Bandung: Cinta, Coffee Shop, dan Wisata

 


Pidi Baiq benar; Bandung bukan cuma urusan wilayah belaka, lebih jauh melibatkan perasaan.

Setelah sekian minggu disibukkan oleh transisi menuju keseharian yang baru, akhirnya tibalah waktu untuk kembali menulis. Proses transisi itu yang agaknya sangat mendasari tulisan satu ini.

Jika diberi pilihan untuk tinggal dan mencari pengharapan, urutan teratas kota yang selalu ingin saya huni adalah Bandung. Kota dengan jumlah penduduk—pada tahun 2021—mencapai 2.527.845 jiwa ini rasanya punya tempat tersendiri di relung hati.

Seperti sebuah lirik lagu dari Pidi Baiq, “Dan Bandung bagiku bukan cuma urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi”. Bagi saya, Bandung juga bukan hanya perihal sebuah kota. Lebih dari itu, Bandung punya banyak andil dalam membentuk diri saya yang sekarang ini.

Saya pertama kali jatuh cinta kepada Bandung—berikut jatuh cinta kepada salah seorang warganya—ketika memasuki jenjang SMA. Dengan tekad yang kuat, saya putuskan untuk menimba ilmu di salah satu SMA di Kota Bandung, yang berjarak kurang lebih 31 km dari rumah. Bolak-balik ke sekolah setiap hari nyatanya tak membuat tubuh ini lelah. Karena selalu ada keindahan dari setiap sudut Kota Bandung, apalagi dibarengi dengan orang yang disayangi. Asyik.

Setiap hari dilewati dengan mengenal dan merasakan atmosfer kota. Relasi yang terbangun, romansa yang sudah menahun, dan lika-liku jalan yang terbangun menciptakan kepuasan tersendiri ketika kembali ke Bandung.

Apabila dilihat dari kacamata Gen Z, Bandung adalah tempat yang cocok untuk tinggal. Semua ada, suasana sejuk, orang-orang ramah, apa saja ada di Bandung, rasanya. Cocoknya Bandung jadi tempat tinggal buat Gen Z rasanya bisa dilihat dalam dua hal; coffee shop dan healing.

Siapa, sih, anak muda yang membenci nongkrong di coffee shop? Bagi orang-orang yang merasa bahwa ngobrol itu penting, nongkrong di coffee shop rasanya hal yang patut untuk dilakukan, terserah berapa pun intensitasnya dalam satu minggu, satu bulan, atau satu tahun. Nongkrong di coffee shop, apalagi di Bandung, bukan sekadar gaya-gayaan. Bagi saya, nongkrong di coffee shop dengan teman-teman sejawat adalah obat dan “rumah” tempat kita pulang dan bercerita.

Sejatinya coffee shop di Bandung itu menjamur. Ada banyak coffee shop baru bertebaran—dan coffee shop lama yang coba bertahan. Kehadiran coffee shop-coffee shop itu selain menjual makanan dan minuman, juga menjual suasana. Jualan suasana itu bisa dari interior, ambiance, ataupun pemandangan yang disuguhkan. Terkait dengan pemandangan yang disuguhkan, coffee shop di Bandung punya dua pilihan: lalu-lalang kota atau kilau lampu-lampu kota.

Jika tak mau lepas dari suasana lalu-lalang kota, banyak coffee shop yang bisa dikunjungi. Contohnya di Jalan Braga, Jalan Riau, Jalan Sultan Agung, dan masih banyak lagi. Jika ingin sesekali melepas penat dengan melihat kilau lampu kota di malam hari, daerah Dago Atas tak pernah gagal menyuguhkannya. Inilah salah satu bukti nyata mengapa Bandung cocok ditinggali Gen Z, menurut saya.

Selain permasalahan tempat nongkrong, satu hal lagi yang menurut saya menjadikan Bandung sebagai tempat yang cocok untuk ditinggali adalah kekayaan wisatanya. Bandung—dalam hal ini Bandung Raya—secara administratif terbagi menjadi empat bagian: Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung. Akses setiap wilayah administratifnya itu juga mudah dan dekat. Tak heran, masalah healing, warga Bandung tak perlu khawatir.

