Jakarta: Keterancaman Eksistensi dan Budaya
Ondel-Ondel Museum Betawi |
Jakarta,
sebagai kota metropolitan, menjadi kota yang tidak dapat menghindarkan diri
dari percampuran manusia. Jakarta menjadi muara bagi setiap orang yang datang
dengan berbagai latar belakang untuk mencari peruntungan. Kondisi Jakarta yang
menjadi pusat ekonomi menyuguhkan tawaran yang menggiurkan bagi setiap orang yang
berniat mencari penghidupan lebih layak di Jakarta.
Migrasi
yang dilakukan orang-orang dari beberapa daerah ke Jakarta mengakibatkan
masyarakat pribumi yang mendiami Jakarta—dikenal sebagai masyarakat
Betawi—perlahan mulai terancam. Keterancaman masyarakat Betawi akibat derasnya
arus migrasi orang-orang dari luar Jakarta tidak hanya dari sisi ekonomi,
tetapi juga dari sisi keberlangsungan hidup. Hal tersebut memaksa masyarakat
Betawi melakukan berbagai kompromi agar dapat mempertahankan eksistensinya di
tengah gempuran urbanisasi Jakarta.
Sebagai
gambaran, penduduk asli atau pribumi daerah Jakarta merupakan suku Betawi yang
berasal dari percampuran berbagai etnis, di antaranya Jawa, Sunda, Melayu,
Arab, Cina, Bugis, dan lain-lain
Derasnya
arus urbanisasi, pesatnya laju ekonomi, dan pembangunan yang dialami oleh
Jakarta—yang dahulu pernah menjadi ibu kota negara—membuat masyarakat Betawi
perlahan mengalami pergeseran eksistensi. Masyarakat Betawi yang semula
tersebar merata di seluruh bagian Jakarta, kini mulai bergeser ke pinggiran
Jakarta sebagai akibat pengembangan Kota Jakarta sebagai kota metropolitan
Kondisi
terpinggirkannya masyarakat Betawi ke daerah pinggiran Jakarta pun turut
mengancam eksistensi kebudayaan Betawi. Perpindahan masyarakat akan
memungkinkan redup atau hilangnya kebudayaan Betawi karena masyarakat Betawi
mulai terpinggirkan dari tanah nenek moyangnya. Kondisi tersebut tentu
mengkhawatirkan jika mengingat Betawi memiliki bermacam-macam kebudayaan yang sarat
akan nilai-nilai kehidupan.
Salah
satu upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan kebudayaan Betawi tersebut adalah
membentuk suatu kawasan pelestarian kebudayaan Betawi. Kawasan pelestarian
tersebut dikenal sebagai Kampung Betawi atau Perkampungan Budaya Betawi. Dalam
prosesnya, kawasan pelestarian tersebut pun mengalami berbagai dinamika sebagai
bentuk kompromi terhadap dunia modern.
Namun,
dalam praktiknya, keinginan Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi
Setu Babakan untuk melestarikan kesenian Betawi secara komprehensif dihadapkan
kebutuhan pariwisata. Sekilas, Perkampungan Budaya Betawi memiliki potensi
untuk menjadi tempat wisata yang potensial dengan mengedepankan nilai-nilai
budaya Betawi
Kondisi
masyarakat suku Betawi yang mengalami pergeseran dari pusat kota kemudian
menempati daerah pinggiran Jakarta tentu mengancam eksistensi kebudayaan Betawi
itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah merasa perlu menciptakan
suatu kawasan khusus yang dapat melestarikan budaya Betawi. Pelestarian budaya
Betawi tersebut tidak hanya dari segi kesenian saja, tetapi juga dari cara
hidup masyarakat.
Beranjak
dari hal tersebut, pada masa pemerintahan Gubernur Jakarta ketujuh, Ali Sadikin
(1966-1977), kawasan Condet dipilih sebagai cagar budaya Betawi. Kawasan Condet
dipilih untuk menjadi kawasan pelestarian budaya Betawi agar tidak punah
Namun,
Condet pun tidak mampu menahan arus urbanisasi yang masif. Orang-orang di luar
suku Betawi mulai menggeser masyarakat Betawi di Condet. Hal ini menyebabkan
daerah Condet tidak lagi secara utuh diisi oleh masyarakat asli Betawi, tetapi
mulai diisi oleh masyarakat etnis lain. Perlahan-lahan Condet pun mulai gagal menjadi
cagar budaya Betawi. Kegagalan Condet sebagai cagar budaya Betawi disebabkan
beberapa hal, yaitu kurangnya aturan hukum terkait pembangunan pemukiman di
wilayah Condet, pencairan dana rehabilitasi bangunan bersejarah Betawi yang
lambat, minimnya kebijakan Pemprov Jakarta terkait dengan pemertahanan
situs-situs cagar budaya, dan masifnya urbanisasi masyarakat pendatang
Kegagalan
Condet sebagai cagar budaya Betawi akhirnya membuat diperlukannya kawasan yang
dapat merepresentasikan masyarakat Betawi seutuhnya. Maka, dipilihlah daerah
Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Alasan pemilihan
Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi adalah cara hidup, lingkungan
yang masih asri, dan jumlah masyarakat asli Betawi di Setu Babakan masih lebih
banyak dibandingkan daerah lain di Jakarta. Area Setu Babakan kemudian
ditetapkan menjadi Perkampungan Budaya Betawi melalui Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2005. Berdasarkan hal tersebut, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
diharapkan menjadi kawasan yang dapat memelihara dan melestarikan budaya
Betawi.
Bersambung…
Murdiyastomo, H. Y. A. (2010).
PARIWISATA DAN PELESTARIAN SENI TRADISI MENYONGSONG YOGYAKARTA PUSAT BUDAYA
2020. INFORMASI, 2(36).
Pehulisya, R. L., & Nugroho, S.
(2020). Eksistensi Perkampungan Setu Babakan Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya
Betawi, Jakarta Selatan. Jurnal Destinasi Pariwisata, 8(2),
232–237.
Rahmawati, S. N. (2022). Pelestarian Perkampungan Budaya Betawi (Dari Condet ke Srengseng Sawah). Jurnal Artefak, 9(2), 113–120.
Wibowo, S. F., Sazali, A., & Rivai P., A. K. (2016). THE INFLUENCE OF DESTINATION IMAGE AND TOURIST SATISFACTION TOWARD REVISIT INTENTION OF SETU BABAKAN BETAWI CULTURAL VILLAGE. Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI) , 7(1), 136–156. www.kemenpar.go.id/userfiles/Ranking%20pariwisata%202014%20final%281%29.pdf
Comments
Post a Comment