Jakarta: Keterancaman Eksistensi dan Budaya

 

Ondel-Ondel Museum Betawi

Jakarta, sebagai kota metropolitan, menjadi kota yang tidak dapat menghindarkan diri dari percampuran manusia. Jakarta menjadi muara bagi setiap orang yang datang dengan berbagai latar belakang untuk mencari peruntungan. Kondisi Jakarta yang menjadi pusat ekonomi menyuguhkan tawaran yang menggiurkan bagi setiap orang yang berniat mencari penghidupan lebih layak di Jakarta.

Migrasi yang dilakukan orang-orang dari beberapa daerah ke Jakarta mengakibatkan masyarakat pribumi yang mendiami Jakarta—dikenal sebagai masyarakat Betawi—perlahan mulai terancam. Keterancaman masyarakat Betawi akibat derasnya arus migrasi orang-orang dari luar Jakarta tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sisi keberlangsungan hidup. Hal tersebut memaksa masyarakat Betawi melakukan berbagai kompromi agar dapat mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran urbanisasi Jakarta.

Sebagai gambaran, penduduk asli atau pribumi daerah Jakarta merupakan suku Betawi yang berasal dari percampuran berbagai etnis, di antaranya Jawa, Sunda, Melayu, Arab, Cina, Bugis, dan lain-lain (Pehulisya & Nugroho, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa asal suku Betawi pun merupakan hasil dari percampuran berbagai etnis yang telah lama mendiami wilayah Jakarta. Artinya, secara singkat, masyarakat Betawi sendiri sudah terbiasa dengan urbanisasi yang memungkinkan percampuran berbagai etnis yang mendiami daerah Jakarta.

Derasnya arus urbanisasi, pesatnya laju ekonomi, dan pembangunan yang dialami oleh Jakarta—yang dahulu pernah menjadi ibu kota negara—membuat masyarakat Betawi perlahan mengalami pergeseran eksistensi. Masyarakat Betawi yang semula tersebar merata di seluruh bagian Jakarta, kini mulai bergeser ke pinggiran Jakarta sebagai akibat pengembangan Kota Jakarta sebagai kota metropolitan (Rahmawati, 2022). Kendati mengalami pergeseran eksistensi ke daerah pinggiran Jakarta, tetapi masyarakat Betawi tetap eksis dan berkeyakinan kuat bahwa kebudayaan Betawi tidak akan pernah hilang dari Kota Jakarta. Kondisi tersebut menyiratkan makna bahwa masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang egaliter dan terbuka terhadap kehadiran orang-orang dari suku lain. Keyakinan ini dilandasi oleh sejarah panjang masyarakat suku Betawi yang tercipta melalui proses percampuran dari berbagai etnis. Berdasarkan hal tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa akan lahir masyarakat Betawi baru yang merupakan perpaduan antaretnis di masa kini.

Kondisi terpinggirkannya masyarakat Betawi ke daerah pinggiran Jakarta pun turut mengancam eksistensi kebudayaan Betawi. Perpindahan masyarakat akan memungkinkan redup atau hilangnya kebudayaan Betawi karena masyarakat Betawi mulai terpinggirkan dari tanah nenek moyangnya. Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan jika mengingat Betawi memiliki bermacam-macam kebudayaan yang sarat akan nilai-nilai kehidupan.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan kebudayaan Betawi tersebut adalah membentuk suatu kawasan pelestarian kebudayaan Betawi. Kawasan pelestarian tersebut dikenal sebagai Kampung Betawi atau Perkampungan Budaya Betawi. Dalam prosesnya, kawasan pelestarian tersebut pun mengalami berbagai dinamika sebagai bentuk kompromi terhadap dunia modern.

Namun, dalam praktiknya, keinginan Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan untuk melestarikan kesenian Betawi secara komprehensif dihadapkan kebutuhan pariwisata. Sekilas, Perkampungan Budaya Betawi memiliki potensi untuk menjadi tempat wisata yang potensial dengan mengedepankan nilai-nilai budaya Betawi (Wibowo et al., 2016). Dengan adanya wisata budaya, wisata air, dan wisata agro, Perkampungan Budaya Betawi menyuguhkan daya tarik yang begitu kuat terhadap wisatawan. Khusus untuk wisata budaya, menarik untuk melihat bagaimana pengelolaan kesenian Betawi dan kebutuhan pariwisata dapat berjalan beriringan. Di satu sisi pariwisata dapat menyelamatkan suatu seni dari kepunahan (Murdiyastomo, 2010). Di sisi lain, pelestarian suatu seni pun mau tidak mau perlu melakukan kompromi dengan kebutuhan pariwisata.

