Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati; Karya Sastra yang Melawan (Bagian II)

Sumber: Gramedia

Bagian II

Seperti yang sudah disinggung dalam tulisan sebelum ini, cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam rentang waktu 1994-1999. Lahirnya cerpen-cerpen tersebut tentu tidak dapat dipisahkan dari gejolak kehidupan Indonesia pada masa itu. Orde Baru yang berkuasa di Indonesia menciptakan aturan-aturan tertentu—dan banyak dianggap—membatasi kebebasan berekspresi. Akhir hayat Orde Baru terjadi ketika demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota—termasuk pendudukan Gedung DPR oleh mahasiswa.

Diakui oleh Seno Gumira Ajidarma bahwa ia mengalami dan ikut menghayati situasi politik dalam kekuasaan represif Orde Baru. Maka, jika ditilik dari sisi kesusastraan, agaknya dapat disimpulkan bahwa penciptaan cerpen-cerpen dalam Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati sangat kental dengan nuansa sosiologis. Singkatnya, dalam ilmu sastra, terdapat pendekatan sosiologi sastra; pendekatan yang melihat karya sastra sebagai cerminan sosial masyarakat.

Di dalam kumpulan cerpen ini setidaknya terdapat empat bagian yang mencerminkan urutan kronologis pergeseran politik dari masa Orde Baru ke masa reformasi—khususnya Kerusuhan ‘98. Terdapat bagian-bagian seperti Sebelum, Ketika, Sesudah, dan Selamanya. Bagian-bagian tersebut dapat disimpulkan sebagai Sebelum Kerusuhan ‘98, Ketika Kerusuhan ‘98, Sesudah Kerusuhan ‘98, Selamanya (era reformasi).

Dalam bagian Sebelum, terdapat beberapa cerpen, di antaranya adalah “Kematian Paman Gober”, “Dongeng Sebelum Tidur”, “Sembilan Semar”, “Pada Suatu Hari Minggu”, dan “Taksi Blues”. Cerpen yang paling menarik perhatian dalam bagian ini adalah cerpen “Kematian Paman Gober”.

Sejak masa kuliah S1 di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dulu, saya sering diceritakan tentang sebuah cerpen yang merupakan wujud kritik terhadap masa Orde Baru. Cerpen itu berjudul “Kematian Paman Gober”. Nama yang tak asing bagi orang-orang yang tahu dan kenal dengan serial Donal Bebek di televisi.

Nama Paman Gober sendiri mengacu kepada Uncle Scrooge atau Scrooge McDuck (bebek terkaya di dunia) sebagai spin-off komik seri Donal Bebek oleh Carl Barks. Dalam cerpen ini, Paman Gober digambarkan sebagai seekor bebek yang memiliki kekayaan yang berlimpah. Saking kayanya Paman Gober, ia terkadang lupa terhadap kepemilikan kekayaan semacam pabrik sepatu, pabrik sandal, pabrik rokok, dan lain-lain. Kekayaan yang begitu menguasai Paman Gober berbanding terbalik dengan sikapnya kepada anggota keluarganya. Paman Gober adalah seorang paman yang pelit terhadap keponakannya, Kwak, Kwik, dan Kwek.

Paman Gober yang menguasai hampir seluruh kekayaan di kota bebek itu diiringi juga oleh sikap angkuhnya. Ia seringkali mengungkit jasa-jasanya kepada warga Kota Bebek. Sikap angkuhnya itu pun terlihat dari sisi politis. Kekuasaan Paman Gober yang langgeng selama bertahun-tahun seolah tak mau ditinggalkannya karena alasan bahwa rakyat Kota Bebek “memaksa” Paman Gober untuk terus menjadi pemimpin.

Kondisi ini menyebabkan Kota Bebek dipimpin terus-menerus oleh Paman Bebek. Tak ada proses demokrasi yang terjadi. Demokrasi bukan tidak ingin ditegakkan oleh rakyat. Demokrasi sudah dianggap seperti itu; hanya ada satu pemimpin dan tak pernah bisa diganti.

Maka hari-hari pun berlalu tanpa pergantian pimpinan. Demokrasi berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada satu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan.”

Tanpa perlu penjelasan yang mendetail pun rasanya pembaca cerpen ini akan langsung paham terhadap isi cerpen ini untuk siapa. Paman Gober yang menjadi pemimpin “abadi” dan memiliki kekayaan yang melimpah adalah gambaran pemimpin saat itu. Tak ada demokrasi yang terjadi.

Dalam bagian Ketika, salah satu cerpen yang menggambarkan Kerusuhan ‘98 adalah cerpen berjudul “Clara”. Clara adalah seorang gadis Cina yang menjadi korban Kerusuhan ‘98. Clara menjadi korban tidak lain karena dia adalah seorang keturunan Cina. Sentimen terhadap orang asing—termasuk keturunannya—memang dikatakan sangat menguat pada tahun 1998.

Di dalam cerpen diceritakan bahwa Clara sesungguhnya tidak memahami gejolak yang terjadi di masyarakat. Ia sibuk bepergian ke luar negeri untuk mengurus perusahaan ayahnya yang nyaris bangkrut.