Mulai dari bagian Bandung paling barat, dalam hal ini Kabupaten Bandung Barat, punya beberapa tempat untuk melepas penat. Dari mulai tempat wisata yang sudah mainstream sampai hidden gem yang baru beken beberapa waktu ini. Tempat wisata yang umum macam Farmhouse Lembang dan Dusun Bambu sudah banyak dikenal orang. Tetapi, akhir-akhir ini banyak muncul tempat wisata yang tidak banyak orang tahu.

Salah satu rekomendasi tempat healing dari saya adalah Curug Putri dan Curug Tilu di kawasan Ciwangun Indah Camp, Parongpong, Bandung Barat. Letak tempatnya tidak jauh dari pusat Kota Bandung, sekitar 25 menit. Trek untuk berjalan kaki, ya, lumayan untuk sekadar olahraga santai. Lokasi dari pintu masuk ke Curug Putri dan Curug Tilu juga hanya 1 km.



        Beralih ke Bandung bagian utara, pilihan yang umum biasanya di Cikole atau Tangkuban Perahu. Menurut saya, dua tempat itu juga nyaman untuk dijadikan tempat healing. Jika mencari tempat di antara hutan pinus dan Bungan-bungaan, Cikole tempatnya. Tetapi jikalau cari suasana yang lebih dingin dan lebih estetik, ya, Tangkuban Perahu solusinya. Dua-duanya jelas worth it dikunjungi.



Melintas ke Bandung bagian timur, walaupun identik dengan kata “macet”, tetapi sejatinya Bandung Timur juga punya tempat untuk niis. Salah duanya adalah Batukuda atau Gunung Manglayang. Kedua daerah ini sebenarnya ada dalam satu wilayah. Kalau sekadar ingin duduk manis di tengah hutan pinus dan menikmati pemandangan Bandung Raya, Batukuda bisa dijadikan pilihan. Tetapi jika punya waktu lebih dan ingin mencoba hal baru—khususnya pendaki pemula—Gunung Manglayang bisa dijadikan solusinya. Dengan ketinggian 1818 mdpl, puncak Gunung Manglayang bisa ditempuh dalam waktu 3-4 jam. Namanya juga gunung, pemandangannya pasti juara.

Terakhir, di bagian Bandung Selatan, sesungguhnya “surga” dari segala destinasi wisata ada di sini. Bandung Selatan, daerah yang pasti terkenal adalah Ciwidey. Yap, hamparan kebun teh, suasana sejuk—cenderung dingin—dan bertebarannya tempat wisata menjadikan Ciwidey tak pernah sepi pengunjung, baik warga lokal Bandung Raya atau wisatawan luar kota. Destinasi wisata di Ciwidey cukup banyak, di antaranya Ranca Upas, Kawah Putih, Perkebunan Teh Rancabali, dan lainnya. tetapi, ada satu tempat yang sempat booming belakangan ini di daerah Bandung Selatan—atau lebih tepatnya perbatasan Bandung-Cianjur—yakni Curug Citambur.

Curug Citambur terletak di Karangjaya, Kecamatan Pasirkuda, Kabupaten Cianjur. Curug ini menyuguhkan pemandangan yang berbeda dengan kebanyakan curug. Curug ini punya tinggi sekitar 130 meter. Suasana di sekitar curug ini layaknya negeri dongeng. Walaupun terletak di Kabupaten Cianjur, curug ini bisa ditempuh warga Bandung melalui rute Ciwidey. Ya, perjalanan 3-4 jam terbayar dengan keindahan alam yang memesona di sini.

Cinta, coffee shop, dan wisata di Bandung menjadi daya tarik dan halangan bagi warganya untuk beranjak dari kota nan indah ini. Bagi saya, merantau dengan meninggalkan Bandung untuk beberapa saat terasa berat. Berat meninggalkan Bandung dengan segala cerita dan cinta yang masih dan akan selalu tumbuh, terhadap kota dan salah seorang warganya. Hihi.

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!