Apakah Nenek Moyang Kita Sungguh Seorang Pelaut?

Sumber: Metrum.co.id

Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarung luas Samudra
Menerjang ombak, tiada takut
Menempuh badai. sudah biasa

Penggalan lagu ciptaan Ibu Sud di tahun 1940 itu rasanya cukup menggambarkan bagaimana nenek moyang bangsa Indonesia; seorang pelaut. Kedigdayaan nenek moyang kita sebagai pelaut sepertinya merujuk kepada kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara yang punya kekuatan dan kuasa atas wilayah maritim dulu. Sebut saja Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7—13) yang menjadi pusat perdagangan internasional dan berhasil menguasai jalur perdagangan maritim di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Atau Kerajaan Majapahit (abad ke-13—16) yang menjadikan pelayaran sebagai cara untuk memperluas pengaruh politik dan ekonomi. Dua kerajaan ini tampak mencirikan bagaimana penguasaan nenek moyang kita dahulu terhadap pelayaran di Nusantara.

Selain itu, kondisi geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau juga menyebabkan bangsa Indonesia tidak merasa asing dengan lautan.

Tetapi, apakah nenek moyang kita hanya seorang pelaut? Apakah mungkin nenek moyang kita juga mengajarkan bagaimana cara menjaga diri (dalam hal ini ilmu bela diri)?

Nyatanya, fakta menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga merupakan petarung yang andal. Petarung di sini dalam arti sosok yang punya kemampuan untuk menjaga diri. Kemampuan ini pun diwariskan secara turun-temurun ke generasi selanjutnya. Dalam konteks ini, Indonesia nyatanya punya khazanah tersendiri terkait dengan bela diri gulat. Di antaranya tiga saja akan disebutkan di bawah ini.

1.      Benjang Gulat

Olahraga bela diri gulat yang diiringi oleh tarian dan alat musik berupa terebang, kecrek, kendang, dan terompet Sunda ini tampak asing bagi sebagian besar orang, tak terkecuali masyarakat Kota Bandung sendiri. Konon, benjang gulat tercipta dari cara berkelahi kerbau di sawah; saling mendorongkan badan. Yang lebih ilmiah lagi, benjang gulat tercipta ketika muncul pelarangan terhadap perkembangan ilmu bela diri di wilayah Ujungberung, Bandung, pada akhir abad ke-18. Pecinta bela diri ini “mengungsi” ke pesantren lalu menciptakan kelompok kesenian yang bernapaskan agama Islam. Mereka mempraktikkan gerakan-gerakan silat diiringi selawatan dan puji-pujian kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. Praktik ini berkembang menjadi sebuah seni bernama seni rudat; gerakan tangkisan dalam silat diiringi musik marawis. bedug, dan selawatan dari Kitab Barzanji. Seni rudat ini kemudian berkembang menjadi seni terebangan. Praktiknya mirip dengan seni rudat, hanya saja alat musik yang digunakan menggunakan terebang; alat musik mirip rebana, tetapi berukuran lebih besar. Seni terebang tersebut berkembang menjadi seni benjang gulat seperti saat ini.

Seni benjang gulat diawali oleh gerakan tarian yang diiringi musik. Gerakan tariannya pun bermacam-macam: golempang, puyuh ngungkug, julang ngapak, dan panon peureum. Setelah itu, seorang yang lain akan memasuki arena dan gulat pun dimulai.

Sumber: Kumparan

Secara singkat, benjang gulat dapat dilihat sebagai mekanisme pertahanan diri yang dibungkus oleh seni tari dan seni musik. Benjang gulat sangat mungkin menjadi alternatif dalam melatih pemuda zaman dahulu menghadapi ancaman—khususnya ancaman penjajah.

2.      Pathol Sarang

Hampir mirip dengan benjang gulat, pathol sarang adalah olahraga gulat yang diiringi oleh tari dan iringan musik. Pathol sarang adalah kesenian yang berasal dari Desa Temperak, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang. Pertunjukan pathol sarang diawali oleh dua orang pelandang yang menari mengelilingi arena pertandingan.

Ia menari untuk memperlihatkan jagoannya kepada lawan dan penonton yang hadir. Setelah selesai menari, dua orang petarung memasuki arena dengan menggunakan udhet (kain putih yang diikat di bagian pinggang). Kedua petarung harus saling menjatuhkan lawan dengan cara memegang udhet tersebut.

Sumber: Harian Mulia

Kendati menggunakan property berupa udhet (kain putih yang diikat di pinggang), tetapi pathol sarang menunjukkan bagaimana adu kekuatan bantingan yang terjadi. Saling adu kekuatan demi menjatuhkan lawan.

3.      Mepantigan

Mepantigan merupakan pertunjukan gulat yang dilakukan di arena berlumpur—biasanya di sawah. Mepantigan pertama kali diciptakan oleh I Putu Witsen Widjaya. Mepantigan lahir dari keinginan menciptakan bela diri Bali yang berbeda dari bela diri lainnya. Mepantigan merupakan perpaduan antara tari Bali, pemujaan terhadap Dewi Sri, dan bela diri gulat.

Sumber: Mara River Safari Lodge

Awalnya mepantigan adalah bentuk persembahan kepada Dewi Sri yang dipercaya oleh masyarakat Bali sebagai pemberi berkah. Lambat laun, mepantigan bertransformasi menjadi perpaduan tari Bali, tabuhan musik, dan bela diri gulat.

Dari sedikit contoh di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia punya sejarah panjang terkait dengan olahraga gulat. Masing-masing daerah punya nilai atau core dari pertunjukan gulat yang dipercaya dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita tidak hanya mengajarkan bagaimana cara melaut, tetapi juga cara bertarung.

Mungkinkah nenek moyang kita adalah pelaut yang suka bertarung?


Comments

Popular posts from this blog

Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai

Film Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995; Romantisme Dilan dalam Bayang Milea

Apakah Dating Apps Lebih Baik Ketimbang Cari Pacar Jalur Konvensional?