Kondisi masyarakat suku Betawi yang mengalami pergeseran dari pusat kota kemudian menempati daerah pinggiran Jakarta tentu mengancam eksistensi kebudayaan Betawi itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah merasa perlu menciptakan suatu kawasan khusus yang dapat melestarikan budaya Betawi. Pelestarian budaya Betawi tersebut tidak hanya dari segi kesenian saja, tetapi juga dari cara hidup masyarakat.

Beranjak dari hal tersebut, pada masa pemerintahan Gubernur Jakarta ketujuh, Ali Sadikin (1966-1977), kawasan Condet dipilih sebagai cagar budaya Betawi. Kawasan Condet dipilih untuk menjadi kawasan pelestarian budaya Betawi agar tidak punah (Rahmawati, 2022). Kawasan Condet dipilih menjadi cagar budaya Betawi dilatarbelakangi oleh menjamurnya rumah-rumah tradisional sebagai representasi suku Betawi. Selain itu, di daerah Condet pun masih ditemukan lokasi pertanian sebagai ciri etnis Betawi. Untuk semakin mengukuhkan Condet sebagai cagar budaya Betawi, diterbitkan Peraturan Gubernur No. 1/12/1972. Berdasarkan peraturan tersebut, disebutkan bahwa rumah-rumah tradisional di daerah Condet termasuk ke dalam bangunan bersejarah sehingga harus dipelihara dan dijaga. Hal ini semakin menegaskan Condet sebagai daerah cagar budaya Betawi.

Namun, Condet pun tidak mampu menahan arus urbanisasi yang masif. Orang-orang di luar suku Betawi mulai menggeser masyarakat Betawi di Condet. Hal ini menyebabkan daerah Condet tidak lagi secara utuh diisi oleh masyarakat asli Betawi, tetapi mulai diisi oleh masyarakat etnis lain. Perlahan-lahan Condet pun mulai gagal menjadi cagar budaya Betawi. Kegagalan Condet sebagai cagar budaya Betawi disebabkan beberapa hal, yaitu kurangnya aturan hukum terkait pembangunan pemukiman di wilayah Condet, pencairan dana rehabilitasi bangunan bersejarah Betawi yang lambat, minimnya kebijakan Pemprov Jakarta terkait dengan pemertahanan situs-situs cagar budaya, dan masifnya urbanisasi masyarakat pendatang (Rahmawati, 2022).

Kegagalan Condet sebagai cagar budaya Betawi akhirnya membuat diperlukannya kawasan yang dapat merepresentasikan masyarakat Betawi seutuhnya. Maka, dipilihlah daerah Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Alasan pemilihan Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi adalah cara hidup, lingkungan yang masih asri, dan jumlah masyarakat asli Betawi di Setu Babakan masih lebih banyak dibandingkan daerah lain di Jakarta. Area Setu Babakan kemudian ditetapkan menjadi Perkampungan Budaya Betawi melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005. Berdasarkan hal tersebut, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan diharapkan menjadi kawasan yang dapat memelihara dan melestarikan budaya Betawi.

Bersambung

Murdiyastomo, H. Y. A. (2010). PARIWISATA DAN PELESTARIAN SENI TRADISI MENYONGSONG YOGYAKARTA PUSAT BUDAYA 2020. INFORMASI, 2(36).

Pehulisya, R. L., & Nugroho, S. (2020). Eksistensi Perkampungan Setu Babakan Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya Betawi, Jakarta Selatan. Jurnal Destinasi Pariwisata, 8(2), 232–237.

Rahmawati, S. N. (2022). Pelestarian Perkampungan Budaya Betawi (Dari Condet ke Srengseng Sawah). Jurnal Artefak, 9(2), 113–120.

Wibowo, S. F., Sazali, A., & Rivai P., A. K. (2016). THE INFLUENCE OF DESTINATION IMAGE AND TOURIST SATISFACTION TOWARD REVISIT INTENTION OF SETU BABAKAN BETAWI CULTURAL VILLAGE. Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI) , 7(1), 136–156. www.kemenpar.go.id/userfiles/Ranking%20pariwisata%202014%20final%281%29.pdf

Comments

Popular posts from this blog

Film Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995; Romantisme Dilan dalam Bayang Milea

Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai

Apakah Dating Apps Lebih Baik Ketimbang Cari Pacar Jalur Konvensional?