Ketika kerusuhan di kota terjadi, keluarga Clara meminta Clara untuk tidak pulang ke rumah. Kompleks rumah Clara sudah dikepung dan banyak dijarah oleh orang. Ia disarankan untuk pergi ke luar negeri: Hong Kong, Singapura, atau Sydney. Tapi, keinginan Clara untuk tidak meninggalkan keluarganya sangat kuat sehingga ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Namun, di perjalanan, seperti yang sudah diduga. Ia dihadang oleh sekitar 25 orang. Dari sana, ia disiksa sampai akhirnya diperkosa.

Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.”

Apa yang dialami Clara dalam cerpen tersebut adalah penggambaran Seno Gumira Ajidarma terhadap minoritas saat Kerusuhan ‘98. Kisah Clara tentu bukan sekadar cerita yang menggambarkan sebuah peristiwa. Lebih jauh dari itu, kisah Clara menuntut kesadaran kita atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Terlalu banyak korban dan kerugian yang diakibatkan oleh kepemimpinan yang sewenang-wenang.

Setelah gejolak sosial-politik yang mengguncang, tibalah bagian cerpen kepada bagian Sesudah. Salah satu cerpen dalam bagian ini—yang juga menjadi inspirasi penamaan judul kumpulan cerpen ini—berjudul “Patung”. Cerpen “Patung” mengisahkan seorang lelaki yang menunggu kekasihnya selama dua ratus tahun hingga ia berubah menjadi patung. Sang kekasih pergi karena ingin membunuh iblis. Ia berjanji akan kembali di waktu senja ketika ia sudah berhasil membunuh iblis. Namun, setelah dua ratus tahun, kekasih tersebut tak pernah kembali. Sang lelaki tetap menunggu di pertigaan jalan yang dijanjikan oleh sang kekasih.

Orang-orang yang berlalu-lalang sambil memandang sang lelaki yang telah menjadi patung tersebut kadang mengejek dan kadang memuji. Orang-orang yang mengejek mengatakan bahwa lelaki itu melakukan hal konyol karena menunggu kekasihnya yang ingin membunuh iblis itu kembali. Mengapa? Karena kata mereka iblis tidak pernah mati.

“’Orang betulan?’
               
‘Ya, orang betulan yang berdiri di situ, menunggu kekasihnya yang pergi untuk membunuh iblis.’
               
‘Membunuh iblis?’
               
‘Iya’
               
‘Sedangkan sampai sekarang pun iblis tidak mati-mati.’
               
‘Iblis kan memang tidak pernah mati.’”

Sekilas, mungkin cerpen ini hanya terlihat sebagai kisah cinta sepasang kekasih yang setia. Dihadapkan dengan cobaan dan lamanya waktu menunggu tak menjadi masalah. Ia tetap setia menunggu. Tapi, jika melihat lebih dalam, ada kemungkinan bahwa cerpen ini tak hanya tentang cinta. Ia mewujud juga suatu perlawanan. Kalimat “iblis tidak pernah mati” bisa jadi merujuk kepada kroni-kroni Orde Baru yang walaupun berhasil digulingkan pada tahun 1998, tetapi mereka tetap hidup dan tidak menutup kemungkinan bahwa di tahun-tahun mendatang akan melakukan hal yang serupa ketika di masa Orde Baru.

Maka, dalam cerpen ini, hal yang mungkin menyebabkan mengapa sang perempuan tak pernah kembali adalah karena ia tak pernah selesai membunuh iblis—karena iblis memang tidak pernah mati.

Kini, tibalah pada bagian pamungkas, yakni bagian Selamanya. Dalam bagian ini hanya ada satu cerpen, yakni cerpen “Karnaval”. Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak dan seorang ibu yang mengunjungi sebuah karnaval. Di sana terdapat parade-parade yang diiringi oleh penari, badut, umbul-umbul, dan lain-lain. Seperti layaknya karnaval yang dikenal, semua orang menunjukkan kebahagiaan dan kemerdekaannya dalam merayakan sesuatu.

Kembang api meledak-ledak. Hujan cahaya. Aku menonton karnaval. Orang-orang dengan wajah yang dirias lewat silih berganti. Udara wangi. Orang-orang meloncat-loncat. Orang-orang menari-nari. Badut-badut jungkir balik.”

Suka cita dalam karnaval tersebut bisa digambarkan sebagai ekspresi kemenangan rakyat ketika berhasil melepaskan diri dari cengkeraman masa Orde Baru. Menuju era reformasi dengan sikap optimis sebagai manusia merdeka menjadi angan-angan yang terus dihidupi.

Begitulah Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati menunjukkan perlawanan pada masa Orde Baru. Argumen-argumen yang disajikan di atas tentu hanyalah hipotesis semata yang didasarkan pada beberapa kode dan simbol. Tentang benar atau salah, biarlah itu menjadi rahasia sastra bahwa multitafsir adalah hal yang tak dapat terhindarkan dari sebuah karya sastra.

Comments

Popular posts from this blog

Jihad Abdul Jaffar bin Baehaki

Mengenal Oedipus Complex dan Electra Complex

Bahasa Indonesia Sudah Go Internasional!