Larangan Pernikahan Orang Sunda-Jawa; Sebuah Mitos Diskriminatif

 

Sumber: Espos.id

Bukankah cinta adalah hak segala entitas yang hidup di muka bumi?

Bicara tentang cinta, kita semua rasanya setuju bahwa ia adalah rasa yang tak bisa kita atur arah tujunya. Begitu merasakan apa itu cinta, kita hanya bisa menikmati masa-masa kasmaran yang bagi kebanyakan orang tak masuk akal. Ketika cinta tumbuh, tak ada yang bisa kita lakukan selain merawat cinta itu hingga mekar dan berkembang selayaknya.

Namun, universalitas kata “cinta” nampaknya tak berlaku demikian untuk orang Sunda. Dalam hal cinta, orang Sunda terkenal akan keramahan dan sifat sabarnya. Bisa dibilang, orang Sunda itu someah. Maka, banyak orang—khususnya beberapa teman saya—yang mudah mendapatkan cinta karena keramahannya itu. Nah, keramahan yang bisa menjadi jalan dalam mendapatkan cinta itu tidak ada artinya jika orang di sekeliling kita masih memercayai mitos.

Dalam budaya Sunda, ada satu mitos yang cukup familiar di telinga saya. Mitosnya itu adalah larangan bagi orang Sunda untuk menikah dengan orang Jawa. Mitos ini agaknya bermula dari latar kesejarahan ketika terjadinya Perang Bubat sekitar abad ke-14. Ekadjati (1995: 7) menyebut peristiwa ini dengan Pasunda Bubat. Peristiwa yang mengacu kepada pertempuran antara pengiring raja Sunda dengan pasukan Majapahit di Bubat—sebuah tempat dekat sungai yang lokasinya tak jauh dari ibu kota Majapahit saat itu.

Menurutnya, Pasunda Bubat terjadi akibat ulah Gajah Mada—seorang Patih Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa—yang menjadikan pernikahan Hayam Wuruk, Raja Majapahit (1350—1589) dengan Putri Kerajaan Sunda Bernama Dyah Pitaloka sebagai alat politik dalam misinya menaklukkan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Prabu Maharaja (1350—1357). Prabu Maharaja menolak keinginan Gajah Mada ini. Diceritakan saat itu bahwa penolakan tersebut berujung kepada kekerasan senjata yang dilakukan oleh Gajah Mada dan mengakibatkan seluruh pengiring Raja Sunda—termasuk Prabu Maharaja dan Dyah Pitaloka meninggal. Pasunda Bubat ini digambarkan dalam Kidung Sunda dan Nagarakretabhumi.

Tapi, mitos tentang larangan orang Sunda menikah dengan orang Jawa tersebut tidak hanya merujuk kepada peristiwa Pasunda Bubat, tetapi juga merupakan rasa hormat budaya Sunda terhadap budaya Jawa. Orang Sunda yang menikah dengan orang Jawa, bagi masyarakat Sunda, dianggap sebagai bogoh ka indung (cinta kepada ibu sendiri). Kondisi inses ini tentu sangatlah tidak dibenarkan dari sisi moral atau agama. Legenda Sangkuriang kiranya jadi bukti kuat bagaimana peristiwa inses hampir terjadi dan menjadi memori kolektif masyarakat Sunda.

Rasionalisasi dari bogoh ka indung sebagai dasar larangan pernikahan orang Sunda dan orang Jawa adalah anggapan bahwa budaya Jawa merupakan ibu dari budaya Sunda. Budaya Jawalah kiranya yang memperkenalkan undak-usuk bahasa sehingga bahasa Sunda punya tiga tingkatan: halus, loma, dan kasar. Hal ini juga diperkuat oleh penguasaan Kesultanan Mataram di tahun 1620 atas Priangan—khususnya Tatar Ukur. Invasi tentara Kesultanan Mataram ke Tatar Ukur dan menjadikan wilayah ini sebagai basis militer memungkinkan terjadinya akulturasi budaya Jawa dalam ranah Sunda. Hal ini berpengaruh besar terhadap kehidupan orang Sunda, khususnya di wilayah Tatar Ukur saat itu.

