Istri-Istri nu Dipihormat: Perempuan, Politik, dan Perlawanan

 

Sumber: Tokopedia

Perempuan—sebagai seorang individu yang diciptakan oleh Tuhan—tak pernah mendapat perlakuan adil dalam dunia sehari-hari. Perempuan selalu diidentikkan dengan kelembutan, kelemahan, dan ketidakberdayaan. Penggambaran perempuan tidak pernah berdasarkan diri perempuan itu sendiri, tetapi selalu bertolak dalam hubungannya dengan laki-laki (Karlina, 2018). Perempuan juga tak jarang selalu dijadikan objektifikasi sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Tak ayal perempuan pun selalu dipandang rendah dan ditempatkan pada urusan domestik rumah tangga.

Perempuan yang selalu dipandang rendah ini tak lepas dari budaya patriarki yang berlaku. Patriarki—yang memandang perempuan sebagai makhluk inferior—melanggengkan sebuah paradigma bahwa perempuan merupakan makhluk yang subordinat dan lemah. Padahal, secara biologis, justru perempuan lebih kuat daripada laki-laki. Dalam aspek biologis, perempuan mampu menahan rasa sakit dalam menghadapi sebuah persalinan yang rasa sakitnya konon setara dengan hancurnya tulang rusuk manusia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan yang mendasar dan ilmiah bahwa perempuan harus dipandang rendah.

Sejarah membuktikan bahwa perempuan bukanlah makhluk yang lemah. Sejak awal abad ke-19, perempuan telah membuktikan dirinya sebagai sosok yang mampu mengimbangi dominasi laki-laki. Perempuan telah ikut ambil bagian dalam perang memperjuangkan kemerdekaan (Kiftiyah, 2019). Di antara nama-nama perempuan itu adalah Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika, dan lain-lain. Sejarah menjadi saksi dan landasan historis yang mumpuni bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia memperlakukan perempuan.

Gambaran perjuangan perempuan Indonesia pada masa kemerdekaan itu tentu sangat jauh berbeda dengan perjuangan perempuan sekarang. Perjuangan perempuan Indonesia saat ini berkutat pada apa yang menjadi fokus first wave feminism, yakni perjuangan perempuan dalam keterlibatan di ruang publik. Walaupun terlihat akhir-akhir ini mulai banyak perempuan yang mendapat tempat di ruang-ruang publik, seperti bank, lembaga akademik, instansi pemerintah, dan lain-lain—walaupun persentasenya masih lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.

Salah satu hal yang menarik adalah melihat bagaimana peran perempuan dalam ruang publik, terutama ranah politik. Mulai tumbuh kesadaran dan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menduduki kursi-kursi di pemerintahan—dalam hal ini di parlemen. Walaupun tetap saja persentase kehadiran perempuan dalam ranah politik masih jauh dibanding persentase kehadiran laki-laki. Rendahnya partisipasi perempuan dalam lembaga politik, salah satu akibatnya, minimnya kepentingan dan keputusan-keputusan politik yang menguntungkan perempuan (Wahyudi, 2018).

Akan tetapi, jalan bagi perempuan dalam upayanya memasuki ranah politik penuh rintangan. Pandangan masyarakat yang terstruktur tentang perempuan sebagai kaum marginal dan ditempatkan dalam posisi inferior membuatnya sulit untuk memasuki ruang-ruang yang didominasi oleh laki-laki (Karlina, 2018). Jikalau perempuan memang mendapat kesempatan untuk memasuki ranah politik, hal itu belum menjamin hak atau suara perempuan akan didengar dalam keikutsertaannya dalam politik (Kiftiyah, 2019).

Salah satu upaya untuk mengkritisi budaya patriarki—khususnya kesempatan perempuan dalam ranah politik—adalah melalui karya sastra. Melalui medium sastra, kesadaran kaum perempuan dipantik untuk mendobrak budaya patriarki yang selalu merendahkan perempuan. Salah satu karya sastra yang berusaha mendobrak dominasi laki-laki dalam ranah politik adalah novel berjudul Istri-Istri nu Dipihormat.

Novel Istri-Istri nu Dipihormat merupakan sebuah novel karangan Memen Durachman. Novel ini merupakan sebuah perlawanan terhadap budaya patriarki. Kritik terhadap budaya patriarki tersebut digambarkan melalui pemutarbalikkan kenyataan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama—atau bahkan melebihi laki-laki—dalam kapasitasnya sebagai politisi dan akademisi. Di dalam novel tersebut digambarkan bagaimana dominasi pemimpin perempuan dalam ranah politik yang memiliki tujuan mulia, yakni memajukan orang-orang Sunda.

Di dalam novel tersebut sangat terlihat bagaimana partisipasi politik perempuan dalam berbagai aktivitas. Di dalam novel tersebut digambarkan bagaimana perempuan menduduki jabatan-jabatan yang selama ini identik dengan laki-laki, seperti jabatan kepala Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tingkat kota, kepala Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi di tingkat provinsi, dan jabatan walikota di sebuah kota. Latar cerita dalam novel tersebut berada di Jawa Barat—sesuai dengan masyarakat Sunda yang memang menjadi fokus kritis dari penulis sendiri.

Novel Istri-Istri nu Dipihormat menunjukkan bagaimana pemutarbalikkan kenyataan yang selama ini dihidupi oleh patriarki. Perempuan mengambil alih posisi dominan dan memosisikan laki-laki sebagai subordinat (Bahardur, 2022). Di dalam novel, digambarkan bagaimana kondisi suami-suami dari ketiga tokoh utama yang digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki pekerjaan-pekerjaan yang lebih rendah daripada kaum perempuan. Kehidupan rumah tangga ketiga tokoh tersebut didominasi oleh mereka sendiri sebagai seorang perempuan.

Kondisi-kondisi yang diperlihatkan dalam novel menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat sebuah perlawanan terhadap politik seksual yang selama ini dirawat keberlangsungannya oleh kaum laki-laki. Melalui penggambaran-penggambaran tersebut, muncul kritik-kritik terhadap budaya patriarki. Kritik terhadap budaya patriarki digambarkan melalui kemampuan perempuan dalam mengisi posisi-posisi politis secara lebih mulia, inovatif, dan demokratis..


Daftar Rujukan

Bahardur, I. (2022). Perlawanan Perempuan Terhadap Dominasi Laki-laki: Analisis Pemikiran Feminis Kate Millet Terhadap Novel Lalita Karya Ayu Utami. Madah: Jurnal Bahasa Dan Sastra, 13(2), 223–236. https://doi.org/10.31503/madah.v13i2.503

Karlina, E. M. (2018). Citra Perempuan dan Politik Seksualitas dalam Novel Re dan Perempuan Karya Maman Suherman (Sebuah Pendekatan Feminisme). Universitas Diponegoro.

Kiftiyah, A. (2019). Perempuan dalam Partisipasi Politik di Indonesia. Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender Dan Anak, 14(1), 1–13. https://doi.org/10.24090/yinyang.v14i1.2019.pp1-13

Wahyudi, V. (2018). Peran Politik dalam Perspektif Gender. Politea: Jurnal Politik Islam, 1(1), 63–83.

Comments

Popular posts from this blog

Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai

Film Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995; Romantisme Dilan dalam Bayang Milea

Apakah Dating Apps Lebih Baik Ketimbang Cari Pacar Jalur Konvensional?