi kegiatan tersebut menjadi 20 SKS kuliah yang setara hampir seluruh mata kuliah dalam satu semester! Dengan kata lain, ia tidak harus mendengarkan ceramah dosen, mengerjakan makalah, atau melakukan presentasi di kelas selama satu semester. Nikmat sekali, bukan?

Sekilas hal itu memang tampak enak, membuat iri mahasiswa lain yang harus terjebak belajar di kelas selama satu semester. Tapi, bukankah konversi 20 SKS dari salah satu program MBKM itu bertabrakan dengan capaian pembelajaran sebuah program studi di kampus?

Contoh sederhana misalnya di program studi yang pernah saya tempuh; Bahasa dan Sastra Indonesia. Lulusan dari program studi ini, dengan gelar Sarjana Sastra (S.S.) diharapkan mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni terkait kebahasaan dan kesusastraan. Mata kuliah-mata kuliah yang dipelajari pun menjadi pondasi bagi keilmuan kebahasaan dan kesusastraan mahasiswa. Dalam bidang kebahasaan—atau yang disebut linguistik--kita mempelajari terkait fonologi (ilmu tentang alat ucap dan bunyi), morfologi (ilmu tentang pembentukan kata), sintaksis (ilmu tentang kalimat) sebagai linguistik mikro dan analisis wacana kritis, pragmatik, dan semiotika (ilmu tentang tanda) sebagai linguistik makro.

Sebaliknya, dalam bidang kesusastraan—atau yang disebut sastra—kita mempelajari sejarah sastra, teori pengkajian sastra, tradisi lisan, filologi, dan lain-lain. Bayangkan jika ada salah satu mata kuliah—atau justru hampir seluruh mata kuliah dalam satu semester—yang tidak dipelajari karena telah mengonversinya dengan 20 SKS imbas program Merdeka Belajar Kampus Merdeka tadi. Apakah kita akan lulus menjadi seorang sarjana yang kompeten dalam satu bidang keilmuan atau menjadi sarjana serampangan lintas bidang keilmuan?

Analogi yang sederhananya adalah seorang sarjana yang kompeten dalam satu bidang keilmuan ibarat sebuah sumur. Kecil dan dalam. Saking dalamnya, ia bisa menguak sesuatu yang luput dari pandangan manusia yang terbatas. Sementara itu, seorang sarjana yang serampangan dalam lintas bidang keilmuan ibarat sebuah kolam: luas dan dangkal. Meskipun terlihat luas, tetapi kita bisa melihat dasarnya yang dangkal dan masih terlihat oleh pandangan manusia.

Namun, seperti yang dikatakan Mendikbud, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka ini adalah hak setiap mahasiswa. Karena hanya hak, jadi boleh digunakan atau tidak sama sekali. Tak ada paksaan sama sekali. Tergantung ingin jadi apa nanti dengan gelar yang dimiliki.

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!