Kembali ke masalah larangan pernikahan orang Sunda dengan orang Jawa. Bagi saya, ini adalah satu mitos yang diskriminatif. Mitos ini nyatanya hanya berlaku bagi lelaki Sunda. Artinya, lelaki Sunda, secara spesifik, dilarang untuk menikah dengan perempuan Jawa. Sementara perempuan Sunda punya keleluasaan untuk menikahi Mas-Mas Jawa. Bukankah ini diskriminatif bagi kami selaku lelaki Sunda? Jika mitos itu suci, seharusnya ia berlaku untuk semua orang, tidak terpaku kepada gender tertentu.

Lelaki Sunda yang menikah dengan perempuan Jawa itu percis menggambarkan bagaimana seorang lelaki bogoh ka indung, menurut orang tua zaman dahulu. Dalam konteks ini, saya tidak setuju. Dalam psikologi, ada sebuah kecenderungan seorang laki-laki untuk mencari sosok pasangan ideal yang mirip dengan ibunya—baik dari sifat, kemiripan wajah, atau perlakuan. Istilah ini lazim disebut dengan Oedipus Complex. Kecenderungan ini lahir dari mitologi Yunani ketika Oedipus membunuh ayahnya sendiri kemudian menikahi ibunya.

Walau terdengar sangat inses, tapi Sigmund Freud menggambarkannya sebagai rasa ketertarikan seorang laki-laki terhadap perempuan yang memiliki kemiripan dengan ibunya. Dalam kondisi seperti ini, bogoh ka indung diartikan sebagai cinta kepada seseorang yang digambarkan mirip dengan ibunya (menyangkut sifat, kebiasaan, dan tindakan), bukan makna secara harfiah diartikan sebagai cinta kepada ibu sendiri. Maka, bagi saya, bogoh ka indung dalam perspektif Sigmund Freud adalah hal yang paling ideal dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Mitos larangan pernikahan orang Sunda dengan orang Jawa ini sungguh diskriminatif. Kenapa larangan itu hanya berlaku bagi lelaki Sunda? Kenapa jika perempuan Sunda menikah dengan lelaki Jawa itu dianggap biasa saja? Dugaan saya, ini berhubungan dengan bagaimana sebuah mitos tercipta.

Sebuah mitos lazim tercipta akibat pemaknaan atas sebuah tanda atau gejala yang berulang. Ketika pemaknaan tersebut sudah berlangsung lama, ia akan teguh sebagai sebuah mitos. Kita ambil contoh sederhana; orang Bandung dilarang berenang di Pantai Selatan menggunakan baju hijau karena akan tenggelam—dibawa oleh Nyi Roro Kidul. Mitos ini diyakini kebenarannya karena beberapa kasus spesifik menunjukkan bahwa korban tenggelam di Pantai Selatan berasal dari luar wilayah tersebut—atau dari Bandung.

Padahal, jawaban sederhananya adalah bahwa orang Bandung tinggal di wilayah yang tak mengenal laut. Mereka kebanyakan hidup di daerah pegunungan sehingga tak memiliki kemampuan berenang yang mumpuni. Kemudian, kondisi air laut di wilayah Pantai Selatan Jawa didominasi oleh air laut yang berwarna agak hijau. Maka, ketika ada seseorang yang berenang menggunakan baju berwarna hijau dan terbawa arus, itu bukan semata-mata karena mitos itu benar, tetapi karena faktor geografis dan budaya yang berbeda sehingga hal itu bisa terjadi.

Begitu pun dengan larangan pernikahan orang Sunda dan orang Jawa. Ada beberapa kasus yang menunjukkan hubungan pernikahan yang problematik—tidak bahagia, kesulitan ekonomi, atau perceraian—yang membuat mitos itu semakin tegak berdiri. Pemaknaan yang berulang atas sebuah fenomena semakin meneguhkan eksistensi mitos di mata masyarakat. Akhirnya, mereka yang menganggap mitos itu sebagai kearifan lokal akan dikalahkan oleh mereka yang menganggap mitos itu sebagai takdir Tuhan.

Comments

Popular posts from this blog

Apakah Dating Apps Lebih Baik Ketimbang Cari Pacar Jalur Konvensional?

Film Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995; Romantisme Dilan dalam Bayang Milea

Pupujian: Tradisi Lisan Sunda yang Sarat Nilai