Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati; Karya Sastra yang Melawan (Bagian I)

 

Sumber: Gramedia

“Harus selalu ada orang yang melawan iblis, meskipun iblis tidak akan pernah mati.”

Judul                   : Iblis Tak Pernah Mati
Pengarang          : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit              : New Merah Putih
Tahun Terbit      : 2018
Tebal Halaman  : 219 halaman
Ukuran Buku    :140 x 205 mm

Bagian I

Bicara tentang cerita rasanya kurang afdal jika mengesampingkan nama Seno Gumira Ajidarma. Seorang penulis dan ilmuwan sastra Indonesia yang produktif dalam penciptaan karya sastra. Beberapa karyanya yang tak asing di telinga penikmat sastra Indonesia antara lain Sepotong Senja untuk Pacarku, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Negeri Senja, dan lain-lain.

Produktifnya Seno Gumira Ajidarma dalam hal penciptaan karya sastra bukanlah sekadar penciptaan imajinasi sebagai jalan keluar dari peliknya realitas. Lebih jauh dari itu, sastra digunakan untuk melawan kekuasaan yang menindas rakyat. Protes terhadap penguasa tidak terbatas pada aksi demonstrasi. Sastra dihadirkan sebagai alternatif perlawanan—sejalan dengan salah satu bukunya, Ketika Jurnalisme Dibungkam Maka Sastra Harus Bicara. Menganggap karya sastra sebatas hiburan saja berarti menafikan gagasan Horace tentang sastra yang mestinya dulce et utile (menghibur dan mendidik).

Salah satu karya Seno Gumira Ajidarma yang menunjukkan sebuah perlawanan terhadap kekuasaan dengan medium sastra adalah kumpulan cerpen Iblis Tak Pernah Mati. Membaca judulnya saja orang akan menafsirkan bahwa buku ini berbicara tentang iblis yang diidentikkan sebagai sebuah entitas tak kasat mata yang mengganggu kehidupan manusia. Tafsiran itu tidak sepenuhnya salah jika kita menyelami lebih dalam isi buku ini.

Kumpulan cerpen Iblis Tak Pernah Mati merupakan kumpulan beberapa cerita yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1999. Cerita-cerita yang terdapat dalam buku ini ditulis dalam rentang waktu 1994—1999. Artinya, penulisan cerita-cerita tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan di masa Orde Baru yang memengaruhi kehidupan Seno Gumira Ajidarma. Seperti yang diakui Seno dalam bagian Catatan Penulis di buku ini:

Saya ikut mengalami dan menghayati situasi politik dalam kekuasaan yang represif.” (Ajidarma, 2018).

Maka, isi cerita pendek yang tersaji dalam buku ini tidak dapat dilepaskan dari suasana Orde Baru yang barangkali—atau juga kemungkinan besar—menjadi inspirasi Seno dalam penciptaan beberapa cerita.

Kumpulan cerpen Iblis Tak Pernah Mati ini memuat 15 cerita pendek. Cerpen-cerpen yang berjumlah 15 itu dibagi oleh Seno ke dalam beberapa bagian, yakni bagian Sebelum, Ketika, Sesudah, dan Selamanya. Dalam bagian Sebelum, terdapat lima cerpen, yakni cerpen “Kematian Paman Gober”, “Dongeng Sebelum Tidur”, “Sembilan Semar”, “Pada Suatu Hari Minggu”, dan “Taksi Blues”. Dalam bagian Ketika, terdapat dua cerpen, yakni cerpen “Jakarta, Suatu Ketika” dan “Clara”. Dalam bagian Sesudah, terdapat tujuh cerpen, yakni “Partai Pengemis”, Tujuan: Negeri Senja:, “Kisah Seorang Penyadap Telepon”. “Cinta dan Ninja”, “Patung”, “Anak-Anak Langit”, dan “Eksodus”. Terakhir, di bagian Selamanya, terdapat satu cerpen, yakni cerpen “Karnaval”.

Sekilas jika dicermati dari pembagian daftar isi akan terlihat gambaran adanya urutan kronologis mulai dari Sebelum, Ketika, Sesudah, dan Selamanya. Apa maksudnya, ya?

Jika merujuk kembali kepada bagian Catatan Penulis, seperti yang sudah diungkapkan penulis bahwa cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini ditulis dalam rentang tahun 1994—1999. Maka, sangat dimungkinkan bahwa penamaan Sebelum, Ketika, Sesudah, dan Selamanya merujuk kepada peristiwa peralihan antara masa Orde Baru ke Reformasi.

Jadi, istilah Sebelum merujuk kepada masa Orde Baru sebelum terjadinya reformasi. Cerpen-cerpen yang terdapat dalam bagian ini juga menggambarkan bagaimana kehidupan di masa Orde Baru dengan segala dinamika yang terjadi. Istilah Ketika merujuk kepada terjadinya peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi. Peralihan ini, oleh Seno, tidak hanya dilihat dari perspektif mahasiswa dalam melakukan perlawanan, tetapi juga dilihat dari perspektif kaum minoritas yang menjadi korban akibat gerakan ini. Hal itu terlihat dari salah satu cerpen dalam buku ini yang menggambarkan bagaimana kaum minoritas yang tak tahu-menahu tentang gejolak di dalam negeri harus menjadi korban dari amukan kaum mayoritas.

Istilah Sesudah dalam buku ini merujuk kepada kondisi setelah meletusnya tragedi ‘98 atau Reformasi. Di masa ini, kondisi masyarakat digambarkan relatif tenang dan mencapai kemenangan. Tetapi, di balik itu semua, tentu ada yang menjadi korban dalam terwujudnya tatanan masyarakat baru yang diidamkan. Potret korban tragedi tersebut digambarkan oleh Seno begitu ciamik dalam salah satu cerpennya. Terakhir, istilah Selamanya—walaupun terdengar spekulatif—merujuk kepada kehidupan yang diidamkan oleh banyak pihak akan bertahan selamanya. Tak ada rasa takut. Tak ada rasa was-was. Semua berganti menjadi rasa bahagia dan kebahagiaan yang bertahan selamanya.

Tapi, apakah memang betul cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma menggambarkan kondisi masa Orde Baru menuju era Reformasi seperti yang saya katakan di atas? Nantikan tulisan selanjutnya yang akan mencoba mengupas itu semua.

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!