Museum Gedung Sate; Sejarah Gedung yang Kontroversial

 

Vibes bulan Desember bagi saya adalah; libur telah tiba 

Hampir tiga bulan rasanya diri ini terbelenggu oleh kegiatan dan tugas-tugas kuliah yang sangat menyita waktu. Belum lagi kondisi merantauwalaupun rasanya enggak 100% merantaubikin hari-hari terasa padat dan melelahkan. 

Sampai akhirnya hari itu tiba. Hari di mana beberapa mata kuliah telah selesai sehingga saya enggak punya kewajiban untuk hadir secara tatap muka atau pun kelas daring. Sebuah anugerah akhir tahun yang patut disyukuri. 

Untuk mengisi waktuliburan”, sebenarnya beberapa daftar tempat yang ingin dikunjungi sudah siap. Setelah beberapa kesempatan healing ke alam, rasanya mata dan pikiran perlu juga menikmati sesuatu yang baru dan berbeda di sekitar kota. Akhirnya, pilihan jatuh kepada Museum Gedung Sate. 

Sebenarnya karena kemakan FYP TikTok orang-orang yang ngonten juga, sih. 

Pagi hari, sekitar pukul 09.00, saya pacu sepeda motor menembus ramainya daerah Padalarang, Cimareme, Cimahi, hingga Bandung. Perjalanan ke Museum Gedung Sate hanya memakan waktu satu jam dari rumah.  

Sebelum memutuskan tujuan ke Museum Gedung Sate, tentu saya melakukan riset kecil-kecilan yang tidak ilmiah sama sekali; riset letak dan cara masuk ke Museum Gedung Sate. Sumber data yang saya pilih tentu konten TikTok orang-orang. Alasannya, ya, supaya saya enggak bingung sajawalau nyatanya tetap bingung juga. 

Letak Museum Gedung Sate sebenarnya berada di area Kantor Pemerintahan Jawa Barat. Bisa dibilang, ring 1-nya Jawa Barat, ya, di Gedung Sate. Bagi pengunjung yang ingin masuk ke Museum Gedung Sate, bisa masuk lewat pintu 6. Nah, saya di sini pun masih agak ragu; apakah motor atau mobil bisa langsung masuk dan parkir lewat pintu 6 atau ada beberapa kantung parkir lain? 

Pengalaman saya, bagi sepeda motor, diarahkan untuk parkir di pintu 4 atau lebih tepatnya parkir motor Gedung Sate di depan Bank BJB KCP Gedung Sate. Di sana tersedia parkiran motor untuk karyawan dan pengunjung Gedung Sate. 

Setelah memarkirkan motor di sana, saya bergegas menuju ke Museum Gedung Sate diiringi slogan; malu bertanya sesat di jalan. Setelah tanya petugas keamanan sana-sini, saya diarahkan untuk menyusuri Jalan Cilamaya-Jalan Cimandiri. Udara pagi Kota Bandung beserta kepulan asap Sate Jando sekitar Cimandiri saya nikmati sebagai asupan oksigen di pagi hari. 

Sesampainya di pintu 6, tak lupa tanya sana-sini saya lakukan supaya enggak tersesat. Akhirnya, tibalah saya di Museum Gedung Sate, berbarengan dengan anak-anak sekolah yang menikmati waktu liburan dengan study tour ke Museum Gedung Sate juga. 

Tiket masuk ke museum ini tergolong murah, yakni Rp5000. Saya tak tahu apakah tarif tiket untuk siswa ada perbedaan atau tidak. Pembelian tiket dilakukan di bagian receptionist. Selain beli tiket, di bagian ini juga disediakan penitipan barang-barang. Oh, iya. Di museum ini pun diperkenankan memotret dengan kamera asal tidak menggunakan flash. Beberapa foto mungkin akan saya cantumkan di bawah. 

Pembelian tiket selesai, saatnya menjelajah. Sesuai namanya, Museum Gedung Sate, maka apa saja yang ada di museum ini, ya, enggak jauh-jauh seputar Gedung Sate itu sendiri.  

Di dinding dekat pintu masuk, pengunjung akan disuguhi sejarah Kota Bandung, mulai dari tahun 1880-1910. Sejarah Kota Bandung yang disajikan mencakup banyak hal, mulai dari orang-orang “berjasadalam terciptanya Kota Bandung, bangunan-bangunan bersejarah, dan lain-lain. 

Sejarah Kota Bandung


Di dinding berikutnya terpampang banyak hal yang berhubungan dengan Gedung Sate: sejarah, konstruksi bangunan, ide pembangunan, dan tahapan pembangunan. 

Satu hal yang menarik perhatian sayaberhubungan dengan konstruksi Gedung Sate—adalah ornamen di puncak bangunan yang menyerupai sate. Bentuknya yang menyerupai sate menjadi nama Gedung Pemerintahan Jawa Barat itu. Tapi ternyata anggapan itu salah. 

Benda berbentuk sate di puncak bangunan Gedung Sate bukanlah sebuah sate, melainkan hanyalah ornamen biasa. Ornamen yang menyerupai bentuk sate itu melambangkan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan gedung ini dahulu yang mencapai 6.000.000 Gulden. Jika menggunakan nilai tukar sekarang, 1 gulden sejumlah Rp8665 ribu, maka 6.000.000 gulden di masa kini setara dengan... ya, pokoknya banyak. Di atas 48 miliar, mungkin. Jumlah itulah yang ditandai oleh ornamen di puncak bangunan berbentuk sebuah tusuk dan enam buah bulatan. 

Lagipula, sate apa yang isinya 6, ya? Paling banyak juga paling isi 4. 

Display yang menggambarkan sejarah Gedung Sate dan Kota Bandung enggak hanya ditampilkan secara dua dimensi atau tiga dimensi melalui foto dan benda-benda. Sejarah-sejarah tersebut ditampilkan dalam bentuk yang lebih modern, salah satunya melalui visualisasi dengan berbagai pencahayaan yang unik, Jujur saya enggak begitu paham tentang istilah-istilah seni atau visualisasi, makanya saya tampilkan saja beberapa gambar di bawah ini, ya! 









    Secara keseluruhan, Museum Gedung Sate ini bisa jadi salah satu opsi tempat untuk dikunjungi. Terserah tujuannya mau apa saja; belajar sejarah, bikin video estetik, atau ikut tren #MuseumDate. Yang jelas, dengan harga tiket yang semurah itu, bisa dapat pelajaran yang enggak semua orang paham. Jadi, kapan ke sana? 

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!